Benarkah Pluto sebuah planet?
Pluto dan Eris, diklasifikasi dalam kategori bernama Plutoid atau objek-objek serupa Pluto. Kredit Gambar : Mathias Pedersen
Cerita tentang Pluto dimulai ketika para astronom mencari keberadaan planet X aka sebuah planet besar yang diduga keberadaanya diluar orbit planet Neptunus. Pada saat itu para astronom yang mengamati orbit planet Uranus menduga kalau orbit planet es ini mengalami gangguan oleh planet lain selain Neptunus. Maka mulailah pencarian planet lain yang diduga memiliki massa cukup besar seperti halnya Neptunus dan Uranus.Pluto baru ditemukan pada tahun 1930 oleh Clyde W Tombaugh pada saat melakukan survey langit di Observatorium Lowell. Tapi sayangnya, massa Pluto terlalu kecil untuk dapat mengganggu orbit Uranus karena itu Pluto dianggap bukan Planet X. Tapi, sejak ditemukan Pluto kemudian masuk dalam jajaran planet-planet di Tata Surya.
Pada tahun 1992, ditemukan obyek-obyek kecil di luar orbit Neptunus yang kemudian dikenal sebagai Obyek Sabuk Kuiper. Sabuk Kuiper ini mirip dengan sabuk asteroid dan diisi oleh obyek-obyek kecil yang merupakan sisa-sisa pembentukan Tata Surya. Sampai hari ini sudah ditemukan lebih dari 70,000 Obyek Sabuk Kuiper. Penemuan obyek sabuk kuiper masih belum menjadi ancaman bagi status Pluto sampai 10 tahun kemudian ketika Quaoar ditemukan. Quaoar memiliki ukuran setengah ukuran Pluto, artinya ia masih jauh lebih kecil dari Pluto. Setelah Quaoar ada juga Sedna yang kemudian menjadi obyek paling besar di Sabuk Kuiper. Tapi lagi-lagi ia masih lebih kecil dari Pluto.
Baru di tahun 2005, status Pluto sebagai planet mulai diperbincangkan ketika sebuah obyek yang seukuran Pluto bahkan sedikit lebih besar dari Pluto ditemukan. Obyek baru bernama Eris itu kemudian dimasukkan sebagai kandidat planet ke-10 setelah Pluto. Bahkan ada yang menyebutnya planet ke-10.
Kehadiran Eris membawa perdebatan baru untuk melakukan klasifikasi ulang akan status Pluto apakah ia tetap diklasifikasikan sebagai plante bersama ke-8 planet lainnya ataukah ia lebih pantas diklasifikasikan bersama Eris dan teman-temannya sebagai planet kecil dan obyek di Sabuk Kuiper.
Maka di tahun 2006, International Astronomical Union mengeluarkan resolusi yang berisi definisi planet, yakni:
- Memiliki orbit yang mengitari Matahari / bintang
- Memiliki massa yang besar agar gravitasinya cukup besar untuk mempertahankan bentuk bola
- Mampu membersihkan area sekeliling orbitnya dari benda-benda kecil.
Dari definisi tersebut, Resolusi yang dikeluarkan IAU tmemberikan 3 kategori utama dalam Tata Surya :
- Planet : 8 obyek dari Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus
- Planet Katai : Ceres, Pluto, Haumea, Makemake, Eris dan obyek bundar lainnya yang belum menyapu bersih lingkungan disekitar orbitnya, dan bukan merupakan satelit
- Benda Kecil di Tata Surya : semua obyek lain yang mengorbit Matahari.
Dengan demikian berdasarkan definisi baru Planet dari IAU, Pluto sekarang bukan lagi Planet melainkan sebuah Planet Katai, karena ia tidak memenuhi syarat ke-3 dari definisi Planet tersebut yakni area disekeliling Pluto masih belum bersih.
Apakah dengan demikian Pluto dikeluarkan dari Tata Surya? Perlu diingat para astronom bukan superman yang bisa mengeluarkan sebuah obyek dari Tata Surya. Yang dilakukan hanya melakukan katalog ulang dan menggolongkan Pluto sebagai Planet Kecil bersama rekan-rekannya yang seukuran.
Bahan Bacaan :
Badai Matahari
Matahari adalah sumber dari semua energi yang kita kenal di Bumi. Jika kita merunut semua sumber energi yang kita kenal dan kita gunakan sehari-hari, semuanya akan bermuara pada Matahari. Matahari sendiri menghasilkan energi lewat reaksi nuklir yang terjadi di pusatnya. Namun, meski Matahari memegang peran penting sebagai sumber energi yang kita butuhkan, Matahari juga menyimpan potensi yang bisa memberikan ancaman bagi manusia dan ekosistem Bumi. Ancaman yang dimaksud adalah peristiwa yang dikenal dengan nama badai matahari.
Sebelum membicarakan tentang badai matahari, kita akan melihat sekilas tentang Matahari.?Matahari adalah sebuah bintang, yaitu bola plasma panas yang ditopang oleh gaya gravitasi. Di pusat Matahari (nomor 1 dalam Gambar 1), terjadi reaksi nuklir (fusi) yang mengubah 4 atom hidrogen menjadi 1 atom helium. Reaksi fusi tersebut, selain menghasilkan helium, juga menghasilkan energi dalam jumlah melimpah (ingat persamaan terkenal oleh Einstein: E=mc2). Energi yang dihasilkan, di pancarkan keluar melewati bagian-bagian Matahari, yaitu: zona radiatif (nomor 2), zona konventif (nomor 3), dan bagian atmosfer Matahari, yang terdiri dari fotosfer (nomor 4), kromosfer (nomor 5), dan korona (nomor 6). Dan badai Matahari adalah peristiwa yang berkaitan dengan bagian atmosfer Matahari tersebut.
Bagian terluar dari Matahari, yaitu korona, memiliki temperatur yang mencapai jutaan kelvin. Dengan temparatur yang tinggi tersebut, materi yang berada di korona Matahari memiliki energi kinetik yang besar. Tarikan gravitasi Matahari tidak cukup kuat untuk mempertahankan materi korona yang memiliki energi kinetik yang besar itu. Dan secara terus menerus, partikel bermuatan yang berasal dari korona, akan lepas keluar angkasa. Aliran partikel ini dikenal dengan nama angin matahari, yang terutama terdiri dari elektron dan proton dengan energi sekitar 1 keV. Setiap tahunnya, sebanyak 1012 ton materi korona lepas menjadi angin matahari, yang bergerak dengan kecepatan antara 200-700 km/s.
Berbeda dengan pusat Matahari yang relatif sederhana, bagian atmosfer Matahari relatif lebih rumit. Karena di atmosfer Matahari ini, medan magnetik Matahari berperan besar terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya. Ada berbagai fenomena menarik diamati di atmosfer Matahari berkaitan dengan medan magnetik Matahari, seperti bintik matahari (sun spot), ledakan Matahari (solar flare), prominensa, dan pelontaran material korona (CME – Coronal Mass Ejection). Hal-hal inilah yang berkaitan dengan badai matahari.
Jadi apa yang dimaksud dengan badai matahari?
Singkatnya, badai matahari adalah kejadian / event dimana aktivitas Matahari berinteraksi dengan medan magnetik Bumi. Badai matahari ini berkaitan langsung dengan peristiwa solar flare dan CME. Kedua hal itulah yang menyebabkan terjadinya badai matahari.
Solar flare adalah ledakan di Matahari akibat terbukanya salah satu kumparan medan magnet permukaan Matahari. Ledakan ini melepaskan partikel berenergi tinggi dan radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang sinar-x dan sinar gamma. Partikel berenergi tinggi yang dilepaskan oleh peristiwa solar flare, jika mengarah ke Bumi, akan mencapai Bumi dalam waktu 1-2 hari. Sedangkan radiasi elektromagnetik energi tingginya, akan mencapai Bumi dalam waktu hanya sekitar 8 menit.
Lalu bagaimana dengan CME?
CME adalah pelepasan material dari korona yang teramati sebagai letupan yang menyembur dari permukaan Matahari. Dalam semburan material korona ini, sekitar 2×1011 – 4×1013 kilogram material dilontarkan dengan energi sebesar 1022 – 6×1024 joule. Material ini dilontarkan dengan kecepatan mulai dari 20 km/s sampai 2000 km/s, dengan rata-rata kecepatan 350 km/s. Untuk mencapai Bumi, dibutuhkan waktu 1-3 hari.
Matahari kita memiliki siklus keaktifan dengan periode sekitar 11 tahun. Siklus keaktifan ini berkaitan dengan pembalikan kutub magnetik di permukaan Matahari. Keaktifan Matahari ini bisa dilihat dari jumlah bintik matahari yang teramati. Saat keaktifan Matahari mencapai maksimum, kita akan mengamati bintik matahari dalam jumlah paling banyak di permukaan Matahari. Dan pada saat keaktifan Matahari mencapai maksimum inilah, angin matahari lebih ‘kencang’ dari biasanya dan partikel-partikel yang dipancarkan juga lebih energetik. Dan peristiwa solar flare dan CME dalam skala besar juga lebih dimungkinkan untuk terjadi. Dengan kata lain, saat keaktifan Matahari mencapai maksimum, Bumi akan lebih banyak dipapar dengan partikel-partikel bermuatan tinggi (lebih tinggi dari biasanya) dan radiasi elektromagnetik energi tinggi.
Partikel-partikel bermuatan yang dipancarkan dari peristiwa solar flare dan CME, saat mencapai Bumi, akan berinteraksi dengan medan magnetik Bumi. Interaksi ini akan menyebabkan gangguan pada medan magnetik Bumi buat sementara.
Saat partikel-partikel bermuatan dengan energi tinggi mencapai Bumi, ia akan diarahkan oleh medan magnetik Bumi, untuk bergerak sesuai dengan garis-garis medan magnetik Bumi, menuju ke arah kutub utara dan kutub selatan magnetik Bumi. Saat partikel-partikel energetik tersebut berbenturan dengan partikel udara dalam atmosfer Bumi, ia akan menyebabkan partikel udara (terutama nitrogen) terionisasi. Bagi kita yang berada di permukaan Bumi, yang kita amati adalah bentuk seperti tirai-tirai cahaya warna-warni di langit, yang dikenal dengan nama aurora. Aurora ini bisa diamati dari posisi lintang tinggi di sekitar kutub magnetik Bumi (utara dan selatan).
Saat terjadi badai matahari, partikel-partikel energetik tadi tidak hanya menghasilkan aurora yang indah yang bisa di amati di lintang tinggi. Tapi bisa memberikan dampak yang relatif lebih besar dan lebih berbahaya. Dampak yang dimaksud antara lain: gangguan pada jaringan listrik karena transformator dalam jaringan listrik akan mengalami kelebihan muatan, gangguan telekomunikasi (merusak satelit, menyebabkan black-out frekuensi HF radio, dll), navigasi, dan menyebabkan korosi pada jaringan pipa bawah tanah.
