Laman

Game Reward

Game Reward

Friday, 17 August 2012

Kategori Ahkam



Syariat Hukum Potong Tangan

Pernahkah mereka berpikir, bagaimanakah perasaan orang-orang yang kehilangan harta mereka? Terlebih bila harta yang terambil adalah harta yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun, kemudian disimpan ditempat yang dianggap aman, ternyata hilang begitu cepat. Berpikirkah mereka, bagaimana dahsyatnya efek jera yang akan memberi keamanan bagi masyarakat luas setelahnya, dari hukuman potong tangan yang mereka anggap sebagai pelanggar norma kehidupan mereka? Hak asasi siapakah yang mereka perjuangkan? Dalam kasus pencurian ini, syariat Islam berusaha menjaga kepentingan orang banyak daripada menjaga kepentingan si pencuri. Memberi hukuman yang berat berupa memotong tangan bertujuan membasmi sesuatu yang menjadikan kecemasan manusia pada harta mereka. Sehingga Allah Azza wa Jalla menjadikannya sebagai cambuk untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar dibandingkan dengan kepentingan si pencuri yang hanya sesaat dan banyak menimbulkan kerusakan. Ini adalah hukuman yang setimpal yang penuh faedah dan hikmah. Bila seseorang mau berpikir, hukuman setimpal bukan berarti menzhalimi si pelaku, tetapi ini merupakan keadilan dalam peraturan Allah Azza wa Jalla yang pasti baik bagi makhluk-Nya karena hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatunya. 

Hukum Diyat

Kamis, 14 Juli 2011 23:26:56 WIB

Hukuman diyat disyari’atkan dalam syariat Islam berdasarkan dalil dari al-Qur‘ân, Sunnah dan ijmâ’. Di antara dalil dari al-Qur‘ân adalah firman Allah Azza wa Jalla : Maka barangsiapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Ini berlaku untuk pembunuhan disengaja Juga firman Allah Azza wa Jalla : Dan tidak pantas bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin yang lain, kecuali karena tersalah tidak sengaja. Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Hal ini berhubungan dengan pembunuhan tidak disengaja dan mirip sengaja. 

Qishash

Rabu, 13 Juli 2011 23:26:28 WIB

Imam as-Syaukâni rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan menyatakan: “Maknanya ialah kalian memiliki jaminan kelangsungan hidup dalam hukum yang Allah Azza wa Jalla syariatkan ini; karena bila seseorang tahu akan dibunuh secara qishâsh apabila ia membunuh orang lain, tentulah ia tidak akan membunuh dan akan menahan diri dari meremehkan pembunuhan serta terjerumus padanya. Sehingga hal itu sama seperti jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Ini adalah satu bentuk sastra (balâghah) yang tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah Azza wa Jalla menjadikan qishâsh yang sebenarnya adalah kematian, sebagai jaminan kelangsungan hidup, ditinjau dari efek yang timbul yaitu bisa mencegah saling bunuh di antara manusia. Hal ini dalam rangka menjaga keberadaan jiwa manusia dan kelangsungan kehidupan mereka. Allah Azza wa Jalla juga menjelaskan ayat ini untuk ulul albâb (orang yang berakal); karena merekalah orang yang memandang jauh ke depan dan berlindung dari bahaya yang muncul kemudian. Sedangkan orang yang pandir, berfikiran pendek dan gampang emosi; mereka tidak memandang akibat yang akan muncul dan tidak berfikir tentang masa depannya.” Akibat sikap terburu-buru dan tidak mengerti hakekat syariat yang ditetapkan Allah Azza wa Jalla, banyak orang bahkan kaum Muslimin yang belum mau menerima atau bersimpati atas penegakan qishâsh ini. Padahal pensyariatan qishâsh adalah kemaslahatan bagi manusia. 

Nasikh Dan Mansukh

Jumat, 3 Juni 2011 22:18:22 WIB

Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Muta-akhirin. Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”. Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas : “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah : menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, mutlaq, zhohir, dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqoyyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’ (pengecualian), syarath, dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhohir dan menjelaskan yang dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir 

Melecehkan Agama Sebab Dan Solusi

Jumat, 25 Maret 2011 22:43:00 WIB

Para ulama telah sepakat bahwa pelecehan terhadap agama merupakan perbuatan kufur, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Dan pelecehan terhadap agama termasuk dalam “Nawaqidhul Islam” (pembatal keislaman) yaitu hal-hal yang dapat membatalkan keislaman seseorang. Dari Ibnu Umar bahwa seseorang berkata pada peperangan Tabuk;“Kita tidak melihat seperti qari kita (yaitu Nabi dan para sahabat beliau) kecuali yang paling banyak makannya, acap kali berdusta serta paling penakut ketika berperang”. Berkata Auf bin Malik: “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau munafik! Akan aku kabarkan hal ini kepada Rasulullah”. Kemudian Aufpun mengabarkannya kepada Rasulullah, kiranya Al-Quran telah mendahuluinya. Kemudian datanglah laki-laki tersebut menemui Rasulullah langsung berangkat menunggang untanya sambil berkata:“Ya Rasulullah, kami hanya bermain dan bergurau dan bercengkrama seperti musafir menuntaskan perjalanan dengan bercengkrama dengan sahabatnya?!”. Ibnu Umar berkata:“Seakan-akan masih terlihat olehku dia berpegangan pada tali unta Rasulullah sedangkan kerikil-kerikil tajam menusuk kakinya, sambil berkata:“Sesungguhnya kami bermain dan bergurau”, sedangkan Rasulullah menjawab:“Apakah dengan Allah, ayat dan RasulNya, kalian mengolok-olok?!”, dengan tidak menoleh kepadanya dan tidak menambah ucapan beliau. 

Bahaya Mencemooh Agama

Kamis, 24 Maret 2011 22:54:46 WIB

Allah berfirman : Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah:"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, bahwa semata-mata istihza’ terhadap Allah merupakan kekafiran, istihza’ terhadap Rasul merupakan kekafiran, dan istihza’ terhadap ayat-ayat Allah juga merupakan kekafiran. Istihza’ terhadap perkara-perkara di atas saling berkaitan. Sebab turunnya ayat ini, Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata: Pada suatu hari, di satu majelis dalam perang Tabuk, seorang laki-laki berkata “Aku tidak pernah melihat semisal para qari’ (ahli Al Qur’an atau ahli agama) kita ini, lebih rakus perutnya, lebih dusta lidahnya, dan lebih penakut di saat pertempuran”. Lalu seorang laki-laki di majelis itu berkata: “Engkau dusta, tetapi engkau seorang munafik. Aku benar-benar akan memberitahukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Dan Al Qur’an turun. Abdullah bin Umar berkata: “Maka aku melihat laki-laki itu bergantung pada kendali onta Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, batu-batu melukai kakinya, dan dia mengatakan: “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Rasulullah, berkata: “Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” 



Hukum Mengolok-Olok Ulama Dan Orang-Orang Shalih

Salah seorang ulama Salaf mengatakan: "Maha suci Allah, Dia telah memberi jalan keluar bagi kaum muslimin. Yakni tidak akan keluar dari keempat golongan manusia yang dipuji tadi, melainkan golongan yang kelima, golongan yang binasa. Yaitu seorang yang bukan alim, bukan penuntut ilmu, bukan penyimak yang baik dan bukan pula orang yang mencintai Ahli Ilmu. Dialah orang yang binasa. Sebab, barangsiapa membenci Ahli Ilmu, berarti ia pasti mengharapkan kebinasaan mereka. Dan barangsiapa yang mengharapkan kebinasaan Ahli Ilmu, berarti ia menyukai padamnya cahaya Allah di atas muka bumi. Sehingga kemaksiatan dan kerusakan merajalela. Kalau sudah begitu keadaannya, dikhawatirkan tidak akan ada amal yang terangkat. Demikianlah yang dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri.". Menghormati ulama termasuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Musa Al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu memuliakan orang tua yang muslim, orang yang hafal Al Qur'an tanpa berlebih-lebihan atau berlonggar-longgar di dalamnya dan memuliakan penguasa yang adil. 