Peristiwa gangguan besar yang disebabkan oleh badai matahari, yang paling terkenal adalah peristiwa tahun 1859, peristiwa yang dikenal dengan nama Carrington Event. Saat itu, jaringan komunikasi telegraf masih relatif baru tapi sudah luas digunakan. Ketika terjadi badai Matahari tahun 1859, jaringan telegraf seluruh Amerika dan Eropa mati total. Aurora yang biasanya hanya bisa diamati di lintang tinggi, saat itu bahkan bisa diamati sampai di equator.
Masih ada beberapa contoh peristiwa lain yang berkaitan dengan badai matahari yang terjadi dalam abad ke-20 dan 21:
- 13 maret 1989: Terjadi CME besar 4 hari sebelumnya. Badai geomagnetik menghasilkan arus listrik induksi eksesif hingga ribuan ampere pada sistem interkoneksi kelistrikan Ontario Hydro (Canada). Arus induksi eksesif ini menyebabkan sejumlah trafo terbakar. Akibat dari terbakarnya trafo tsb, jaringan listrik di seluruh Quebec (Canada) putus selama 9 jam. Guncangan magnetik badai sekitar seperempat Carrington event, (sekitar 400 nT). Aurora teramati sampai di Texas
- Januari 1994 : 2 buah satelit komunikasi Anik milik Canada rusak akibat digempur elektron-elektron energetik dari Matahari. Satu satelit bisa segera pulih dalam waktu beberapa jam, namun satelit lainnya baru bisa dipulihkan 6 bulan kemudian.
Total kerugian akibat lumpuhnya satelit ini disebut mencapai US $ 50 – 70 juta. - November 2003 : Mengganggu kinerja instrumen WAAS berbasis GPS milik FAA AS selama 30 jam.
- Januari 2005: Berpotensi mengakibatkan black-out di frekuensi HF radio pesawat, sehingga penerbangan United Airlines 26 terpaksa dialihkan menghindari rute polar (kutub) yang biasa dilaluinya.
Badai Matahari juga bisa berbahaya bagi makhluk hidup secara biologi. Bahaya ini terutama bagi para astronot yang kebetulan sedang berada di luar angkasa saat badai matahari terjadi. Bagi kita yang berada di permukaan Bumi, kita relatif aman terlindungi oleh medan magnetik Bumi. Pengaruh langsung dari badai matahari ini hanya dialami oleh binatang-binatang yang peka terhadap medan magnetik Bumi. Karena badai matahari mengganggu medan magnetik Bumi, maka binatang-binatang yang peka terhadap medan magnetik akan secara langsung terimbas. Misalnya burung-burung, lumba-lumba, dan paus, yang menggunakan medan magnetik Bumi untuk menentukan arah, untuk sesaat ketika badai matahari terjadi, mereka akan kehilangan arah.
Saat ini, Matahari sedang menuju puncak keaktifan dalam siklusnya yang ke-24. Puncak keaktifan Matahari ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 2011-2013. Saat puncak keaktifan Matahari pada siklus ke-24 ini, diperkirakan tidak akan jauh berbeda dengan saat puncak keaktifan pada siklus-siklus sebelumnya. Mungkin efeknya akan sedikit lebih besar, tapi ada juga yang menduga akan terjadi hal yang sebaliknya, justru lebih kecil efeknya. Yang manapun itu kasusnya, bisa dikatakan semua ahli fisika matahari sepakat tidak mungkin terjadi peristiwa besar yang akan membahayakan kehidupan di muka Bumi.
Berdasarkan pengetahuan kita saat ini, badai matahari hanya akan memberikan ancaman bahaya yang rendah. Solar flare dan CME yang terjadi di Matahari, tidak akan cukup untuk menyebabkan peristiwa seperti yang digambarkan dalam beberapa film yang beredar belakangan ini. Beberapa bintang yang diamati memang menunjukkan adanya peristiwa yang dikenal dengan istilah superflare, yaitu flare seperti yang kita amati di Matahari tapi dengan intensitas yang jauh lebih besar. Tapi peristiwa serupa diduga bukan peristiwa yang umum dan diragukan bakal terjadi pada Matahari kita, setidaknya saat ini. Memang peristiwa solar flaredan CME belum bisa diprediksi dengan baik untuk saat ini. Tapi pengetahuan kita yang didapat dari pengamatan Matahari lewat berbagai observatorium landas-bumi dan wahana antariksa yang terus menerus mengamati Matahari, kita semakin mengerti berbagai peristiwa yang terjadi di Matahari. Setidaknya untuk saat ini, kita bisa mengatakan dengan cukup yakin bahwa yang digambarkan dalam film-film fiksi ilmiah tentang badai raksasa matahari, tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Crop Circle – Sejarah, Penjelasan dan Karakteristik
Crop circle atau yang lebih dikenal dengan sebutan lingkaran ladang gandum adalah sebuah pola yang muncul dalam semalam pada ladang gandum dengan ciri merunduknya batangan gandum tersebut. Pada awalnya, crop circle hanya berbentuk lingkaran-lingkaran sederhana, namun memasuki tahun 1980an, crop circle berkembang hingga memiliki pola yang rumit dan tidak hanya berbentuk lingkaran.
Istilah Crop circle pertamakali diperkenalkan oleh Colin Andrew, salah satu peneliti crop circle ternama di dunia. Mungkin banyak dari kita yang belum mengetahui, namun crop circle ternyata tidak hanya muncul di ladang gandum, melainkan juga di ladang jagung, keledai, sawah dan kebun bunga.
Sejarah Crop Circle
Sejarah Crop circle dapat dilacak hingga tahun 1678. Pada abad tersebut, ada sebuah ukiran kayu yang disebut “Mowing Devil” yang menggambarkan iblis sedang menggambar desain oval di sebuah ladang gandum.
Kisahnya mungkin sedikit mistik. Sang petani yang menolak tuntutan pekerjaan sang majikan, mengatakan bahwa lebih baik iblis yang mengerjakan tugasnya. Pada malam itu juga, Ladang gandum tersebut terlihat terbakar oleh api. Paginya lingkaran misterius berbentuk oval muncul di ladang tersebut.
Entahkan ini kisah nyata atau tidak, tidak ada yang bisa mengkonfirmasinya.
Laporan crop circle yang lebih modern dipublikasikan di majalah Nature edisi 29 Juli 1880. Pada tahun itu, seorang peneliti bernama John Rand Capron melaporkan adanya tanaman-tanaman gandum yang merunduk dan membentuk lingkaran sirkular.
Crop Circle – Mendunia
Crop circle mulai mendunia pada tahun 1980-an ketika media melaporkan banyak crop circle muncul di wilayah pedesaan Inggris, terutama di Wiltshire dan Hampshire. Bersamaan dengan kemunculan di Inggris, fenomena yang sama dilaporkan muncul di Australia dan Amerika Serikat.
Hingga saat ini paling tidak ada 12.000 Crop circle yang telah ditemukan di seluruh dunia, seperti Inggris, Rusia, Amerika Serikat, Kanada dan bahkan Jepang.
Crop Circle – tanda kemunculan
Menurut para saksi mata, sebelum Crop Circle muncul selalu ada tanda-tanda aneh yang mendahului:
2. Terjadinya badai petir hebat.
3. Benda-benda elektrik tiba-tiba mati dengan sendirinya termasuk mesin mobil.
Karena itu hingga saat ini, teori sains yang paling populer mengenai dugaan penyebab kemunculan crop circle adalah akibat medan elektromagnetik yang berasal dari petir. Namun para ilmuwan belum bisa memecahkan misteri mengapa petir dapat menciptakan pola-pola yang indah.
Crop circle – Hoax atau Nyata ?
Pada tahun 1991, dua pria dari Southampton, Inggris bernama Dave Chorley dan Doug Bower mengaku telah membuat Crop circle sejak tahun 1976. Mereka membuat crop circle tersebut hanya dengan menggunakan sebuah papan, patok dan tali. Menurut mereka, hanya dengan menggunakan alat sederhana itu, mereka dapat membuat sebuah lingkaran dengan diameter 12 meter hanya dalam tempo 15 menit.
Majalah Time edisi 23 September 1991 menyebut pengakuan Chorley dan Bower dengan kutipan seperti ini :
“Pengakuan ini mengakhiri sebuah misteri paling populer yang pernah disaksikan Inggris dan dunia”
Benarkah anggapan majalah Time ? Apakah misteri ini telah terpecahkan?
Memang, banyak dari crop circle adalah buatan manusia, namun para peneliti menemukan karakteristik-karakteristik yang kelihatannya mustahil dapat dibuat oleh manusia.
Crop Circle – Karakteristik
Karakteristik yang ditemukan pada crop circle yang asli adalah sebagai berikut :
Batang gandum tidak patah
Pada crop circle yang asli, tanaman gandum tidak patah. Ia hanya merunduk seperti sebuah sendok plastik yang dipanaskan. Menurut para peneliti, hal ini bisa diakibatkan oleh semburan elektromagnetik yang deras kearah tanaman gandum hingga menambah kelembaban batang gandum yang memungkinkannya untuk merunduk tanpa patah.
Pada crop circle yang asli, tanaman gandum tidak patah. Ia hanya merunduk seperti sebuah sendok plastik yang dipanaskan. Menurut para peneliti, hal ini bisa diakibatkan oleh semburan elektromagnetik yang deras kearah tanaman gandum hingga menambah kelembaban batang gandum yang memungkinkannya untuk merunduk tanpa patah.
Lubang-lubang kecil pada batang gandum
Ciri lainnya adalah ditemukan lubang-lubang kecil di batang gandum. Para peneliti menduga bahwa lubang ini tercipta akibat adanya semburan gelombang mikro yang terus-menerus yang menyebabkan kelembaban batang gandum berubah menjadi uap panas yang kemudian mencari jalan keluar dari batang gandum.
Ciri lainnya adalah ditemukan lubang-lubang kecil di batang gandum. Para peneliti menduga bahwa lubang ini tercipta akibat adanya semburan gelombang mikro yang terus-menerus yang menyebabkan kelembaban batang gandum berubah menjadi uap panas yang kemudian mencari jalan keluar dari batang gandum.
Pola Rumit
Memang, manusia yang berusaha membuat crop circle mampu membuat pola yang rumit, namun tidak dalam semalam. Crop circle asli terkadang memiliki pola geometri yang asing bagi kebanyakan orang. Salah satunya adalah pola Phi yang hanya berhasil dipecahkan oleh seorang ahli astrofisika !
Memang, manusia yang berusaha membuat crop circle mampu membuat pola yang rumit, namun tidak dalam semalam. Crop circle asli terkadang memiliki pola geometri yang asing bagi kebanyakan orang. Salah satunya adalah pola Phi yang hanya berhasil dipecahkan oleh seorang ahli astrofisika !
Partikel Besi Mikro bermagnet
Ciri lain yang hampir mustahil ditiru oleh manusia adalah adanya Partikel Besi bermagnet yang ditemukan pertama kali oleh para peneliti dari BLT Institute. Partikel besi bermagnet tersebut memiliki diameter 10-50 mikrometer dan terdistribusi secara merata dan linear di perimeter Crop Circle. Menurut para peneliti, partikel besi ini mungkin muncul karena terciptanya kolom udara yang terionisasi (Plasma Vortex).
Ciri lain yang hampir mustahil ditiru oleh manusia adalah adanya Partikel Besi bermagnet yang ditemukan pertama kali oleh para peneliti dari BLT Institute. Partikel besi bermagnet tersebut memiliki diameter 10-50 mikrometer dan terdistribusi secara merata dan linear di perimeter Crop Circle. Menurut para peneliti, partikel besi ini mungkin muncul karena terciptanya kolom udara yang terionisasi (Plasma Vortex).
Perubahan struktur Kristalin batang gandum
Ciri lainnya adalah adanya perubahan struktur Kristalin pada tanaman gandum. Karakter ini hampir dipastikan tidak dapat ditiru oleh orang lain.
Ciri lainnya adalah adanya perubahan struktur Kristalin pada tanaman gandum. Karakter ini hampir dipastikan tidak dapat ditiru oleh orang lain.
Perubahan komposisi kimiawi tanah
Peneliti lainnya juga menemukan pada beberapa kasus terjadi perubahan komposisi kimiawi tanah tempat terciptanya Crop circle.
Peneliti lainnya juga menemukan pada beberapa kasus terjadi perubahan komposisi kimiawi tanah tempat terciptanya Crop circle.
Timbulnya medan magnet misterius di lokasi
Pada crop circle yang asli, umumnya terdapat medan magnet yang sangat kuat di dalam lingkaran formasinya. Medan magnet ini dapat mematikan peralatan elektrik. Ciri ini tidak ditemukan pada crop circle buatan manusia.
Pada crop circle yang asli, umumnya terdapat medan magnet yang sangat kuat di dalam lingkaran formasinya. Medan magnet ini dapat mematikan peralatan elektrik. Ciri ini tidak ditemukan pada crop circle buatan manusia.
Crop Circle – Tantangan Sains
Pada tahun 2002, Discovery Channel menugaskan 5 insinyur aeronautic dan austronautic dari MIT untuk membuat Crop Circle. Syaratnya mereka harus membuat Crop circle yang paling tidak memiliki 3 ciri, yaitu :
1. Batang gandum yang tidak patah.
2. Ada lubang-lubang uap pada batang gandum.
3. Adanya partikel besi berdiameter 10-50 mikrometer yang tersebar merata secara linear di formasi Crop circle.
2. Ada lubang-lubang uap pada batang gandum.
3. Adanya partikel besi berdiameter 10-50 mikrometer yang tersebar merata secara linear di formasi Crop circle.
Tim tersebut kemudian membuat sebuah crop circle, lalu berusaha memasukkan 3 karakter diatas. Mereka menggunakan microwave emitter untuk meningkatkan suhu batang gandum hingga berubah menjadi uap. Mereka lalu menggunakan flamethrower untuk menyemprot partikel besi. Namun ternyata peralatan tersebut memakan terlalu banyak waktu dan tidak efektif sehingga mereka terpaksa menggunakan pyrotechnic untuk menyebarkan partikel besi secara merata.
Dengan seluruh teknologi canggih yang digunakan, para insinyur MIT hanya dapat menghasilkan 2 ciri dengan sempurna. Ciri ketiga, yaitu partikel besi tersebar tidak dengan merata.
Lagipula menurut peneliti Crop circle, para tim tersebut menggunakan ilmu pengetahuan dan peralatan canggih yang jelas diluar jangkauan para Hoaxer lainnya.
Bukan hanya di Inggris, Percobaan mereproduksi Crop circle ternyata pernah dilakukan oleh seorang peneliti Jepang bernama Y. Ohtsuki (Crop circle pernah muncul di sawah padi di Jepang).
Ia memang berhasil menciptakan karakter asli crop circle yaitu dengan cara menjatuhkan bola api plasma ke sebuah piringan yang ditaburi debu alumunium. Ya, karakteristik yang sederhana-pun membutuhkan ilmu pengetahuan yang cukup rumit.
Pernah suatu hari, para peneliti yang berusaha menciptakan kembali Crop circle dengan segala karakteristiknya menggunakan derek seberat 40 ton hanya untuk memasang penerangan agar mereka dapat bekerja pada malam hari. Atraksi itu menarik banyak penonton yang ingin tahu.
Crop circle asli muncul tanpa adanya atraksi dan keramaian seperti itu. mereka hanya muncul dengan tiba-tiba. Jadi sains modern masih belum bisa menjelaskan dengan sempurna fenomena ini.
Adakah penjelasan lain yang ditawarkan ?
Crop Circle – Penjelasan Lainnya
Bagi yang lain, ketika sains gagal mengungkap rahasia crop circle, mereka sampai kepada penjelasan alternatif, Yaitu crop circle adalah buatan alien.
Pada tahun 1966 terjadi laporan yang luar biasa aneh. Di sebuah kota kecil di Tully, Queensland, Australia, seorang petani tebu melaporkan adanya sebuah UFO yang terbang dari alang-alang. Ketika ia menyelidiki lokasi terbangnya UFO tersebut, ia melihat alang-alang diatas air rawa ditempat itu merunduk dalam pola lingkaran searah jarum jam. Luar biasanya, jalinan yang tercipta dari alang-alang tersebut mampu menahan berat 10 pria dewasa.
Di Inggris, beberapa saksi mata pernah melihat objek terbang tak dikenal pada malam munculnya Crop circle.
Apakah Crop circle adalah jejak UFO yang tertinggal ? Ataukah kode rahasia yang ingin disampaikan kepada umat manusia ? tentu saja tidak ada yang bisa memastikannya.
Namun dugaan ini dibuat semakin panas akibat adanya pengakuan seorang mantan sersan polisi di Inggris yang mengaku bahwa para petani di Inggris dibayar oleh pihak militer untuk segera membuldoser crop circle segera setelah mereka muncul. Apakah militer Inggris mengetahui sesuatu yang tidak boleh diungkapkan?
Kota Hantu di Angkasa
Galaksi itu laksana kota bintang di alam semesta. Namun, astronom baru-baru ini menemukan 12 galaksi yang mirip kota hantu lantaran nyaris tidak ada bintang di sana!
Galaksi-galaksi kecil ini disebut ‘galaksi gelap’ disebabkan oleh tidak adanya cahaya bintang yang membuatnya terang. Astronom telah menduga keberadaan galaksi gelap karena galaksi semacam itu berperan penting dalam teori bagaimana galaksi tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah alam semesta. Tetapi, belum pernah ditemukan galaksi gelap sebelumnya.
Letak galaksi-galaksi gelap sangat jauh. Galaksi-galaksi ini diduga merupakan “bahan dasar” yang membantu penciptaan galaksi berisi bintang-bintang besar yang kita lihat di masa sekarang, misalnya saja Galaksi Bima Sakti kita. Kita masih bisa melihat “bahan dasar” ini meskipun sudah digunakan untuk membantu menyusun galaksi besar. Hal ini bisa terjadi karena saat kita melihat alam semesta yang jauh, kita melihat masa lalu! (Bagaimana astronom bisa melihat masa lampau bisa dibaca di sini.)
Bagaimana astronom bisa menemukan galaksi yang gelap? (Bayangkan kalian sedang mencari lilin di sebuah ruangan yang gelap padahal lilin sudah padam. Akan tidak mudah menemukannya.) “Terangi saja,” jelas Simon Lilly, salah seorang astronom di balik penemuan baru ini. Itu sebabnya para astronom mencari galaksi gelap di sekitar galaksi-galaksi yang terang benderang atau yang biasa disebut ‘quasar’, yang juga terletak sangat jauh. “Cahaya dari quasar akan menerangi galaksi gelap,”kata Simon.
Fakta menarik: Galaksi-galaksi gelap ini mungkin lebih kecil dari galaksi yang kita lihat di masa sekarang, tapi tetap saja mereka mengandung gas semilyar kali lebih banyak dari gas yang ada di Matahari.
Sumber: Universe Awareness Space Scoop
Bintang “O”, Permen Bundar Terbesar di Alam Semesta!
Pernah datang ke toko dimana kamu bisa memilih beberapa permen dan kemudian mencampurkannya dengan permen lainnya? Seperti itulah alam semesta yang memiliki berbagai jenis bintang di dalamnya.
Warna bintang-bintang menjadi sumber informasi bagi astronom untuk mengetahui berat dan juga temperatur di permukaannya. Untuk bintang yang super panas dan juga paling berat warnanya biru. Sedangkan bintang paling dingin dan paling ringan warnanya merah. (Ini berkebalikan dengan penggunaan warna biru dan merah untuk menunjukkan panas dan dingin dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya: warna merah biru pada prakiraan cuaca, keran air ataupun dispenser. Biru untuk dingin dan merah untuk panas).
Untuk memudahkan, bintang-bintang dikelompokkan dalam sebuah kelompok yang diurut dari paling panas ke yang paling dingin : O, B, A, F, G, K dan M. Matahari kita berada di kelompok bintang tipe G yang ada di tengah-tengah. Dan kalau kamu perhatikan, urutan kelompok bintang ini juga tidak sesuai urutan abjad. Bagaimana cara menghafalnya? Dalam bahasa Inggris, kita gunakan sedikit tipuan untuk menghafalnya secara berurutan: Hafalkan saja kalimat ini: “Oh Be A Fine Girl/Guy, Kiss Me”. (mudah bukan? Sekarang bisakah kamu menciptakan satu kalimat sederhana untuk mengingat urutan kelompok bintang ini dalam bahasamu? Lihat juga aktivitas yang ada di akhir cerita)
Baru-baru ini, tim astronom internasional melakukan pengamatan terhadap 71 bintang tipe-O – toko permen “bundar” terbesar di alam semesta. Kalau dilihat dari urutan di kelompok bintang, maka bisa kamu lihat kalau bintang O itu bintang yang paling panas. Dan para astronom selalu berpikir kalau bintang tipe O ini berada jauh sekali dari tetangga terdekatnya. Ternyata, dalam penelitian terbaru 3 dari 4 bintang tipe O berada sangat dekat dengan bintang lain. Kenyataannya, 1 dari 3 bintang letaknya sangat dekat sehingga bintang itu kemudian bersatu dengan bintang tetangganya menjadi satu bintang tunggal!