Hukum Istihza' Bid Din (Memperolok Agama)


Istihza', secara bahasa artinya sukhriyah, yaitu melecehkan. Ar Raghib Al Ashfahani berkata,”Al huzu', adalah senda-gurau tersembunyi. Kadang-kala disebut juga senda-gurau atau kelakar." Al Baidhawi berkata,”Al Istihza', artinya adalah pelecehan dan penghinaan. Dapat dikatakan haza'tu atau istahza'tu. Kedua kata itu sama artinya. Seperti kata ajabtu dan istajabtu.” Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui makna istihzaa'. Yaitu pelecehan dan penghinaan dalam bentuk olok-olokan dan kelakar. Perbuatan mengolok-olok agama dan syi’ar-syi’ar agama ini, bukan hanya muncul pada masa sekarang; namun akarnya sudah ada sejak dahulu. Banyak sekali bentuk-bentuk istihzaa' yang dilakukan oleh orang-orang dahulu maupun sekarang. Diantaranya: Dalam bentuk pelesetan-pelesetan yang menghina agama. Bisa dikatakan, Yahudilah yang menjadi pelopor dalam membuat pelesetan-pelesetan yang isinya menghina Allah, RasulNya dan Islam. Sikap mereka ini telah disebutkan oleh Allah dalam firmanNya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. 

Makna Rukhshah Dan Pembagiannya


Apakah orang yang mendapatkan rukhshah karena uzur seperti di atas wajib melakukan rukhsah tersebut atau hukumnya ibahah (boleh mengamalnya atau meninggalkannya)?. Masalah ini menjadi perbincangan di kalangan para ulama. Imam Abu Ishaq Al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaaqat menyebutkan hukum menggunakan rukhsah adalah mubah, artinya boleh dilakukan atau tidak. Alasannya karena pada dasarnya rukhshah itu hanyalah keringanan agar tidak menyulitkan dan memberatkan, maka seseorang boleh memilih antara mengamalkan rukhshah tersebut atau tidak tergantung uzur kesulitan atau keberatan yang dia hadapi, misalnya orang musafir dia diberikan kelapangan untuk memilih apakah ia mau mengqashar shalatnya atau itmam (menyempurnakannya empat rakaat) tergantung kepada uzurnya. Kalau menggunakan rukhshah itu diperintahkan baik secara wajib maupun sunnah maka bukan lagi sebuah keringanan, tetapi kewajiban yang harus dilakukan dan tidak boleh ada pilihan lain. Pendapat dan argumentasi al-Syatibi di atas dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa menggunakan rukhsah adalah harus dan kembali kepada hukum asalnya apakah ia wajib atau sunat, misalnya menjaga jiwa agar tidak binasa adalah wajib, maka memakan babi bagi mereka yang terpaksa agar tidak mati kelaparan adalah wajib bukan mubah. Karena kalau dikatakan mubah maka orang tersebut boleh memilih antara makan atau membiarkan dirinya tidak makan walaupun dirinya mati kelaparan. 

Orang Bodoh Dima'afkan?


Menyikapi manusia menurut zhahirnya. Yaitu dengan berpedoman kepada lahiriyah orang tersebut. Jika secara lahiriyah seseorang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, melaksanakan kewajiban shalat 5 kali sehari- semalam, berpuasa bulan Ramadhan, menunaikan zakat, dan lainnya, maka kita menyikapinya sebagai seorang muslim dan mukmin. Adapun isi hatinya kita serahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib. Allah berfirman : Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali berkata,“Ayat ini menjelaskan, barangsiapa bertaubat, lalu beriman kepada Allah dan Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, maka darah dan hartanya terjaga, dan seseorang pun tidak pantas mengganggunya dengan membunuh atau mengepung. Hal itu meliputi orang yang melakukan dengan sebenarnya atau secara lahiriyah saja. Oleh karena itulah Imam Abu Ja’far Ath Thahawi t -di dalam aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah yang beliau riwayatkan dari imam Abu Hanifah dan lainnya- mengatakan,“Kami tidak menyatakan kekafiran, kemusyrikan, dan kemunafikan, terhadap mereka (kaum muslimin) selama tidak nampak dari mereka sesuatupun tentang hal itu. Dan kami menyerahkan isi hati mereka kepada Allah Ta’ala. 

Al Hilah, Melakukan Rekayasa Terhadap Hukum Allah


Allah telah mengatur manusia melalui lisan RasulNya dengan syari'at sebagaimana tertuang dalam ajaran din (agama) ini. Demikian pula perihal perkara halal dan haram dalam bermu'amalah. Dalam salah satu hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim, ada disebutkan bahwa yang halal maupun yang haram sudah sangat jelas. Namun, di antara halal dan haram tersebut terdapat perkara syubhat (samar), yang belum jelas hukumnya bagi kebanyakan orang. Yang belum jelas ini harus diwaspadai dan dijauhi oleh seorang muslim, demi keselamatan diri dan din-nya, bukan sebaliknya. Ironisnya, banyak juga dijumpai di antara kaum Muslimin yang tidak mengindahkan masalah tersebut. Bahkan lebih tragis lagi, ada di antaranya yang sengaja mencari celah-celah untuk merekayasa, membuat-buat trik atau tipu daya hal-hal yang telah jelas haram dengan upaya menyamarkan keadaan, sehingga akan nampak menjadi halal aatu boleh. Dalam istilah syari'at, perbuatan seperti ini disebut melakukan al hilah الحيلة)). Berbagai cara dilakukan untuk mengelabui kebanyakan orang, atau untuk memperdaya orang-orang yang kurang wara` dalam agamanya, sehingga mendapatkan label halal atau label boleh dalam bermu'amalah atau jual-beli mereka. Padahal, jika diamati, pada hakikatnya cara yang mereka tempuh tidak jauh berbeda dengan hukum aslinya 

Hukum Mendengarkan Ghibah, Bertaubat Dari Ghibah Dan Ghibah Yang Dibolehkan


Imam Nawawi berkata di dalam Al-Adzkar: ”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu, kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika hal itu memungkinkan. Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgho’ (mendengarkan dengan seksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak dosa baginya mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu, jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent). 



Ghibah

ermasuk ghibah juga, jika seorang penulis menyebutkan seseorang tertentu dalam kitabnya seraya berkata: ”Si fulan telah berkata demikian dan demikian”, dengan tujuan untuk merendahkan dan mencelanya. Maka hal ini adalah haram. Tetapi jika si penulis menghendaki untuk menjelaskan kesalahan orang tersebut agar tidak diikuti, atau untuk menjelaskan lemahnya ilmu orang tersebut agar orang-orang tidak tertipu dengannya dan menerima pendapatnya (karena orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yang ‘alim –pent), maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan merupakan nasihat yang wajib yang mendatangkan pahala jika dia berniat demikian. Demikian pula jika seorang penulis berkata atau yang lainnya berkata: “Suatu kaum -atau suatu jama’ah- telah berkata demikian-demikian” atau “Pendapat ini merupakan kesalahan atau kekeliruan atau kebodohan atau keteledoran” dan semisalnya”, maka hal ini bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah jika disebutkan orang tertentu atau kaum tertentu atau jama’ah tertentu. Ghibah itu bisa dengan perkataan yang jelas atau dengan yang lainnya, seperti isyarat dengan perkataan, atau isyarat dengan mata, atau bibir dan lainnya, yang bisa dipahami bahwasanya hal itu untuk merendahkan saudaranya yang lain. 

Hukum Khitan


Khitan termasuk fitrah yang disebutkan dalam hadits shahih. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Lima dari fitrah yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis". Di dalam Musnad Ahmad dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : ”Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Sebagian dari fitrah adalah: berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air dari hidung), mencukur kumis, siwak, memotong kuku, membersihkan lipatan pada badan, mencabut bulu ketiak, istihdad, khitan dan bersuci". Maksud dari fitrah adalah, pelakunya disifati dengan fitrah yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala fitrahkan hambaNya atas hal tersebut, dan Dia telah menganjurkannya demi kesempurnaan sifat mereka. Pada dasarnya sifat-sifat tersebut tidak memerlukan perintah syariat dalam pelaksanaannya, karena hal-hal tersebut disukai dan sesuai oleh fitrah. Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, fitrah itu terbagi dua. Fitrah yang berhubungan dengan hati dan dia adalah makrifat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mencintai serta mendahulukanNya dari yang lain. Dan yang kedua, fitrah amaliah dan dia hal-hal yang disebut di atas. Yang pertama mensucikan ruh dan membersihkan kalbu, sedangkan yang kedua mensucikan badan, dan keduanya saling membantu serta saling menguatkan. Dan pokok fitrah badan adalah khitan. 