Yuk berkreasi : Usulkan kalimat sederhana dalam bahasamu untuk membantu mempelajari kelompok bintang-bintang dari yang paling panas ke yang paling dingin (O, B, A, F, G, K dan M). Kirimkan idemu keinfo@unawe.org, disertai nama ( atau nama sekolah) usia, dan negara.
Kisah Perjalanan Alam Semesta
Alam semesta merupakan sebuah daerah yang sangat besar, terisi dengan berbagai komponen yang bisa mengejutkan kita, termasuk hal-hal yang jauh dari bayangan kita. Teori kosmologi modern dimulai oleh Friedman pada tahun 1920 dan dikenal juga sebagai model kosmologi standar. Model kosmologi standar dimulai dengan prinsip di dalam skala besar, alam semesta homogen dan isotropis serta pengamat tidak berada pada posisi yang istimewa di alam semesta. Model ini juga menyatakan bahwa alam semesta seharusnya mengembang dalam jangka waktu berhingga, dimulai dari keadaan yang sangat panas dan padat.
Bintang merupakan salah satu objek yang bisa langsung dikenali saat kita melihat langit, tentu saja disamping bulan dan planet. Bintang sendiri memiliki beberapa tipe dan kelas, namun seringnya saat melihat bintang, kita akan langsung membandingkannya dengan Matahari. Bintang-bintang yang ada di langit terikat satu sama lainnya dalam suatu ikatan gravitasi yang membentuk galaksi Bima Sakti.
Bima Sakti juga bukan satu-satunya galaksi yang ada di alam semesta. Bima Sakti hanya merupakan satu dari miliaran galaksi yang ada dalam alam semesta teramati. Alam semesta teramati ini terdiri dari galaksi dan materi-materi lainnya yang secara prinsip bisa teramati dari Bumi saat ini. Tentunya cahaya atau sinyal lainnya dari obyek-obyek ini membutuhkan waktu untuk mencapai kita.
Model Alam Semesta
Model evolusi alam semesta. Kredit : SDSS
Tahun 1929, Edwin Hubble yang bekerja di Carniege Observatories di Pasadena, California mengukur pergeseran merah dari sejumlah galaksi jauh. Ia juga mengukur jarak relatif dengan pengukuran kecerlangan semu bintang variabel Cepheid di setiap galaksi. saat melakukan plot pergeseran merah terhadap jarak relatif, Hubble menemukan kalau pergeseran merah galaksi jauh ini meningkat dalam fungsi linear terhadap jarak. Galaksi-galaksi jauh itu bergerak saling menjauh satu sama lainnya, dan memberikan adanya gambaran kalau alam semesta ternyata tidak tetap melainkan mengembang.
Jika demikian, bisa dikatakan alam semesta di masa lalu itu jauh lebih kecil dan lebih jauh lagi ke masa lalu, alam semesta ini hanya berupa sebuah titik. Titik yang kemudian dikenal sebagai dentuman besar, sekaligus awal dari alam semesta yang bisa kita pahami saat ini. Alam semesta yang mengembang ini terbatas dalam ruang dan waktu.
Newton mengetahui bahwa jika deskripsi gravitasinya benar, maka gaya gravitasi antar seluruh partikel bermassa dalam alam semesta akan secara akumulatif membuat alam semesta runtuh. Oleh karena itu ia mengusulkan alam semesta besarnya tak hingga. Persamaan medan Einstein mengusulkan alam semesta yang dinamik (walaupun awalnya Einstein sendiri, seperti kebanyakan orang hingga 1920an, berpikir bahwa alam semesta statik.
Mengapa alam semesta ini tidak runtuh seperti prediksi Newton dan Einstein? Jawabannya tak lain karena semenjak awal terjadinya, alam semesta ini sudah mengembang. Dalam alam semesta mengembang, ada 3 solusi yang diajukan untuk memprediksikan nasib alam semesta secara kesluruhan. Nah nasib yang mana yang akan dialami tentunya bergantung pada pengukuran kecepatan mengembang alam semesta relatif terhadap jumlah materi di dalam alam semesta.
Secara umum ketiga solusi itu adalah, alam semesta terbuka, alam semesta datar dan alam semesta tertutup. Untuk alam semesta terbuka, ia akan mengembang selamanya, jika ia merupakan alam semesta datar maka akan terjadi pengembangan selamanya dengan laju pengembangan mendekati nol setelah waktu tertentu. Jika alam semesta merupakan alam semesta tertutup, ia akan berhenti mengembang dan mulai mengalami keruntuhan terhadap dirinya sendiri dan kemungkinan akan memicu terjadinya dentuman besar lainnya. Untuk ketiga solusi ini, alam semesta akan mengalami perlambatan dalam mengembang sebagai akibat dari gravitasi.
Pengamatan yang dilakukan saat ini pada supernova jauh menunjukan terjadinya pengembangan alam semesta yang mengalami percepatan, yang diakibatkan oleh keberadaan energi kelam. Tak seperti gravitasi yang memperlambat terjadinya pengembangan, energi kelam justru mempercepat pengembangan. Nah jika memang energi kelam ini memainkan peranan yang penting dalam evolusi alam semesta, maka kemungkinan yang terjadi alam semesta akan terus mengembang secara eksponensial selamanya.
Alam Semesta Dini
Namun sesungguhnya, alam semesta yang kita lihat saat ini berbeda jauh dengan masa lalu. Jika manusia mengalami yang namanya pertumbuhan dari bayi sampai dewasa, alam semesta juga demikian. Di awal sejarahnya, alam semesta merupakan daerah yang sangat panas dan padat. Suatu keadaan yang berbeda jauh dari alam semesta yang ada saat ini yang sudah sangat layak menjadi tempat hunia. Jika kita menelaah ke masa lalu, maka akan ditemukan pada saat awal sejarah alam semesta, keadaanya yang panas tidak memungkinkan adanya atom, karena elektron bergerak bebas dan pada keadaan yang lebih awal lagi, nuklei terpisah menjadi proton dan netron, dan alam semesta merupakan plasma yang luar biasa panas yang terdiri dari partikel-partikel sub nuklir. Jika kita telusuri lebih jauh lagi ke awal alam semesta maka akan ditemukan kalau alam semesta memiliki titik awal yang dikenal sebagai dentuman besar atau ledakan besar.
Namun sesungguhnya, alam semesta yang kita lihat saat ini berbeda jauh dengan masa lalu. Jika manusia mengalami yang namanya pertumbuhan dari bayi sampai dewasa, alam semesta juga demikian. Di awal sejarahnya, alam semesta merupakan daerah yang sangat panas dan padat. Suatu keadaan yang berbeda jauh dari alam semesta yang ada saat ini yang sudah sangat layak menjadi tempat hunia. Jika kita menelaah ke masa lalu, maka akan ditemukan pada saat awal sejarah alam semesta, keadaanya yang panas tidak memungkinkan adanya atom, karena elektron bergerak bebas dan pada keadaan yang lebih awal lagi, nuklei terpisah menjadi proton dan netron, dan alam semesta merupakan plasma yang luar biasa panas yang terdiri dari partikel-partikel sub nuklir. Jika kita telusuri lebih jauh lagi ke awal alam semesta maka akan ditemukan kalau alam semesta memiliki titik awal yang dikenal sebagai dentuman besar atau ledakan besar.
Jika gambaran besar alam semesta kita majukan dari Big Bang, maka akan kita temukan kalau alam semesta mengembang dari plasma yang panas dan padat menjadi alam semesta yang cukup dingin yang terlihat saat ini. Namun dalam sejarah pengembangannya, ada beberapa periode singkat saat alam semesta masih berusia sekitar 1 menit dimana proton dan netron tersintesis menjadi nuklei ( helium, deutrium, dan lithium, bersamaan dengan proton-proton tunggal yang membentuk nukeli hidrogen). Kemudian elektron bergabung dengan nuklei membentuk atom saat alam semesta berusia sekitar 370 000 tahun. Pada titik inilah alam semesta menjadi transparan dan dari radiasi foton yang lepas kita bisa mendapatkan informasi tentang alam semesta.
Peta pengamatan yang dihasilkan COBE. Peta paling bawah merupakan variasi temperatur dari radiasi latar belakang. Kredit : COBE
Pada saat alam semesta mengembang panjang gelombang mengalami pergeseran menjadi lebih panjang, sehingga temperatur radiasi menurun sampai sekitar 3 derajat Kelvin, membentuk apa yang kita kenal sebagai cosmic microwave background (CMB). CMB sendiri bisa dinyatakan sebagai emisi yang datang dari alam semesta yang masih sangat muda dan partikel berada dalam keadaan setimbang termodinamik sempurna. CMB menjadi sangat penting, karena CMB merupakan petunjuk yang membawa informasi alam semesta dini. Hasil CMB menunjukkan adanya homogenitas atau keseragaman yang tinggi dalam distribusi temperatur alam semesta.
Isi alam semesta sendiri cukup beragam, bukan hanya apa yang bisa terlihat. Dari yang terdeteksi, ternyata alam semesta ini 5% terdiri dari materi (atom yang membentuk bintang, gas, debu, dan planet). Dan ada 25 % dari alam semesta yang terisi oleh materi gelap, partikel baru yang bahkan beum bisa dideteksi oleh laboratorium manapun di bumi ini. Sementara 70% alam semesta diisi oleh energi gelap, yang terdistribusi merata dan energi ini pun masih menjadi sbeuah misteri yang tak terpecahkan bagi dunia sains. Energi gelap diperkirakan merupakan energi vakum yang tak terpisahkan dari ruang waktu atau mungkin bisa juga sesuatu yang jauh lebih eksotik dari itu.
Tampaknya model Big Bang konvensional memberikan suatu keselarasan dengan hasil observasi, selama kita memberikan suatu kondisi awal yang spesifik pada awal alam semesta yakni : alam semesta yang mengembang dengan kerapatan yang sama di semua titik dalam ruang, namun ada gangguan kecil yang menyebabkan alam semesta berkembang ke keadaan sekarang. Mengapa demikian?
Dari model kosmologi standar terdapat dua permasalahan besar yakni masalah horison dan masalah kurvatur alam semesta. Semakin dini alam semesta, kerapatannya akan mendekati kerapatan kritis, maka berapapun kerapatan alam semesta sekarang, pada alam semesta dini perbedaan kerapatannya haruslah sangat kecil. Kalau tidak, maka kita tidak akan bisa menjumpai alam semesta pada keadaan sekarang. Jika perbedaannya besar, maka untuk model alam semesta tertutup, alam semesta sudah mengalami kehancuran besar atau big crunch dan untuk model alam semesta mengembang, temperatur 3 Kelvin telah dicapai sebelum saat ini.
Sedangkan masalah horison berkaitan dengan batas sesuatu yang bisa diamati dengan yang belum teramati. Intinya, dari CMB kita temukan adanya keseragaman temperatur. Nah temperatur ini bisa seragam tentu karena adanya komunikasi antara partikel-partikel dalam alam semesta. Namun setelah kita telusuri jejak ke masa lalu, ternyata horison itu kecil dan menunjukkan kalau setelah big bang dan alam semesta mengembang partikel-partikel yang awalnya bisa saling berkomunikasi akan tidak bisa saling berkomunikasi lagi karena berada di luar horison tersebut. Nah bagaimana supaya partikel-partikel tersebut bisa saling berkomunikasi? Jawabannya perbesar horison, nah jawaban yang memungkinkan untuk kedua masalah ini adalah adanya inflasi alam semesta.
Inflasi alam semesta. Kredit : guidetothecosmos.com
Apa itu Inflasi? Inflasi alam semesta merupakan pengembangan alam semesta secara eksponensial dalam waktu yang sangat singkat saat alam semesta dini. Bahkan satu kedipan matapun lebih lambat dari inflasi alam semesta. Inflasi terjadi dalam waktu kurang dari 1 detik. Cepat sekali bukan? Mengapa perlu adanya inflasi?
Inflasi diperlukan untuk memecahkan masalah kurvatur alam semesta maupun masalah horizon. Dengan adanya inflasi maka horizon alam semesta bisa diperbesar sampai keadaan dimana partikel-partikel berada dalam lingkup horizon dan bisa slaing berkomunkiasi. Selain itu dengan pengembangan alam semesta secara tiba-tiba (eksponensial) maka setelah alam semesta mengalami inflasi, setelah itu ia akan mengembang mengikuti model standar dan pada akhirnya bisa mencapai keadaan saat ini. Tanpa inflasi evolusi alam semesta mungkin sudah mencapai masa akhirnya (kehancuran besar untuk alam semesta tertutup) atau kondisi dimana temperatur alam semesta mencapai suhu 3 K terjadi jauh sebelum sekarang.
Namun sampai saat ini belum ada model inflasi yang pasti. Berbagai model inflasi masih terus dikembangkan. Alam semesta memang menyimpan segudang misteri untuk dipecahkan, namun setiap satu misteri terungkap akan muncul misteri baru. Ruang waktu seperti sebuah jajaran teka teki yang menanti manusia untuk mengisi setiap jawaban.
Gliese 436c, “Planet Tetangga” Yang Lebih Kecil dari Bumi
Satu lagi kandidat planet baru berhasil ditemukan. Kali ini ukurannya cuma 2/3 Bumi dan berada tidak jauh dari Bumi. Hanya berjarak 33 tahun cahaya. Tetangga terdekat Tata Surya yang lebih kecil dari Bumi.
Exoplanet Lebih Kecil dari Bumi
Planet merupakan obyek yang bergerak mengitari Bintang. Di Tata Surya, mereka bergerak mengelilingi Matahari tapi bukan berarti di bintang lain tidak ada planet. Tapi untuk menemukan planet seukuran Bumi atau bahkan yang lebih kecil dari Bumi bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan alat yang mumpuni untuk bisa mendeteksi keberadaan mereka. Wahana Kepler sudah membuktikan kemampuannya lewat ribuan kandidat planet yang ditemukan yang puluhan diantaranya masuk kategori seukuran Bumi.
Planet merupakan obyek yang bergerak mengitari Bintang. Di Tata Surya, mereka bergerak mengelilingi Matahari tapi bukan berarti di bintang lain tidak ada planet. Tapi untuk menemukan planet seukuran Bumi atau bahkan yang lebih kecil dari Bumi bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan alat yang mumpuni untuk bisa mendeteksi keberadaan mereka. Wahana Kepler sudah membuktikan kemampuannya lewat ribuan kandidat planet yang ditemukan yang puluhan diantaranya masuk kategori seukuran Bumi.
Kali ini, Teleskop Spitzer melakukan pengamatan transit pada exoplanet yang sudah ditemukan di sistem bintang katai merah Gliese 436 di rasi Leo yakni planet Gliese 436b. Pada saat Kevin Stevenson dari University of Central Florida mengamati Gliese 436b, mereka justru menemukan adanya bukti kuat keberadaan planet kecil yang panas dengan jarak yang sangat dekat. Ternyata dugaan itu tidak salah. Dalam data Spitzer para astronom berhasil melihat “berkurangnya” cahaya inframerah yang datang dari bintang. Dan penurunan cahaya ini berbeda dari kedipan aka melemahnya cahaya bintang yang disebabkan oleh GJ 436b. Para astronom kemudian melakukan telaah data Spitzer dan menemukan kalau si kedipan tadi terjadi secara berkala, mengindikasikan keberadaan sebuah planet lain yang juga mengorbit bintang dan menghalangi sejumlah kecil cahaya bintang ketika si planet lewat di depannya aka transit. Obyek yang awalnya menjadi kandidat exoplanet yang diberi kode UCF-1.01 dan kemudian dikonfirmasi menjadi exoplanet Gliese 436c atau planet ke-2 di sistem Gliese 436.
Penemuan Gliese 436c juga menjadi penemuan pertama bagi Spitzer. Yang artinya memberikan kemungkinan baru bagi Spitzer untuk turut membantu menemukan planet yang memiliki potensi laik huni atau planet-planet berukuran terrestrial. Keberhasilan Spitzer mengidentifikasi GJ 436c juga menjadi indikasi kalau suatu hari kelak manusia bisa mengenali karakter si planet dengan instrumen yang akan dibangun di masa depan.
Gliese 436c
Apa yang menarik dari planet GJ 436c yang baru ditemukan tersebut? Yang menjadi perhatian bagi banyak pihak adalah ukurannya yang hanya 2/3 ukuran Bumi dan berada tak jauh hanya 33 tahun cahaya. Tapi dari lamanya transit dan sedikitnya pelemahan pada cahaya bintang, para astronom berhasil mengetahui kalau diameternya 8400 km atau 2/3 ukuran Bumi dengan kala revolusi hanya 1,4 hari. Planet ini mengorbit bintang katai merah GJ436 dari jarak 0,019 SA atau jauh lebih dekat dari jarak Merkurius ke Matahari. Dengan jarak yang sedemikian dekat, tak pelak temperatur permukaan GJ 436c ini lebih dari 600º Celsius.
Apa yang menarik dari planet GJ 436c yang baru ditemukan tersebut? Yang menjadi perhatian bagi banyak pihak adalah ukurannya yang hanya 2/3 ukuran Bumi dan berada tak jauh hanya 33 tahun cahaya. Tapi dari lamanya transit dan sedikitnya pelemahan pada cahaya bintang, para astronom berhasil mengetahui kalau diameternya 8400 km atau 2/3 ukuran Bumi dengan kala revolusi hanya 1,4 hari. Planet ini mengorbit bintang katai merah GJ436 dari jarak 0,019 SA atau jauh lebih dekat dari jarak Merkurius ke Matahari. Dengan jarak yang sedemikian dekat, tak pelak temperatur permukaan GJ 436c ini lebih dari 600º Celsius.
Dengan suhu demikian panas laksana panggangan, seandainya GJ 436c memiliki atmosfer maka dapat dipastikal kalau atmosfernya sudah menguap. Diperkirakan planet kecil tersebut merupakan sebuah dunia yang sebagian besar diisi oleh kawah mati akibat aktivitas geologi seperti halnya Merkurius. Tapi, Josseph Harrington dari University of Central Florida yang merupakan pimpinan tim peneliti ini memberikan kemungkinan lain. Ia justru menduga kalau panas ekstrim di GJ 436c justru menyebabkan permukaan planet meleleh. Artinya, si planet diselimuti oleh magma.
Ada hal menarik lainnya dari sistem Gliese 436. Selain kedua planet yang sudah ditemukan, para astronom juga mengindikasikan keberadaan kandidat planet ke-3 yang diberi kode UFC-1.02 yang juga mengorbit GJ 436 yang diduga memiliki massa 1/3 massa Bumi.
Masih banyak misteri yang harus dipecahkan dari alam semesta ini. Namun diharapkan di masa depan, satu per satu misteri itu bisa diungkapkan.
Masih banyak misteri yang harus dipecahkan dari alam semesta ini. Namun diharapkan di masa depan, satu per satu misteri itu bisa diungkapkan.
Energi Gelap (Dark Energy) Dalam Model Standar Kosmologi Baru
Kosmologi memasuki babak baru. Berbagai temuan observasi memberikan kita gambaran terkini tentang alam semesta, yang agak berbeda dengan alam semesta sebagaimana yang digambarkan oleh model standar kosmologi.
Dengan perkembangan terbaru dari berbagai hasil pengamatan ini, kita memiliki model kosmologi baru yang merupakan model standar kosmologi (hot big bang) yang diperluas.
Model standar kosmologi baru itu memiliki karakteristik:
- Alam semesta dengan geometri datar (flat) dengan parameter densitas Ω = 1.0023 ± 0.0055 (dari data satelit Wilkinson Microwave Anisotropy Probe — WMAP), dan sedang dalam keadaan berekspansi dipercepat
- Alam semesta mengalami proses inflasi (ekspansi yang bersifat eksponensial) dalam waktu amat singkat, pada saat usia semesta dini
- Inhomogenitas densitas yang menjadi cikal bakal struktur dalam alam semesta, berasal dari fluktuasi kuantum yang terbawa ke skala makro selama masa inflasi
- Komposisi alam semesta terdiri dari (WMAP Jan 2010): (72.8 ± 0.5) % energi gelap (dark energy), (22.7 ± 1.4) % materi gelap nonbaryonik (nonbaryonic dark matter), dan (4.56 ± 0.16) % baryon
Yang dimaksud dengan energi gelap adalah sesuatu yang menyebabkan alam semesta kita berekspansi dipercepat, meski jumlah total materi (baryon dan materi gelap) tidak memungkinkan hal itu terjadi. Keberadaan energi gelap yang menjadi komposisi utama alam semesta, merupakan salah satu penemuan terbesar dalam kosmologi. Energi gelap ini mendominasi alam semesta kita saat ini, dan menyebabkan alam semesta kita saat ini berada dalam fase ekspansi yang dipercepat.