Larangan Beribadah Di Kuburan


Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam benar-benar bersikap keras dan tegas dalam masalah syirik. Bahkan, khawatir dianggap luput menekankan bahayanya, perihal syirik ini masih juga dijelaskan saat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mendekati masa-masa sakaratul maut. Salah satu sarana dan celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik, yaitu beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih. Perbuatan ini telah menjadi fenomena yang telah lama ada, dan bahkan menjadi kebiasaan sebagian besar kaum muslimin di negeri ini. Bahkan bukan lagi beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih tersebut, tetapi telah beribadah kepada orang shalh yang menghuni kuburan tersebut. Kuburan-kuburan orang shalih atau tempat-tempat yang konon merupakan lokasi kuburan orang shalih dikunjungi, lalu melakukan beragam peribadahan di sisinya, seperti: berdoa, shalat, membaca al Qur`an, thawaf, sedekah dan sebagainya. Padahal dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dapat diketahui, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat keras sikap nya terhadap orang-orang yang beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang yang shalih. Kalau beribadah kepada Allah di sisi kubur saja, beliau n bersikap keras, tentu akan lebih keras lagi jika sampai beribadah kepada penghuni kubur tersebut. 

Bayi Tabung


Keinginan seorang wanita yang sudah berkeluarga yang tidak bisa hamil dan keinginan sang suami untuk mendapatkan anak dianggap sebagai sebuah tujuan yang dibenarkan syari’at. Tujuan ini bisa dijadikan alasan untuk melakukan pengobatan (jika terkendala-pent) dengan cara-cara inseminasi buatan yang dibenarkan syari’at. Cara (inseminasi buatan yang) pertama (yaitu sperma diambilkan dari seorang lelaki yang sudah berkeluarga lalu diinjeksikan ke dalam rahim sang istri yang dijelaskan pada saat menguraikan cara pembuahan yang terjadi di dalam rahim) merupakan cara yang diperbolehkan menurut syari’at dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan umum yang disebutkan di atas. Ini dilakukan setelah dipastikan bahwa sang istri memerlukan proses ini supaya bisa hamil. Cara ketiga (kedua benih, sperma dan sel telur diambil dari pasangan suami istri; kemudian proses pembuahannya dilakukan pada tabung. Setelah terjadi pembuahan, sel telur yang sudah dibuahi itu dimasukkan ke rahim wanita pemilik sel telur tadi), awalnya cara ini merupakan cara yang bisa diterima menurut tinjauan syari’at. Namun cara ini tidak bisa lepas sama sekali dari berbagai hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan. Maka sebaiknya cara ini tidak ditempuh kecuali ketika sangat terpaksa sekali serta ketentuan-ketentuan umum yang di atas sudah terpenuhi. 

Hukum Hanyalah Milik Allah


Termasuk perkara yang secara pasti sudah diketahui oleh orang yang berakal sehat dan memiliki fithrah yang lurus, bahwa barang buatan manusia tidak membuat sendiri hukum-hukum untuk dirinya, yang dia akan berjalan di atasnya dan bergerak ke arahnya. Namun yang membuatkannya ialah orang yang telah menciptakannya dan membuatnya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu termasuk kejahilan, jika manusia menggambarkan bahwa dia mampu membuat hukum-hukum untuk dirinya sendiri, dia akan berjalan di atasnya dan tidak menyimpang darinya. Dan bahwa kekurangan tidak akan mendatanginya dari sisi-sisinya, atau tidak akan melahirkan cacat di tengah-tengahnya, atau kelemahan tidak menjadi sifatnya yang terbesar. Dari sini, maka manusia wajib kembali kepada syari'at Allah yang telah menciptakan manusia. Allah mengetahui apa yang dapat menjadikan manusia itu menjadi baik, dan mengetahui yang akan menjadi baik keadaan manusia. Allah berfirman: Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Mahahalus lagi Mahamengetahui? 

Hukuman Untuk Pezina


Tidak dapat dipungkiri, meninggalkan syari’at islam akan menimbulkan akibat buruk di dunia dan akhirat. Kaum muslimin jauh dari ajaran agama mereka, menyebabkan mereka kehilangan kejayaan dan kemuliaan. Diantara ajaran islam yang ditinggalkan dan dilupakan oleh kaum muslimin adalah hukuman bagi pezina (Hadduz-Zinâ). Sebuah ketetapan yang sangat efektif menghilangkan atau mengurangi masalah perzinahan. Ketika hukuman ini tidak dilaksanakan, maka tentu akan menimbulkan dampak atau implikasi buruk bagi pribadi dan masyarakat. Realita dewasa ini mestinya sudah cukup menjadi pelajaran bagi kita untuk memahami dampak buruk ini. Melihat realita ini, maka sangat perlu ada yang mengingatkan kaum muslimin terhadap hukuman ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kesadaran dan menguatkan keyakinan mereka akan kemuliaan dan keindahan syari’at islam. Pelaku zina ada yang berstatus telah menikah (al-Muhshân) dan ada pula yang belum menikah (al-Bikr). Keduanya memiliki hukuman berbeda. Hukuman pezina diawal islam berupa kurungan bagi yang telah menikah dan ucapan kasar dan penghinaan kepada pezina yang belum menikah (al-Bikr). 



Fatwa Tentang Bapak Membunuh Anaknya

Orang-orang yang senantiasa mengikuti berita-berita surat kabar pasti telah mengetahui kisah tentang seorang bapak berkebangsaan Mesir yang telah membunuh dua orang anaknya yang masih kecil dengan cara menenggelamkannya di dalam laut. Persitiwa ini tepatnya terjadi di Iskandariyah. Lalu pengadilan urusan pidana di negeri itu memutuskan hukuman mati bagi bapak tersebut berdasarkan materi undang-undang umum. Akan tetapi ketika pengadilan meminta pendapat mengenai keputusan ini dari seorang mufti di Iskandariyah yang bernama Syaikh Ahmad bin Yusuf, maka sang mufti menolak keputusan itu, lalu beliau memberikan fatwa yang teksnya sebagai berikut.”…Hukum qishah tidak wajib ditegakkan kepada sang bapak, karena seorang bapak tidak boleh dihukum mati sebagai pembunuh anaknya. Bapak adalah penyebab keberadaan anak dalam kehidupan iin, maka tidak boleh anak itu menjadi sebab kebinasaan sang bapak” Kemudian mufti tersebut menuturkan nash-nash madzhab Hanafi seraya memperkuat madzhabnya dengan sabda Nabi Shahallallahu ‘alaihi wa sallam. “Bapak tidak dijatuhi human mati (bunuh) sebab membunuh anaknya’. 

Zina : Dosanya, Hukumannya Di Dunia Dan Di Akhirat

Sabtu, 27 Oktober 2007 13:40:49 WIB

Demikian juga apabila dilakukan oleh orang yang telah nikah atau pernah merasakan nikah yang shahih baik sekarang ini sebagai suami atau istri atau duda atau janda, sama saja, dosanya sangat besar dan hukumannya sangat berat yang setimpal dengan perbuatan mereka, yaitu didera sebanyak seratus kali kemudian di rajam sampai mati atau cukup di rajam saja. Adapun bagi laki-laki yang masih bujang atau dan anak gadis hukumnya didera seratus kali kemudian diasingkan (dibuang) selama satu tahun. Dengan melihat kepada perbedaan hukuman dunia maka para ulama memutuskan berbeda juga besarnya dosa zina itu dari dosa besar kepada yang lebih besar dan sebesar-besar dosa besar. Mereka melihat siapa yang melakukannya dan kepada siapa dilakukannya. 

Hukum Ucapan Sesungguhnya Allah Berada Di Setiap Tempat (Di Mana-Mana)


Bila anda ditanya, Di mana Allah?, maka jawablah : Allah berada di langit, sebagaimana jawaban yang diberikan oleh seorang wanita ketika ditanya oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti itu, lantas dia menjawab, Dia berada di langit. Sedangkan orang yang hanya mengatakan, Allah itu ada, ini jawaban menghindar dan mengelak (berkelit lidah) semata. Adapun terhadap orang yang mengatakan, Sesungguhnya Allah berada di setiap tempat (di mana-mana), bila yang di maksud dzat-Nya, maka ini adalah kekufuran sebab merupakan bentuk pendustaan terhadap nash-nash yang menekankan hal itu. Justru dalil-dalil sam’iy (Al-Qur’an dan hadits), logika serta fitrah menyatakan bahwa Allah Maha Tinggi di atas segala sesuatu dan di atas lelangit, beristiwa di atas Arasy-Nya. 

Luqathah, Harta Yang Hilang Dari Tangan Pemiliknya

Kamis, 14 Juni 2007 03:20:10 WIB

Seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum harta yang tercecer dari pemiliknya, berupa emas, perak, unta dan kambing. Maka beliau menjelaskan hukum untuk masing-masing barang ini, agar dapat menjadi contoh bagi barang-barang lain yang semisal dan yang hilang atau tercecer, sehingga dapat diambil hukumnya. Beliau bersabda tentang emas dan perak.”Umumkan tali yang digunakan untuk mengikatnya dan juga wadah yang menjadi tempat emas atau perak itu, sehingga dapat di cek antara orang yang datang sebagai pemilik dan orang yang datang hanya mengaku-ngaku, karena toh engkau sudah mengetahui isinya. Jika dia menyebutkan ciri-cirinya secara tepat maka engkau dapat memberikannya kepadanya. Jika ciri-ciri yang disebutkannya tidak tepat, berarti dia hanya mengaku-ngaku”. Beliau juga memerintahkan orang yang menemukan emas atau perak yang tercecer itu untuk mengumumkannya selama setahun penuh semenjak ia ditemukan. 

Hukum Bangkai


Bangkai dalam bahasa Arab disebut Al Mayyitah. Pengertiannya, yaitu yang mati tanpa disembelih. Sedangkan menurut pengertian para ulama syari'at, Al Mayyitah (bangkai) adalah hewan yang mati tanpa sembelihan syar'i, dengan cara mati sendiri tanpa sebab campur tangan manusia. Dan terkadang dengan sebab perbuatan manusia, jika dilakukan tidak sesuai dengan cara penyembelihan yang diperbolehkan. Dengan demikian definisi bangkai mencakup: [a]. Yang mati tanpa disembelih, seperti kambing yang mati sendiri. [b]. Yang disembelih dengan sembelihan tidak syar'i, seperti kambing yang disembelih orang musyrik. [c]. Yang tidak menjadi halal dengan disembelih, seperti babi disembelih seorang muslim sesuai syarat penyembelihan syar'i. Para ulama berpendapat, anggota tubuh (daging) yang dipotong dari hewan yang masih hidup, masuk dalam kategori bangkai. 

Hukum Meremehkan Syari'at Allah Dan Keengganan Untuk Menerapkannya


Masalah ini harus dirinci, yaitu barangsiapa yang berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah sementara dia mengetahui bahwa wajib baginya berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dan dengan perbuatannya itu, dia telah melanggar syari'at akan tetapi dia menganggap boleh hal itu dan memandangnya tidak apa-apa melakukannya dan juga boleh saja hukumnya berhukum kepada selain syari'at Allah; maka orang seperti ini hukumnya adalah kafir dengan kekufuran Akbar menurut seluruh ulama, seperti berhukum kepada undang-undang buatan manusia, baik oleh kaum Nashrani, Yahudi ataupun orang-orang selain mereka yang mengklaim bahwasanya boleh berhukum dengannya, bahwa ia adalah lebih utama ketimbang hukum Allah, bahwa ia sejajar dengan hukum Allah atau mengklaim bahwa manusia 



Hamil Di Luar Nikah Dan Masalah Nasab Anak Zina


Adik perempuan saya menikah tanpa persetujuan bapak. Dia lari ke rumah pacarnya dan menikah dengan wali hakim (tanpa seizin bapak). Pada saat itu, ia sudah hamil. Yang ingin saya tanyakan : Apakah pernikahannya sah? Bagaimana status anaknya? Saudara perempuan saya mempunyai hubungan dengan seseorang yang tidak baik akhlaknya. Keluarga telah memperingatkan agar tidak menjalin hubungan tersebut. Dia selalu mengatakan sudah tidak lagi berhubungan. Ternyata sekarang ia sudah hamil dan kemudian menikah. Bagaimana hukumnya? Apakah setelah anaknya lahir, ia harus menikah lagi secara agama? Bagaimana dengan status anaknya tersebut? Problem seperti kasus di atas banyak terjadi di tengah masyarakat. Yang tidak lain karena faktor keteledoran manusia, melakukan pelanggaran rambu-rambu agama. Tak syak, persoalan ini kemudian melebar dengan lahirnya anak-anak akibat perzinahan yang dilarang agama, nasab, waris, dan sebagainya. Perbuatan zina itu sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam buku Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, beliau menjelaskan, zina adalah dosa yang sangat besar dan sangat keji, serta seburuk-buruk jalan yang ditempuh oleh seseorang; berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang). 


Hukum Merayakan Malam Isra' Mi'raj


Tentang kepastian terjadinya malam isra mi'raj ini tidak disebutkan dalam hadits-hadits shahih, tidak ada yang menyebutkan bahwa itu pada bulan Rajab dan tidak pula pada bulan lainnya. Semua yang memastikannya tidak benar berasal dari Nabi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian menurut para ahli ilmu. Allah mempunyai hikmah tertentu dengan menjadikan manusia lupa akan kepastian tanggal kejadiannya. Kendatipun kepastiannya diketahui, kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan suatu ibadah dan tidak boleh merayakannya, karena Nabi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah merayakannya dan tidak pernah mengkhususkannya. Jika perayaannya disyari'atkan, tentu Rasulullah telah menerangkannya kepada umat ini, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan, Dan jika itu syari’atkan, tentu sudah diketahui dan dikenal serta dinukilkan dari para sahabat beliau kepada kita, karena mereka senantiasa menyampaikan segala sesuatu dari Nabi mereka yang dibutuhkan umat ini. 



Yang Membatalkan Dan Mengurangi Kesempurnaan Islam


Dalam agama Islam ada hal-hal yang dapat membatalkan keislaman seseorang apabila ia mengerjakannya. Ia juga berarti melakukan perbuatan syirik yang menghilangkan pahala amal dan akan kekal di Neraka. Allah tidak akan mengampuni dosanya kecuali ia bertaubat. Hal-hal tersebut adalah. Ruku atau sujud dengan niat mengagungkan raja atau para pemimpin, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, kecuali yang melakukan hal itu bodoh (tidak tahu). Karena ruku dan sujud adalah ibadah untuk Allah saja. Percaya kepada ajaran-ajaran yang merusak Islam. Seperti : Komunisme, Atheisme, Freemasonry Yahudi, Sosialisme, Marxisme, Sekularisme, Nasionalisme yang lebih mengutamakan orang Arab non-Muslim daripada orang non-Arab yang muslim. 



Menikahi Wanita Yang Sedang Hamil


Sungguh sangat mengerikan kalau kita melihat pergaulan anak muda pada zaman sekarang. Norma dan aturan Islam hampir semuanya dilanggar. Dan para orang tuapun ikut andil. Karena tidak mau melarang anak-anaknya dari hal demikian. Bahkan ada diantara orang tua yang kurang paham agama, menganjurkan kepada anak-anak mereka agar meniru gaya bergaul orang barat yang hina. Para orang tua banyak yang tidak mendidik anak-anak dengan pendidikan Islam. Akibat dari pergaulan gaya barat tersebut adalah tersebarnya perzinahan di mana-mana dan bukan lagi menjadi masalah tabu. Kita sering mendengar ada anak yang terlahir dari hasil hubungan di luar nikah. Bahkan untuk menutupi aib maksiat (baca: hamil di luar nikah) yang dilakukan justeru mereka menutupinya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan. Yaitu menikahkan kedua pelaku maksiat. Setelah si laki-laki menghamilinya, dia menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil. Atau meminjam seseorang untuk menikahinya dengan dalih menutupi aibnya. Apakah pernikahan seperti itu sah? Bagaimana keabsahan perwalian anak yang lahir ataukah sang anak tidak memiliki ayah ? 