Namun penemuan keberadaan energi gelap mengubah semuanya. Dalam alam semesta dengan energi gelap, hubungan antara geometri alam semesta dan nasib ke depan alam semesta itu menjadi runtuh. Meski alam semesta kita saat ini memiliki geometri datar (flat), tapi masih terbuka kemungkinan bahwa nasib alam semesta ke depan akan terus mengembang (seperti alam semesta terbuka pada model standar kosmologi), atau akan terus mengembang dengan kecepatan semakin mendekati nol (seperti alam semesta datar pada model standar kosmologi), atau bahkan akan runtuh kembali (seperti alam semesta tertutup pada model standar kosmologi). Akhir yang seperti mana yang akan dialami alam semesta kita, bergantung pada sifat dari energi gelap itu sendiri. Dan ini membuat penelitian tentang energi gelap menjadi topik yang sangat menarik dalam kosmologi.
Indikasi Keberadaan Energi Gelap
Keberadaan energi gelap dideteksi dari pengamatan supernova pada redshift (z) tinggi, dan dari pengamatan radiasi latar belakang (Cosmic Microwave Background – CMB).
Indikasi Keberadaan Energi Gelap
Keberadaan energi gelap dideteksi dari pengamatan supernova pada redshift (z) tinggi, dan dari pengamatan radiasi latar belakang (Cosmic Microwave Background – CMB).
Supernova jauh yang dilihat Hubble. Kredit : NASA / Hubble
Interpretasi bahwa pelemahan magnitud yang dialami supernova dengan z ≈ 0.5 ini disebabkan oleh energi gelap, bukanlah satu-satunya. Ada penjelasan alternatif yang mencoba menjelaskan efek pelemahan magnitude itu karena materi intergalaktik. Tapi bukti yang menguatkan teori energi gelap dan membantah penjelasan dengan materi intergalaktik didapat dengan ditemukannya supernova yang paling jauh (sampai saat ini), SN 1997ff, dengan z = 1.755. Supernova ini diamati memiliki magnitud lebih terang dari seharusnya, yang menunjukkan bahwa ia terjadi saat alam semesta masih mengalami ekspansi yang diperlambat. Jika memang benar ada materi intergalaktik yang menyebabkan pelemahan cahaya, harusnya SN 1997ff akan jauh lebih redup dari seharusnya, bukan malahan lebih terang.
Selain dari supernova, bukti lain yang mendukung keberadaan energi gelap berasal dari pengamatan CMB. Pengamatan CMB menggunakan WMAP memberikan data bahwa parameter densitas alam semesta Ω = 1.0023 ± 0.0055. Padahal dari pengamatan yang sama, diketahui bahwa seluruh materi (baryon dan materi gelap) dalam alam semesta hanya memberikan kontribusi pada Ω yang hanya sekitar sepertiga dari nilai Ω yang diamati. Karena itu, haruslah ada komponen lain dalam alam semesta yang mengisi kekurangan parameter densitas yang diberikan oleh materi (baryon dan materi gelap). Dengan kontribusi dari materi ditambah dengan energi gelap, maka alam semesta kita akan memiliki Ω sebagaimana yang didapat dari pengamatan CMB tersebut.
Diagram perubahan laju pengembangan alam semesta sejak 15 milyar tahun lalu. Kredit : NASA/STScI/Ann Feild
Keberadaan energi gelap juga bisa dideteksi lewat pengamatan lain (selain pengamatan supernova) yang sifatnya independent. Misalnya lewat pengamatan struktur alam semesta skala besar (Large Scale Structure – LSS) yang dikombinasikan dengan pengukuran fluktuasi angular size karakteristik pada CMB. Cara ini merupakan cara pengamatan bersifat tidak langsung. Ada satu lagi metode independent untuk mendeteksi energi gelap, yaitu lewat pengamatan efek integrated Sachs-Wolfe (ISW). ISW ini sendiri adalah pergeseran merah pada foton CMB yang disebabkan oleh gravitasi, yang terjadi mulai saat alam semesta mulai menjadi transparan.
Energi gelap tidak dari awal mendominasi alam semesta, dan menyebabkan ekspansi dipercepat. Karena jika dari awal alam semesta kita sudah mengalami ekspansi dipercepat, maka struktur dalam alam semesta yang kita amati saat ini, tidak akan mungkin terbentuk. Ditambah lagi, pola variasi CMB dan kelimpahan unsur hasil big bang nucleosynthesis akan berbeda dengan yang kita amati sekarang. Energi gelap baru mendominasi dan menyebabkan ekspansi dipercepat pada alam semesta, semenjak suatu epoch tertentu. Kapan terjadinya transisi ini bisa dirunut lewat pengamatan supernova.
Riess dan rekan-rekan melaporkan hasil pengolahan data sampel 16 buah supernova tipe Ia temuan baru yang diamati dengan HST (Hubble Space Telescope). Dalam sampel, termasuk 6 dari 7 supernova terjauh yang kita ketahui, seluruhnya memiliki z > 1.25. Riess juga berhasil menghitung epoch dimana era ekspansi diperlambat (sebagaimana yang digambarkan oleh model standar) berakhir, dan energi gelap mulai mengambil peran sentral. Semenjak saat transisi itu, ekspansi alam semesta yang semula melambat, berubah menjadi ekspansi yang dipercepat. Transisi itu terjadi pada epoch sekitar z = 0.46 ± 0.13, atau sekitar ketika ukuran alam semesta 68% ukuran saat ini.
Properti Energi Gelap
Sampai saat ini, amat sedikit diketahui tentang energi gelap. Tapi setidaknya kita mengetahui sedikit properti energi gelap, yaitu:
Properti Energi Gelap
Sampai saat ini, amat sedikit diketahui tentang energi gelap. Tapi setidaknya kita mengetahui sedikit properti energi gelap, yaitu:
- Tidak memancarkan gelombang elektromagnetik
- Memiliki tekanan negatif yang besar. Besarnya tekanan yang berorde sama dengan densitas energinya, menunjukkan bahwa ‘energi gelap’ ini lebih bersifat energi daripada materi (pada materi tekanan jauh lebih kecil dibandingkan dengan densitasnya). Karena itu, energi gelap ini berbeda dengan materi gelap
- Tidak mengumpul membentuk gugus dengan materi secara signifikan, setidaknya sampai seukuran gugus galaksi.
Hasil pengamatan CMB menunjukkan bahwa dalam skala besar, alam semesta kita (hampir) homogen dan isotropis. Dan sebagaimana yang digambarkan oleh model standar kosmologi, alam semesta bisa didekati sebagai fluida sempurna. Energi gelap dapat diparametrisasi dengan persamaan keadaannya (w), yang merupakan perbandingan tekanan dengan densitasnya. Agar struktur dalam alam semesta yang teramati saat ini bisa tumbuh dari perturbasi densitas (sebagaimana yang diamati pada CMB), maka nilai w haruslah berharga lebih kecil dari -½.
Sementara itu, untuk alam semesta datar (sebagaimana yang kita amati), parameter perlambatan (q0) saat ini adalah q0 ~ ½ =w. Dan karena nilai w < -½, maka q0 < 0, menunjukkan alam semesta saat ini sedang mengalamai ekspansi dipercepat. Hasil pengukuran dari WMAP (dari pengamatan CMB) memberikan harga w < -0.980 ± 0.053.
Kandidat Energi Gelap
Ada beberapa kandidat apa sebenarnya energi gelap. Kandidat utama energi gelap itu adalah:
Ada beberapa kandidat apa sebenarnya energi gelap. Kandidat utama energi gelap itu adalah:
- Konstanta kosmologi / Energi vakum
- Quintessence (medan skalar dinamis)
- Gravitasi yang melemah
1. Konstanta Kosmologi, Λ
Konstanta kosmologi adalah faktor yang dimasukkan dalam persamaan Einstein dalam relativitas umum. Konstanta kosmologi ini awalnya dimaksudkan untuk mengimbangi gravitasi supaya diperoleh gambaran alam semesta yang statis (yang kemudian oleh Einstein disesali karena kenyataan obervasi oleh Hubble menunjukkan alam semesta yang mengambang, sesuatu yang harusnya terlebih dulu bisa diramalkan oleh relativitas umum). Eksistensi konstanta kosmologi ini kembali mencuat akhir-akhir ini, dan mencapai puncak ketika terdeteksi keberadaan energi gelap.
Konstanta kosmologi adalah faktor yang dimasukkan dalam persamaan Einstein dalam relativitas umum. Konstanta kosmologi ini awalnya dimaksudkan untuk mengimbangi gravitasi supaya diperoleh gambaran alam semesta yang statis (yang kemudian oleh Einstein disesali karena kenyataan obervasi oleh Hubble menunjukkan alam semesta yang mengambang, sesuatu yang harusnya terlebih dulu bisa diramalkan oleh relativitas umum). Eksistensi konstanta kosmologi ini kembali mencuat akhir-akhir ini, dan mencapai puncak ketika terdeteksi keberadaan energi gelap.
Sementara itu, dari teori medan kuantum yang kita miliki saat ini, diketahui bahwa ruang vakum juga memiliki energi, yang dinamakan energi vakum. Untuk energi vakum, w = -1. Dan secara matematis, energi vakum ini sama dengan konstanta kosmologi yang berasal dari relativitas umum. Konstanta kosmologi ini menjadi salah satu kandidat terkuat dari energi gelap.
Dari observasi supernova, disimpulkan energi gelap tidak berubah sepanjang waktu, atau minimal hanya berubah sangat sedikit sejalan dengan waktu. Jadi untuk sementara, konstanta kosmologi merupakan kandidat terkuat sebagai energi gelap, karena didukung oleh observasi. Hasil observasi dari 70 supernova oleh tim SNLS (Supernova Legacy Survey) untuk sementara menunjukkan bahwa energi gelap hanya berubah sangat sedikit. SNLS ditargetkan mempelajari 700 buah supernova menggunakan teleskop-teleskop besar dunia dan diharapkan lebih banyak mengungkap tentang energi gelap.
Tapi jika konstanta kosmologi adalah energi gelap, ada setidaknya dua masalah besar. Masalah pertama adalah dari segi ordenya, dan masalah kedua adalah dari segi waktu diaman ia mulai dominan.
Jika kita mencoba menghitung besar orde energi gelap dari beberapa pendekatan berbeda, kita akan mendapatkan orde besarnya energi gelap: 10-10 (eV)4 – 10112 (eV)4. Jadi Λ membutuhkan fine-tuning dari rentang kemungkinan yang teramat besar tersebut supaya konvergen ke harga tertentu. Ini dikenal dengan masalah fine-tuning problem.