Hukum Razam Bagi Pezina


Dari Abdullah bin ‘Abbas, dia berkata, Umar bin Al Khaththab berkata, -sedangkan beliau duduk di atas mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam-, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa al haq, dan menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadanya. Kemudian diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat rajam. Kita telah membacanya, menghafalnya, dan memahaminya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaksanakan (hukum) rajam, kitapun telah melaksanakan (hukum) rajam setelah beliau (wafat). Aku khawatir jika zaman telah berlalu lama terhadap manusia, akan ada seseorang yang berkata, ‘Kita tidak dapati (hukum) rajam di dalam kitab Allah’, sehingga mereka akan sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Sesungguhnya (hukum) rajam benar-benar ada di dalam kitab Allah terhadap orang yang berzina, padahal dia telah menikah, dari kalangan laki-laki dan wanita, jika bukti telah tegak (nyata dengan empat saksi, red.), atau terbukti hamil, atau pengakuan.” Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata dalam kitab Duraril Bahiyyah,“Dan digalikan (liang) untuk orang yang dirajam sampai dada.” Kemudian Imam Shiddiq Hasan Khan rahimahullah mengomentari perkataan di atas,“Karena Nabi n telah memerintahkan membuat lubang untuk seorang wanita suku Ghomidi yang (dirajam) sampai dadanya. Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim. Dan lainnya : Nabi n membuat lubang untuk Ma’iz, kemudian beliau memerintahkan sehingga dia dirajam, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Buraidah dalam kisah Ma’iz.” 



Berhukum Berdasarkan Apa Yang Diturunkan Allah Adalah Fardhu 'Ain


Kebanyakan harakah dan kelompok yang diberi label “ Islamiyah” pada dewasa ini telah menjadikan kalimat “Berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah” sebagai syi’ar (semboyan)nya. Betapa indahnya jika syi’ar (semboyan) tersebut sejalan dengan kenyataan (prkatek)nya. Sebab secara umum, syi’ar tersebut merupakan pokok agama yang paling mendasar dan merupakan pokok agama yang paling mendasar dan merupakan tujuan mengapa Allah menciptakan jin dan manusia. Dan hal terbesar (dari isi syi’ar di atas) adalah : Meyakini ke-Esaan Allah dalam hal peribadatan (artinya : Hanya Allah satu-satunya yang memiliki hak diibadahi,-pent) sesuai dengan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada rasul-rasulNya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. 



Hukum Asal Ibadah Adalah Terlarang


Dan telah maklum bahwa tidak ada yang haram melainkan sesuatu yang diharamkan Allah dan RasulNya, dan tidak dosa melainkan apa yang dinyatakan dosa oleh Allah dan RasulNya bagi orang yang melakukannya. Sebagaimana tidak ada yang wajib kecuali, apa yang diwajibkan Allah, dan tidak ada yang haram melainkan yang diharamkan Allah, dan juga tidak ada agama kecuali yang telah disyari’atkan Allah. Maka hukum asal dalam ibadah adalah batil hingga terdapat dalil yang memerintahkan. Sedang hukum asal dalam akad dan muamalah adalah shahih hingga terdapat dalil yang melarang. Adapun perbedaan keduanya adalah, bahwa Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang telah disyariatkanNya melalui lisan para rasulNya. Sebab ibadah adalah hak Allah atas hamba-hambaNya dan hak yang Dia paling berhak menentukan, meridhai dan mensyari’atkannya” 


Hukum Cadar (Dalil Yang Tidak Mewajibkan)


Diriwayatkan oleh Thabarani dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin Abdullah, bahwa dia mendengar Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari menceritakan dari bapaknya, aku menyangka dari Asma’ binti ‘Umais yang berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat ‘Aisyah ada saudarinya, yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan Syam yang longgar lengan bajunya. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya, beliau bangkit lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma, “Menyingkirlah engkau, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melihat perkara yang tidak beliau sukai. Maka Asma menyingkir. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya kenapa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit (dan keluar). Maka beliau menjawab, “Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi kedua lengan bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya, sehingga yang nampak hanyalah jari-jarinya, kemudian meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya.” 


Hukum Cadar (Dalil Yang Mewajibkan)

Kamis, 8 Juni 2006 01:05:42 WIB

Wanita-wanita tua dan tidak ingin kawin lagi ini diperbolehkan menanggalkan pakaian mereka. Ini bukan berarti mereka kemudian telanjang. Tetapi yang dimaksud dengan pakaian di sini adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, pakaian yang dipakai di atas baju (seperti mukena), yang baju wanita umumnya tidak menutupi wajah dan telapak tangan. Ini berarti wanita-wanita muda dan berkeinginan untuk kawin harus menutupi wajah mereka. Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah “Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka.” (An Nur:60): “(Yaitu) jilbab”. Dari ‘Ashim Al-Ahwal, dia berkata: “Kami menemui Hafshah binti Sirin, dan dia telah mengenakan jilbab seperti ini, yaitu dia menutupi wajah dengannya. Maka kami mengatakan kepadanya: “Semoga Allah merahmati Anda, Allah telah berfirman. “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” 



Tahkim Kepada Undang-Undang Buatan Manusia

Minggu, 4 Juni 2006 12:46:07 WIB

Pernyataan bahwa "Tahkim kepada undang-undang buatan manusia adalah syirik akbar berdasarkan ijma ulama " adalah salah. Sebab meninggalkan hukum yang telah diturunkan Allah atau berhukum dengan undang-undang buatan manusia akan menjadi kufur akbar harus dengan syarat-syarat tertentu, diantaranya : Bahwa penguasa berhukum dengan hal-hal yang bertentangan dengan hukum Allah, sebab banyak juga undang-undang buatan manusia yang tidak bertentangan dengan syari’at Allah. Sebab kata-kata "undang-undang buatan manusia" harus dikaitkan dengan yang bertentangan dengan syariat. Undang-undang buatan manusia pada zaman ini memang hasil buatan mereka tetapi banyak yang tidak bertentangan dan sesuai dengan syariat, masih dalam cakupan kaedah Islam dan merupakan masalih mursalah. 



Hukum Memanfaatkan Islam Untuk Tujuan Pribadi

Rabu, 5 April 2006 11:36:54 WIB

Agama Islam lebih di atas, lebih mulia, lebih tinggi dari tujuan manusia menjadikannya sebagai alat untuk menyampaikannya kepada tujuan-tujuan pribadinya. Dan setiap manusia mengklaim bahwa dia termasuk penolong dan pembela Islam, sesungguhnya ucapan-ucapannya harus disesuaikan dengan perbuatan-perbuatannya sehingga jelaslah bahwa dia benar dalam pernyataannya. Karena kaum munafik mengatakan tentang berpegangnya mereka dengan Islam yang apabila seseorang mendengar mereka mesti berkata, ‘Mereka orang-orang yang beriman’. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, ‘Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah” 



Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

Rabu, 15 Februari 2006 14:28:28 WIB

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Dzaid, salah satu anggota Majelis Kibaar Ulama di Saudi Arabia, ketika membahas masalah ini menyebutkan: Sudah tsabit (jelas dan ada) petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan dan keputusan (taqrir), bahwa beliau menghitung dzikir dengan jari tangannya, tidak pernah dengan yang lainnya. Demikian itulah yang diamalkan oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan hingga hari ini. Dan termasuk perbuatan yang secara turun-temurun dipraktikkan di kalangan umat, sebagai wujud iqtida’ (percontohan) mereka kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Inilah cara yang sesuai dengan ruh Islam, yaitu menghendaki kemudahan dan bisa diamalkan oleh semua orang, kapan saja dan di mana pun tempatnya. Syaikh Athiyah Muhammad Salim, salah seorang mudarris (guru) di Masjid Nabawi, ketika membahas cara RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam menghitung tasbih tersebut, mencontohkannya dengan menggunakan tangan kanan dan menyatakan: Setiap jari tangan kita memiliki tiga ruas. Apabila setiap ruas mendapatkan satu tasbih, tahmid dan takbir, kemudian dikalikan lima, maka akan berjumlah lima belas dan diulangi lagi sekali, sehingga menjadi tiga puluh, kemudian ditambah dengan satu jari hingga berjumlah tigapuluh tiga kali. 