Masalah kedua terlihat jika kita meninjau bagaimana perubahan parameter densitas energi gelap terhadap waktu, jika energi gelap itu adalah konstanta kosmologi. Misalkan parameter densitas konstanta kosmologi ditulis ΩΛ = ρΛ/ρcr. Dari pengamatan CMB, diperoleh bahwa ΩTotal = 1 dan (jika energi gelap adalah konstanta kosmologi) ΩΛ=0.7. Harga ΩΛ berubah sejalan dengan pengembangan alam semesta, karena pΛkonstan. Maka evolusi ΩΛ sejalan dengan ρcr ~ (1 + z)-3, dengan z adalah redshift. Pada z > 10, harga parameter densitas ΩΛ < 0.001. Sedangkan pada z < -0.9 nanti, harga parameter densitas ΩΛ > 0.999.
Jika dibuat plot ΩΛ terhadap log R untuk rentang -60 < log R <+60, akan terlihat seperti fungsi tangga (step function) yang berubah dari nol menjadi satu pada era saat ini. Bahkan jika dibuat plot dΩΛ/dR (yang berbentuk seperti fungsi delta dirac), dapat dilihat bahwa kita hidup tepat di tengah puncak fungsi delta dirac tersebut. Pertanyaan kenapa kita hidup di era yang spesial ini, dikenal dengan coincidence problem.
2. Quintessence
Quintessence adalah medan skalar yang bergulir-lamban (slow-rolling scalar field). Salah satu properti penting dari quintessence adalah coincidence problem bisa lebih masuk akal dijelaskan, karena persamaan keadaan bergantung waktu. Prediksi yang paling umum dari quintessence adalah nilai dari persamaan keadaan w(t) berbeda dari -1, dan berubah terhadap z.
3. Gravitasi Yang Melemah
Masih ada kemungkinan bahwa sebenarnya materi gelap itu tidak ada. Tetapi efek yang kita amati saat ini (yang menuntun kita pada kesimpulan adanya energi gelap) sebenarnya adalah efek dari runtuhnya relativitas umum Einstein pada skala yang amat besar. Menurut teori ini, pada skala yang amat besar, efek kebocoran gravitasi ke dimensi yang lebih tinggi semakin mungkin diamati.
Quintessence adalah medan skalar yang bergulir-lamban (slow-rolling scalar field). Salah satu properti penting dari quintessence adalah coincidence problem bisa lebih masuk akal dijelaskan, karena persamaan keadaan bergantung waktu. Prediksi yang paling umum dari quintessence adalah nilai dari persamaan keadaan w(t) berbeda dari -1, dan berubah terhadap z.
3. Gravitasi Yang Melemah
Masih ada kemungkinan bahwa sebenarnya materi gelap itu tidak ada. Tetapi efek yang kita amati saat ini (yang menuntun kita pada kesimpulan adanya energi gelap) sebenarnya adalah efek dari runtuhnya relativitas umum Einstein pada skala yang amat besar. Menurut teori ini, pada skala yang amat besar, efek kebocoran gravitasi ke dimensi yang lebih tinggi semakin mungkin diamati.
Prospek Observasi Dark Energy Ke Depan
Untuk lebih tahu banyak tentang energi gelap, satu-satunya cara (setidaknya untuk saat ini) adalah lewat pengamatan astronomis. Dari sisi fisika partikel tidak memungkinkan memberikan batasan pada energi gelap lewat akselerator, karena sifat energi gelap yang diffuse dan merupakan fenomena energi-rendah.
Untuk lebih tahu banyak tentang energi gelap, satu-satunya cara (setidaknya untuk saat ini) adalah lewat pengamatan astronomis. Dari sisi fisika partikel tidak memungkinkan memberikan batasan pada energi gelap lewat akselerator, karena sifat energi gelap yang diffuse dan merupakan fenomena energi-rendah.
Misi masa depan Supernova Acceleration Probe (SNAP). kredit: SNAP
- Pengukuran sejarah ekspansi H(t)
- Persamaan keadaan w(t) yang bergantung waktu
- Mencari jika ada properti penggugusan energi gelap
- Mencari adakah dan bagaimana hubungan (couple) antara energi gelap dengan materi gelap
- Menguji lebih detail kevalidan relativitas umum
Untuk pengukuran sejarah ekspansi digunakan pengamatan sejumlah besar supernova dengan rentang z tertentu. Karena pada awal alam semesta (z besar) energi gelap belum dominan, sedangkan pada z kecil kurang sensitif untuk pengukuran efek dari energi gelap, maka rentang z yang memadai untuk pengamatan adalah 0.2 ≤ z ≤ 2.
Persamaan keadaan bisa menggunakan supernova. Sampel kualitas tinggi dari 2000 buah supernova dengan z antara 0.2 sampai 1.7 bisa memberikan harga w dengan ketelitian σw = 0.05 (dengan asumsiirreducible error sebesar 0.14 magnitud). Jika ΩM bisa didapat cara independen dengan harga lebih baik dari σΩM = 0.03, σw akan meningkat dengan faktor 3 dan perubahan w terhadap redshift – w’ = dw/dz – dapat diukur dengan ketelitian σw’ = 0.16.
Selain lewat supernova, w juga berpotensi dipelajari lewat pengamatan galaxy-count dan galaxy cluster count.
Efek weak gravitational lensing (WGL) bisa juga digunakan untuk mempelajari w. WGL oleh LSS pada medan seluas 1000 derajat persegi atau lebih, setara dengan sensitivitas pengamatan w lewat supernova seperti yang disebutkan di atas. Hanya saja WGL tidak bisa digunakan untuk mempelajari variasi w terhadap waktu. Dan masalah sistematis yang dihadapi pada pengamatan WGL masih belum banyak dipelajari secara lebih teliti.
Saat ini, ada beberapa proyek yang dikembangkan yang bertujuan khusus untuk mengamati dan mempelajari energi gelap. Misalnya SNAP (Supernova/Acceleration Probe), JDEM (Joint Dark Energy Mission), dan beberapa lainnya. Untuk SNAP sayangnya NASA menunda misi ini lima tahun karena adanya prioritas mengirimkan manusia ke Mars.
Mengapa mempelajari energi gelap?
Sampai saat ini, energi gelap hanya bisa dipelajari lewat pengamatan astronomi. Dan yang paling besar prospek pengamatan untuk mempelajari energi gelap ini adalah lewat pengamatan supernova. Alat yang paling efektif untuk mempelajari supernova ini adalah teleskop yang berada di luar angkasa, teleskop Hubble. Hubble bisa difungsikan menjadi mesin pemburu supernova yang amat penting bagi mempelajari energi gelap. Ini dibuktikan (antara lain) lewat pemakaian Hubble oleh Reiss dan timnya untuk menentukan epoch transisi dimana energi gelap mulai mendominasi alam semesta. Sayangnya dengan diberhentikannya perawatan Hubble maka umur teleskop Hubble hanya sampai sekitar tahun 2007-2008. Dan dengan kehilangan alat penting mempelajari energi gelap, kemajuan pengertian kita tentang energi gelap tidak akan secepat yang seharusnya kita bisa dengan teknologi yang kita punya saat ini.
Sampai saat ini, energi gelap hanya bisa dipelajari lewat pengamatan astronomi. Dan yang paling besar prospek pengamatan untuk mempelajari energi gelap ini adalah lewat pengamatan supernova. Alat yang paling efektif untuk mempelajari supernova ini adalah teleskop yang berada di luar angkasa, teleskop Hubble. Hubble bisa difungsikan menjadi mesin pemburu supernova yang amat penting bagi mempelajari energi gelap. Ini dibuktikan (antara lain) lewat pemakaian Hubble oleh Reiss dan timnya untuk menentukan epoch transisi dimana energi gelap mulai mendominasi alam semesta. Sayangnya dengan diberhentikannya perawatan Hubble maka umur teleskop Hubble hanya sampai sekitar tahun 2007-2008. Dan dengan kehilangan alat penting mempelajari energi gelap, kemajuan pengertian kita tentang energi gelap tidak akan secepat yang seharusnya kita bisa dengan teknologi yang kita punya saat ini.
Dengan mempelajari energi gelap ini, kita bisa mengetahui bagaimana ujung dari evolusi alam semesta. Pengamatan persamaan keadaan energi gelap juga bisa berpengaruh pada fisika teori / fisika partikel, dan pada relativitas umum. Jika kita bisa menentukan nilai dari persamaan keadaan energi gelap, kita bisa menentukan apa sebenarnya energi gelap itu. Dan jika energi gelap itu memiliki persamaan keadaan w = -1, maka energi gelap adalah konstanta kosmologi, dan kita masih harus berurusan dengan fine-tuning problemdan coincidence problem. Jika w < -1 maka kita akan menemukan masalah dalam teori relativitas umum pada skala amat besar.
Ada dua sasaran yang realistik untuk satu dekade ke depan: menentukan persamaan keadaan sampai ketelitian 5%, dan mencari variasinya terhadap waktu. Setelah berhasil menentukan persamaan keadaan, maka sasaran berikutnya adalah mendeteksi sifat penggugusannya. Ini akan memberikan kita pengetahuan yang penting tentang apa dan bagaimana energi gelap.
Pemetaan Materi Gelap & Pembentukan Gugus Galaksi
Dengan menggunakan Teleskop Hubble, para astronom mengambil keuntungan dari kaca pembesar kosmik untuk membuat peta detil dari materi gelap di alam semesta.
Materi Gelap vs Energi Gelap
Dark matter atau materi gelap merupakan materi yang tidak terlihat yang mengisi sebagian besar massa alam semesta. Pengamatan materi gelap yang dilakukan ini diharapkan dapat membawa perspektif baru mengenai peran energi gelap dalam tahun-tahun awal pembentukan alam semesta.
Dark matter atau materi gelap merupakan materi yang tidak terlihat yang mengisi sebagian besar massa alam semesta. Pengamatan materi gelap yang dilakukan ini diharapkan dapat membawa perspektif baru mengenai peran energi gelap dalam tahun-tahun awal pembentukan alam semesta.
Hasil yang didapat menunjukkan kalau gugus galaksi bisa jadi terbentuk lebih awal dari yang diperkirakan, sebelum dorongan energi gelap menghambat pertumbuhan mereka. Sebuah peristiwa yang misterius di ruang angkasa, ketika energi gelap melawan gaya tarik gravitasi dari materi gelap. Energi gelap mendorong galaksi hingga terpisah satu sama lainnya dengan meregangkan ruang di antara mereka sehingga menekan pembentukan struktur raksasa yang dikenal sebagai gugus galaksi.
Salah satu cara yang digunakan astronom untuk menelusuri perang gaya tarik purba ini adalah melalui pemetaan distribusi materi gelap di dalam gugus.
Untuk itu tim peneliti yang dipimpin oleh Dan Coe dari NASA JPL melakukan pengamatan dengan menggunakan Advanced Camera for Surveys pada Hubble untuk melakukan pemetaan materi tak terlihat dalam gugus galaksi masif Abell 1689, yang berada pada jarak 2,2 milyar tahun cahaya.