Beban Syar'i Untuk Orang Yang Kehilangan Ingatan Dan Pingsan

Rabu, 7 Desember 2005 08:24:32 WIB

Sesungguhnya Allah mewajibkan berbagai bentuk ibadah kepada manusia jika memang ia berhak diberi beban kewajiban, yaitu ia harus berakal yang bisa digunakan untuk mengetahui segala sesuatu. Sedangkan orang yang tidak berakal tidak diberi kewajiban-kewajiban syar'i. Oleh karena itu orang gila, anak kecil dan orang yang belum baligh tidak diberi kewajiban syariat. Dan ini adalah rahmat Allah. Contoh lainnya adalah orang yang akalnya tidak normal meski belum sampai pada tingkat gila, atau orang tua yang sudah kehilangan ingatan maka tidak wajib atasnya shalat dan puasa karena ingatannya telah hilang yang mana ia sama kedudukannya seperti bayi yang tidak bisa membedakan . Maka terlepaslah beban syariat darinya. 

Hukum Perayaan Menyambut Tahun Baru

Rabu, 29 Desember 2004 06:47:31 WIB

Orang-orang Yahudi dan Nashrani bersiap-siap untuk menyambut datang tahun baru 2000 Masehi berdasarkan sejarah mereka dalam bentuk yang tidak lazim demi mempromosikan program-program serta keyakinan-keyakinan mereka di seluruh dunia, khususnya di negeri-negeri Islam. Sebagian kaum Muslimin telah terpengaruh dengan promosi ini sehingga mereka nampak mempersiapkan segala sesuatunya untuk hal itu, dan di antara mereka ada yang mengumumkan potongan harga (diskon) atas barang dagangannnya spesial buat momentum ini. Kiranya, dikhawatirkan kelak hal ini berkembang menjadi aqidah kaum Muslimin di dalam ber-wala' (loyal) terhadap orang-orang non Muslim. Kami berharap mendapatkan penjelasan anda seputar hukum keikutsertaan kaum Muslimin dalam momentum-momentum kaum kafir, mempromosikan hal itu dan menyambutnya. 

Mendidik Anjing


Dalam kesempatan ini, saya ingin mengingatkan terhadap perbuatan mayoritas orang-orang yang hidup berlebihan, seperti memelihara anjing di rumah mereka, bahkan mereka membelinya dengan harta yang lebih dari biasanya. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (melarang memakan harga anjing) mereka melakukan hal itu karena meniru non muslim. Sudah jelas bahwa meniru non muslim dalam perkara yang diharamkan atau yang merupakan ciri khas mereka adalah perkara yang tidak boleh (haram), karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan mereka” . Nasehat saya kepada mereka-mereka semua agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memelihara uang mereka, menjaga pahala dan ganjaran ibadah dari berkurangnya, dan agar mereka meninggalkan anjing-anjing ini serta bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan siapa yang bertaubat niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubatnya. 

Memelihara Anjing Di Rumah


Termasuk perkara yang tidak disangsikan padanya adalah diharamkannya bagi manusia memelihara anjing kecuali dalam beberapa perkara yang ditegaskan oleh syara’ atas bolehnya memeliharanya. Karena sesungguhnya. “Siapa yang menjadikan anjing –kecuali anjing penjaga ternak, atau anjing pemburu, atau anjing penjaga tanaman- niscaya berkuranglah satu qirath pahalanya setiap hari” . Apabila berkurang pahalanya satu qirath berarti ia berdosa dengan perbuatannya tersebut, karena hilangnya pahala seperti mendapatkan dosa, keduanya menunjukkan haramnya. Dalam kesempatan ini, saya memberi nasehat kepada orang-orang yang tertipu dengan perbuatan orang-orang kafir berupa pemeliharaan terhadap anjing, merupakan perbuatan keji. Kenajisannya lebih berat daripada najis-najis lainnya. Sesungguhnya najis anjing tidak bisa suci kecuali dengan tujuh kali basuhan, salah satunya dengan tanah. Sampai-sampai babi yang keharamannya ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an dan ia adalah rijs (najis), kenajisannya tidak sampai kepada batas ini. 

Apa Hukum Perkataan Fulan Syahid ?


Menentukan syahid bagi seseorang, seperti kamu mengatakan kepada seseorang, dengan menta'yin bahwa dia syahid. Ini tidak boleh kecuali yang disaksikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau umat sepakat atas kesyahidannya. Al-Bukhari dalam menerangkan hal ini ia berkata : Bab. Tidak Boleh Mengatakan Si Fulan Syahid. Ia berkata dalam Al-Fath Juz 6 halaman. 90, yaitu tidak memvonis syahid kecuali ada wahyu. Karena persaksian terhadap suatu hal yang tidak bisa kecuali dengan ilmu, sedang syarat orang menjadi mati syahid adalah karena ia berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi. Ini adalah niat batin yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. 

Hukum Dua Orang Wanita Yang Saling Menyusukan Anak Mereka


Kita harus mengetahui kaidah dalam hal susuan, yaitu bahwa pengaruh susuan hanya terjadi kepada orang yang menyusu beserta keturunannya. Seorang wanita menyusui anak kecil maka berarti dia telah menjadi ibu dari anak tersebut. Sehubungan dengan masalah anak kecil ini, apakah hubungan mahram berlaku pula atas ayah atau ibunya ? Jawabannya adalah tidak, karena kemahraman itu hanya terjadi kepada anak yang menyusu beserta keturunannya. Adapun orang tua atau saudarannya maka tidak berlaku kemahraman ini. Kita ambil contoh untuk menjelaskan maksudnya. Seorang perempuan menyusui anak perempuan kecil. Bagaimana kedudukan anak perempuan tersebut ? Dia menjadi anak bagi ibu yang menyusuinya itu. Adapun anak-anak ibu tersebut telah menjadi saudara bagi anak susuannya 



Pendapat Para Ulama Tentang Susuan Orang Yang Telah Dewasa


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Majmu' Fatawa 34/60) : Setelah menyebutkan hadits Salim maula Abi Hudzaifah, beliau berkata: "Hadits ini dijadikan dalil oleh 'Aisyah, sedangkan para istri Nabi yang lain menolak untuk menjadikannya sebagai dalil. Padahal 'Aisyah juga yang meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda: "Susuan itu karena rasa lapar". Namun 'Aisyah melihat adanya perbedaan antara radha'ah (susuan) dengan sekedar taghdziyah (pemberian makanan). Maka apabila tujuan itu adalah yang kedua (memberi makan), jelas tidak akan menyebabkan haram (menjadi haram) kecuali bila dilakukan sebelum penyapihan. Dan inilah yang dinamakan penyusuan yang umum terjadi pada manusia. Adapun tujuan yang pertama, maka boleh saja kalau memang diperlukan untuk menjadikannya mahram. 

Hukum Menyusukan Anak Dewasa Agar Menjadi Mahram


Adapun kasus Salim Maula Abi Huzaifah, pendapat yang paling rajih/benar adalah qadiyah 'ain (kasus yang berlaku khusus untuknya). Perkara qodiyah 'a'yaan --yaitu kasus yang terjadi dengan orang-orang tertentu apakah juga dapat diberlakukan untuk umum atau tidak? Merupkan perkara khilafiyyah yang sengit dikalangan ulama.Perkataan Ulama Usul almuhaqqiqin dalam hal ini bahwa kasus yang berlaku terhadap orang tertentu diberlakukan juga untuk umum jika memiliki kondisi yang sama. Maka jika terdapat seseorang anak berumur sepuluh tahun yang terlantar dan disia-siakan?alangkah banyaknya kondisi anak-anak kaum muslimin yang seperti ini-- boleh bagi seorang wanita menyusuinya agar menjadi mahram baginya . 

Hukum Menyusukan Diri Sendiri, Memeras Air Susunya Kedalam Gelas Untuk Diminumkan Kepada Seseorang


Apabila seorang perempuan menyusukan seorang anak kecil di bawah umur dua tahun lima kali susuan atau lebih, maka anak tersebut menjadi anaknya dan anak suaminya yang memiliki susu itu. Dan seluruh anak dari wanita tersebut dengan suaminya itu atau dengan suami terdahulunya menjadi saudara bagi anak susuan itu. Seluruh anak suami wanita yang menyusui baik dari wanita itu ataupun dari istri yang lain adalah saudara bagi anak susuannya. Seluruh saudara wanita yang menyusui dan saudara suaminya adalah paman bagi anak susuannya. Demikian pula Bapak wanita yang menyusui dan Bapak suaminya adalah kakek dia dan Ibu wanita yang menyusui serta ibu suaminya adalah nenek. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian dan saudara kalian yang sesusu" 

Hukum Menentang Syari'at Allah, Hukum Terlalu Bersemangat yang Mengarah Kepada Sikap Ekstrem


Tidak seorangpun yang boleh menentang atau merubah hukum-hukum yang telah disyari'atkan Allah kepada para hamba-Nya dan yang telah dijelaskan di dalam kitabNya yang mulia atau berdasarkan ucapan RasulNya yang terpercaya seperti hukum-hukum tentang warisan, shalat lima waktu, zakat, puasa dan semisalnya yang juga telah diterangkan Allah kepada para hambaNya serta telah disepakati umat. Sebab, ia adalah tasyri’ (produk hukum) yang sudah valid untuk umat ini pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga sepeninggal beliau hingga Hari Kiamat. Di antaranya, adanya prioritas bagi kaum lelaki atas kaum wanita mulai dari anak-anak lelaki, cucu laki-laki, saudara laki-laki sekandung dan sebapak. Wajib mengamalkan hal itu atas dasar keyakinan dan keimanan, sebab Allah telah menjelaskannya dalam kitabNya yang mulia. 

Hukum Taat Kepada Penguasa Yang Tidak Berhukum Kepada Kitabullah Dan Sunnah RasulNya


Ketaatan kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya hanya wajib dilakukan pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya namun tidak wajib memeranginya karena hal itu bahkan tidak boleh kecuali bila sudah mencapai batas kekufuran, maka ketika itu wajib menentangnya dan dia tidak berhak ditaati kaum muslimin. Dan berhukum kepada selain apa yang ada di dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya mencapai tingkat kekufuran bila mencukupi dua syarat : Pertama, mengetahui hukum Allah dan RasulNya. Jika dia tidak mengetahuinya, maka tidak kafir karena menyelisihinya. Kedua, Faktor yang mendorongnya berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah keyakinan bahwa ia adalah hukum yang tidak relevan lagi dengan masa dan yang selainnya lebih relevan lagi darinya dan lebih berguna bagi para hambaNya. Dengan dua syarat ini, berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari agama ini. 

Hukum Merayakan Hari Ibu


Semua perayaan yang bertentangan dengan hari raya yang disyari'atkan adalah bid'ah dan tidak pernah dikenal pada masa para salafus shalih. Bisa jadi perayaan itu bermula dari non muslim, jika demikian, maka di samping itu bid'ah, juga berarti tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hari raya-hari raya yang disyari'atkan telah diketahui oleh kaurn muslimin, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha serta hari raya mingguan (hari Jum'at). Selain yang tiga ini tidak ada hari raya lain dalam Islam. Semua hari raya selain itu ditolak kepada pelakunya dan bathil dalam hukum syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak" 



Hukum Merayakan Valentin's Day


Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, para pendahulu umat sepakat menyatakan bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha, selain itu, semua hari raya yang berkaitan dengan seseorang, kelompok, peristiwa atau lainnya adalah bid'ah, kaum muslimin tidak boleh melakukannya, mengakuinya, menampakkan kegembiraan karenanya dan membantu terselenggaranya, karena perbuatan ini merupakan perbuatan yang melanggar batas-batas Allah, sehingga dengan begitu pelakunya berarti telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Jika hari raya itu merupakan simbol orang-orang kafir, maka ini merupakan dosa lainnya, karena dengan begitu berarti telah bertasyabbuh (menyerupai) mereka di samping merupakan keloyalan terhadap mereka 

Hukum Berkhitan Bagi Laki-Laki Dan Perempuan


Hukum berkhitan masih dalam perselisihan ulama, namun yang paling dekat dengan kebenaran adalah bahwa khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan, dan letak perbedaan antara keduanya adalah khitan bagi laki-laki memiliki kemaslahatan yang berhubungan dengan syarat diterimanya shalat yaitu thaharah, karena jika qulfah (ujung kemaluan) itu dibiarkan, maka kencing yang keluar dari qulfah tersebut sisa-sisanya akan tertinggal disitu dan terkumpullah air di qulfah tersebut sehingga bisa menyebabkan rasa sakit waktu kencing. Atau dengan adanya qulfah yang belum dipotong, maka bila ada sesuatu keluar darinya, qulfah itu akan bernajis. Sedangkan bagi perempuan, berkhitan hanya merupakan tujuan yang di dalamnya terdapat faedah, yaitu untuk mengurangi syahwat, ini adalah tuntunan terkait dengan kesempurnaan, bukan untuk menghilangkan rasa 

Hukum Ziarahnya Wanita Ke Kubur ?


Wanita adalah saudara kandung lelaki. Maka apa yang dibolehkan bagi lelaki maka dibolehkan pula bagi wanita. Dan apa yang disunnahkan bagi lelaki maka disunnahkan pula bagi wanita, kecuali hal-hal yang dikecualikan oleh dalil yang bersifat khusus. Dalam masalah wanita ziarah ke kubur tidak ada dalil khusus yang mengharamkan wanita berziarah kubur dengan pengharaman secara umum. Bahkan diriwayatkan dalam 'Shahih Muslim' bahwa Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha tidur bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diam-diam dari tempat tidurnya menuju pekuburan Baqi' untuk memberikan salam kepada mereka. Dan Aisyah pun ikut membuntuti di belakang beliau secara diam-diam. 

Hukum Upacara Peringatan Malam Nisfi Sya'ban


Dalam kitab "Al Mukhtashar" Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya'ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu 'anhu: Jika datang malam Nisfu Sya'ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dhaif. Dalam buku Allaali' diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya'ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy, hadits ini maudhu' tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'. Dan hadits empat belas rakaat ... dan seterusnya adalah maudhu' 

Hukum Merayakan Hari Kelahiran Dan Sejenisnya


Perayaan-perayaan yang disebutkan dalam pertanyaan tadi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau adalah manusia yang paling loyal dan paling mengetahui tentang syari'at Allah serta paling antusias untuk menunjuki dan membimbing umat ini kepada hal-hal yang bermanfaat bagi mereka dan mendatangkan keridhaan Rabbnya, dan tidak pernah juga dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum padahal mereka adalah golongan manusia terbaik dan paling mengetahui setelah para nabi serta paling antusias untuk melakukan setiap kebaikan. Juga tidak pernah dilakukan oleh para imamul huda pada abad-abad pertama yang diutamakan. Semua itu dilakukan oleh sebagian muta'akhirin, sebagian mereka berpatokan pada ijtihad dan menganggap baik tapi tanpa hujjah, dan mayoritas mereka hanya meniru pada pendahulunya dalam melaksanakan perayaan-perayaan tersebut. 

Perayaan Hari Kelahiran (Ulang Tahun)


Tidak diragukan lagi bahwa Allah telah mensyari'atkan dua hari raya bagi kaum muslimin, yang pada kedua hari tersebut mereka berkumpul untuk berdzikir dan shalat, yaitu hari raya ledul Fitri dan ledul Adha sebagai pengganti hari raya-hari raya jahiliyah. Di samping itu Allah pun mensyari'atkan hari raya-hari raya lainnya yang mengandung berbagai dzikir dan ibadah, seperti hari Jum'at, hari Arafah dan hari-hari tasyriq. Namun Allah tidak mensyari'atkan perayaan hari kelahiran, tidak untuk kelahiran Nabi dan tidak pula untuk yang lainnya. Bahkan dalil-dalil syar'i dari Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan bahwa perayaan-perayaan hari kelahiran merupakan bid'ah dalam agama dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi, Nashrani dan lainnya. 

Apakah Boleh Menangguhkan Sebagian Hukum Hudud Dalam Kondisi Darurat


Sedangkan terhadap para penguasa kita, yakni kebanyakan mereka tidaklah dapat dipercaya komitmen keagamaan mereka, demikian juga kewajiban mereka di dalam memberikan nasehat kepada umat. Andaikata dibukakan pintu ke arah itu, niscaya sebagian mereka akan mengatakan, "Menegakkan hukum had dizaman ini sudah tidak relevan lagi karena orang-orang kafir, musuh kita akan menuduh kita sebagai orang-orang bengis dan manusia liar dan kita menentang apa yang wajib diperhatikan dari sisi hak-hak asasi manusia." Kemudian hukum hudud dihapus secara keseluruhan sebagaimana -sangat disayangkan sekali- realitas saat ini di kebanyakan negeri muslimin di mana hukurn-hukum hudud tidak difungsikan demi menjaga perasaan musuh-musuh Allah. Oleh karena itu, manakala hukum-hukum hudud tersebut tidak difungsikan lagi, terjadilah banyak sekali tindak kriminal 

Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah


Pernikahan dengan Ahlul Bid'ah terlarang secara global menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena akan memberi dampak negatif yang besar, dan bertentangan dengan hal-hal yang disepakati dalam syariat, yaitu : Tidak berwala' (loyalitas), tidak mencintai mereka (Ahlul Bid'ah), wajib mengisolir mereka, dan menjauhi mereka. Tentang hukum kepastian rusak dan sahnya akad-akad pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tergantung dengan jauh dekatnya mereka terhadap agama. Oleh karena itu hukum terhadap mubtadi' (Ahlul Bid'ah, yaitu orang yang mengada-adakan atau menambahi dalam perkara agama yang tidak ada contoh dari Rasulullah) yang telah sampai ke derajat kufur disebabkan karena kebid'ahannya tidaklah sama terhadap orang yang kebid'ahannya belum sampai ke derajat kufur, sebagaimana juga berbedanya hukum pernikahan mereka dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah dan pernikahan Ahlus Sunnah dengan para wanita mereka di sebagian keadaan. 

Hukum Mengusahakan Berziarah Ke Kuburan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam


Perbuatan ini tidak boleh dilakukan, yang boleh itu adalah pergi ke Madinah dengan maksud shalat di Masjid Nabawi, yaitu salah satu dari ketiga masjid yang dibolehkan mengusahakan perjalanan untuk mengunjunginya. Shalat di Masjid Nabawi sama dengan seribu shalat di masjid lainnya kecuali Masjidil Haram. Telah disebutkan larangan tentang mengusahakan perjalanan kecuali untuk mengunjungi ketiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Jadi, dalam larangan ini tercakup semua tempat dan semua kuburan, sehingga tidak boleh pula untuk tujuan shalat, memohon berkah atau beribadah. Adapun perintah ziarah kubur, di antara hikmahnya adalah untuk mengingatkan kepada akhirat, dan ini bisa di kuburan dan di negara mana saja, dan hampir tidak ada suatu wilayah pun yang tidak ada kuburannya. 

Apa Hukumnya Merayakan Maulid Nabi ?


Kebanyakan kaum muslimin beranggapan bahwa menghukumi perayaan maulid sebagai sebuah kebid'ahan adalah suatu ungkapan yang tidak pernah diucapkan oleh ulama terdahulu, akan tetapi hanya sekedar perkataan ulama-ulama zaman sekarang. Dan juga berprasangka bahwa permasalan ini tidak pernah ada pada pembahasan dan tulisan-tulisan mereka, juga tidak pernah ada pendiskusian argumentasi orang yang membolehkan perayaan ini, dan bantahan terhadap syubhat-syubhat mereka, terlebih-lebih dari ulama seperti Asy-Syaukani rohimahullah, dimana beliau tersohor sebagai seorang yang selalu berpegang teguh dengan dalil, dan berkata-kata penuh dengan kebijaksanaan, dan selalu berlepas diri dari setiap perbuatan bid'ah. 

Hukum Menghidupkan Peninggalan-Peninggalan Islam Bersejarah


Memelihara peninggalan-peniggalan dalam bentuk menghormati dan memuliakan bisa menyebabkan syirik (mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala), karena jiwa manusia itu lemah dan cenderung menggantungkan diri kepada yang diduganya berguna, sementara mempersekutukan Allah itu banyak macamnya, dan mayoritas orang tidak mengetahuinya. Orang yang berdiri di hadapan peninggalan-peninggalan tersebut akan melihat orang jahil yang mengusap-usapnya untuk meraih debunya dan shalat di sana serta berdoa kepada orang yang meninggal di sana, karena ia mengira bahwa hal itu bisa mendekatkan dirinya kepada Allah dan bisa menjadi perantara kesembuhannya. Kemudian hal ini ditambah pula dengan banyaknya para penyeru kesesatan. 

Hukum Merokok Menurut Syari'at


Adapun dalil dari i’tibar (logika) yang benar, yang menunjukkan keharaman merokok adalah karena (dengan perbuatannya itu) si perokok mencampakkan dirinya sendiri ke dalam hal yang menimbulkan hal yang berbahaya, rasa cemas dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentunya tidak rela hal itu terjadi terhadap dirinya sendiri. Alangkah tragisnya kondisi dan demikian sesak dada si perokok, bila dirinya tidak menghisapnya. Alangkah berat dirinya berpuasa dan melakukan ibadah-ibadah lainnya karena hal itu meghalangi dirinya dari merokok. Bahkan, alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang yang shalih karena tidak mungkin mereka membiarkan rokok mengepul di hadapan mereka. Karenanya, anda akan melihat dirinya demikian tidak karuan bila duduk-duduk bersama mereka dan berinteraksi dengan mereka. 



Hukum Seputar Keluarga Berencana


Para ulama telah menegaskan bahwa memutuskan keturunan sama sekali adalah haram, karena hal tersebut bertentangan dengan maksud Nabi mensyari'atkan pernikahan kepada umatnya, dan hal tersebut merupakan salah satu sebab kehinaan kaum muslimin. Karena jika kaum muslimin berjumlah banyak, (maka hal itu) akan menimbulkan kemuliaan dan kewibawaaan bagi mereka. Karena jumlah umat yang banyak merupakan salah satu nikmat Allah kepada Bani Israil. "Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar". Dan firmanNya. "Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu". Kenyataanpun mennguatkan pernyataan di atas, karena umat yang banyak tidak membutuhkan umat yang lain, serta memiliki kekuasaan dan kehebatan di depan musuh-musuhnya. 

Sejarah Dan Asal-Usul Riqq (Perbudakan)


Riqq (Perbudakan) sudah dikenal manusia sejak beribu-ribu tahun yang lalu, dan telah dijumpai di kalangan bangsa-bangsa kuno seperti : Mesir, Cina, India, Yunani dan Romawi, juga hal itu disebutkan dalam kitab-kitab samawi seperti Taurat dan Injil. Hajar, ibunda Ismail bin Ibrahim Alaihissallam asalnya adalah seorang budak wanita yang dihadiahkan oleh Raja Mesir kepada Sarah, istri Nabi Ibrahim Alaihissallam. Sarah pun menerimanya dan memberikannya kepada suaminya (Nabi Ibrahim Alaihissallam), kemudian Nabi Ibrahim Alaihissallam menggaulinya yang kemudian melahirkan Nabi Ismail Alaihissallam untuknya. Adapun asal-usul terjadinya riqq (perbudakan) adalah karena sebab-sebab berikut ini : Perang. Jika sekelompok manusia memerangi kelompok manusia lainnya dan berhasil mengalahkannya, maka mereka menjadikan para wanita dan anak-anak kelompok yang berhasil dikalahkannya sebagai budak. Kefakiran. Tidak jarang kefakiran mendorong manusia menjual anak-anak mereka untuk dijadikan sebagai budak bagi manusia lainnya. 

Ummu Walad


Ummu Walad sama seperti budak wanita lainnya dalam hal pelayanannya, hubungan seksualnya, kemerdekaan dirinya, batasan auratnya dan pernikahannya. Akan tetapi Ummu Walad tidak boleh dijual, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang penjualan Ummu Walad (HR Imam Malik). Hal itu dikarenakan, bahwa penjualan Ummu Walad bertentangan dengan kemerdekaan dirinya kelak sepeninggal pemiliknya. Ummu Walad dimerdekakan dengan kematian pemiliknya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Budak wanita manapun yang melahirkan anak dari pemiliknya (tuannya), maka ia dimerdekakan setelah kematian pemiliknya (tuannya)". Budak wanita tetap dihukumi Ummu Walad, meskipun ia mengalami keguguran, jika hal itu terjadi setelah janinnya sempurna penciptaannya dan bentuknya bisa dibedakan, karena Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Jika budak wanita melahirkan anak dari pemiliknya maka ia dimerdekakan meski mengalami keguguran. 

No comments:

Post a Comment