Gravitasi gugus tersebut sebagian besar berasal dari materi gelap yang bertindak sebagai kaca pembesar kosmik, lentur dan melakukan penguatan cahaya dari galaksi jauh yang ada di belakangnya. Efek yang dikenal dengan nama lensa gravitasi ini menghasilkan beberapa citra melengkung yang diperbesar dari galaksi-galaksi tersebut layaknya tampilan cermin funhouse.
Dengan mempelajari citra yang terdistorsi, astronom bisa menghitung jumlah materi gelap yang ada di dalam gugus. Jika gravitasi gugus hanya berasal dari galaksi tampak, distorsi yang terjadi pada lensa akan jauh lebih emah.
Berdasarkan peta massa resolusi tinggi inlah, Coe dan rekan-rekannya bisa melakukan konfirmasi atas hasil yang sudah ada sebelumnya dan menunjukkan kalau inti Abell 1689 memiliki kerapatan lebih tinggi dalam hal materi gelap untuk gugus seukuran dirinya, berdasarkan simulasi komputasi pertumbuhan struktur. Penemuan ini cukup mengejutkan karena dorongan energi gelap di awal sejarah pembentukan alam semesta seharusnya menghambat pertumbuhan gugus galaksi.
Karena itulah, gugus galaksi harus sudah mulai terbentuk milyaran tahun lebih awal agar dapat mencapai jumlah yang kita ketahui saat ini. Di masa awal, alam semesta jauh lebih kecil dan lebih padat dengan materi gelap. Abell 1689 tampaknya telah cukup terisi saat lahir dengan materi berkerapatan tinggi yang ada disekelilingnya pada masa alam semesta dini. Gugus ini tetap membawa materi-materi itu sampai pada kehidupan dewasanya yang diamati saat ini.
Memetakan Yang Tak Mungkin
Abell 1689 merupakan gugus lensa gravitasi paling kuat yang pernah diamati. Observasi yang dilakukan Coe yang kemudian digabungkan dengan penelitian sebelumnya menghasilkan 135 citra yang berbeda dari 42 galaksi latar belakang,
Memetakan Yang Tak Mungkin
Abell 1689 merupakan gugus lensa gravitasi paling kuat yang pernah diamati. Observasi yang dilakukan Coe yang kemudian digabungkan dengan penelitian sebelumnya menghasilkan 135 citra yang berbeda dari 42 galaksi latar belakang,
Hasilnya? Lensa citra yang penuh teka teki. dari sinilah para peneliti kemudian mulai mengatur massa Abell 1689 dengan lensa galaksi latar belakang pada posisi yang diamati seperti menyusun sebuah puzzle. Dari sinilah Coe mendapatkan informasi untuk menghasilkan peta resolusi tinggi dari distribusi materi gelap dalam gugus.
Di masa depan, astronom merencanakan untuk memperlajari lebih banyak gugus galaksi untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam akan pengaruh energi gelap. Salah satu program yang akan dilakukan Hubble adalah untuk menganalisa materi gelap pada gugus galaksi raksasa dalam project Cluster Lensing and Supernova survey with Hubble (CLASH).
Survei ini akan dilakukan pada 25 gugus selama 1 bulan sepanjang 3 tahun ke depan. Gugus CLASH dipiliha karena mereka memancarkan sinar-X yang kuat sehingga bisa mengindikasikan keberadaan gas panas dalam jumlah besar di dalam gugus. Kelimpahan gas panas menunjukkan juga kalau gugus tersebut sangat masif.
Dengan melakukan pengamatan pada gugus galaksi, para astronom akan dapat memetakan distribusi materi gelap dan mendapatkan bukti dari pembentukan gugus galaksi awal disertai informasi dari energi gelap di masa awal pembentukan gugus tersebut.\
Sumber : NASA
Kehidupan Liar Galaksi-Galaksi Masif di Awal Alam Semesta
Dengan menggunakan teleskop APEX, para astronom kembali menelusuri masa lalu dan berhasil menemukan hubungan antara ledakan besar pembentukan bintang atau starburst di alam semesta dini dengan sebagian besar galaksi masif yang ditemukan saat ini.
Pembentukan bintang di galaksi-galaksi jauh. kredit : ESO, APEX (MPIfR/ESO/OSO), A. Weiss et al., NASA Spitzer Science Center
Galaksi-galaksi yang dihiasi dengan ledakan bintang nan dramatis saat alam semesta dini, menjadi saksi bagi kelahiran bintang yang juga dengan cepat berakhir. Maksutnya setelah ledakan kelahiran bintang di alam semesta dini, tidak ada lagi kelahiran yang baru akibatnya yang tersisa hanyalah galaksi masif yang pasif dengan bintang tua di masa kini. Pertanyaannya apa yang menyebabkan terhentinya starburst ?
Dugaan para atronom adalah munculnya supermasiflubang hitam!
Pengamatan ke masa lalu
Pengamatan yang dilakukan untuk melihat galaksi dari alam semesta dini tersebut merupakan penggabungan pengamatan dari kamera LABOCA yang dipasang pada Teleskop Atacama Pathfinder Experiment (APEX) 12 meter milik ESO, Teleskop SPitzer milik NASA dan teleskop lainnya yang melakukan pengamatan pada galaksi jauh nan terang yang tergabung dalam satu gugus.
Semakin dekat galaksi-galaksi tersebut berada dalam satu gugus, maka semakin masif juga halo materi gelap mereka – materi tak tampak yang menyusun sebagian besar massa galaksi. Hasil pengamatan ini memberikan pengukuran gugus yang paling akurat yang pernah dibuat untuk tipe galaksi yang diamati tersebut.
Galaksi-galaksi yang diamati tersebut merupakan galaksi jauh yang cahayanya telah menempuh perjalanan 10 milyar tahun untuk bisa mencapai kita. Sehingga apa yang tampak merupakan rupa galaksi-galaksi itu saat 10 milyar tahun lalu. Dalam foto yang diambil dari alam semesta dini, galaksi-galaksi tersebut mengalami masa yang sangat intens dari pembentukan bintang yang dikenal sebagai starburst.
Dengan melakukan pengukurn massa halo materi gelap di sekeliling galaksi, dan dengan menggunakan simulasi komputer untuk mempelajari pertumbuhan halo maka para astronom menemukan kalau starburstdi galaksi-galaksi jauh dari awal kosmos kemudian menjadi galaksi ellips raksasa – galaksi paling masif yang ada di alam semesta saat ini.
Pengamatan ini jadi yang pertama untuk menunjukan hubungan antara galaksi starburst di alam semesta dini yang sangat energetik dengan galaksi paling masif yang ada saat ini.
Starburst yang berakhir cepat
Hasil pengamatan juga menunjukkan adanya indikasi kalau starburst cerlang di galaksi-galaksi jauh tersebut berakhir setelah 100 juta tahun – jangka waktu yang sangat pendek untuk skala waktu kosmologi -. Tapi dalam jangka waktu yang sedemikian singkat, mereka bisa melipatgandakan jumlah bintang di galaksi-galaksi. Perhentian yang tiba-tiba dari kelahiran bintag ini disinyalir terjadi sebagai sebuah episode baru di dalam sejarah gaaksi-galaksi yang belum sepenuhnya dapat dipahami oleh para astronom.
Hasil pengamatan juga menunjukkan adanya indikasi kalau starburst cerlang di galaksi-galaksi jauh tersebut berakhir setelah 100 juta tahun – jangka waktu yang sangat pendek untuk skala waktu kosmologi -. Tapi dalam jangka waktu yang sedemikian singkat, mereka bisa melipatgandakan jumlah bintang di galaksi-galaksi. Perhentian yang tiba-tiba dari kelahiran bintag ini disinyalir terjadi sebagai sebuah episode baru di dalam sejarah gaaksi-galaksi yang belum sepenuhnya dapat dipahami oleh para astronom.
Diketahui kaau galaksi-galaksi elips yang masif sudah berhenti memproduksi bintang secara tiba-tiba dalam rentang waktu yang sangat lama. Dan saat ini galaksi-galaksi tersebut jadi galaksi pasif. Tapi yang jadi pertanyaan, apa yang bisa memberi pengaruh demikian kuat sehingga kelahiran bintang bisa terhenti?
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ryan Hickox (Dartmouth College, USA dan Durham University, UK) dan tim menunjukkan salah satu penjelasan yang mungkin.
Pada tahap ketika starburst terjadi di alam semesta, starburst di galaksi-galaksi berkelompok dengan pola yang mirip dengan quasar yang sekaligus mengindikasikan kalau mereka ditemukan pada halo materi gelap yang sama. Quasar merupakan obyek paling energetik atau kuat di alam semesta – yang memancarkan radiasi sangat kuat dan ditenagai oleh lubang hitam supermasif di pusatnya. Ada bukti yang menunjukkan kalau starburst juga memberi tenaga pada quasar dengan memberikan sejumlah besar materi ke lubang hitam. Quasar kemudian memancarkan letusan energi yang sangat kuat yang diyakini ikut membersihkan gas yang tersisa di galasi, yang merupakan materi bagi bintang baru. Akibatnya fasa pembentukan bintang pun berakhir.
Singkatnya, masa kejayaan kelahiran bintang-bintang di galaksi juga menjadi masa kehancuran bagi mereka stelah mereka ikut menyumbangkan sejumlah besar materi untuk makanan lubang hitam di pusat yang kemudian dengan sangat cepat menghancurkan awan pembentuk bintang di galaksi tersebut!
Sumber : ESO
Ledakan Kosmik, Kandidat Obyek Terjauh di Alam Semesta
Bulan April 2009, kala itu satelit Swift milik NASA berhasil mendeteksi semburan sinar gamma atau gamma ray burst aka GRB yang kemudian menarik perhatian para astronom. Apa istimewanya?
GRB 090429B ini merupakan satu diantara semburan sinar gamma yang ada di alam semesta. Semburan sinar gamma sendiri merupakan ledakan keras dan bencana besar daribintang masif. Bayangkan peristiwa ini sebagaisupernova yang super, kematian bagi bintang yang memiliki umur pendek dengan kehidupan yang penuh dinamika.
Tapi lagi-lagi pertanyaannya, apa istimewanya GRB 090429B tersebut?
Yang menarik dari semburan sinar gamma yang satu ini adalah kemungkinan dirinya menjadi kandidat obyek terjauh yang ada di alam semesta. Jarak yang diperkirakan adalah 13,14 milyar tahun cahaya. Artinya, semburan sinar gamma ini berada jauh melebihi keberadaan quasar yang sudah dikenal saat ini dan bahkan bisa lebih jauh lagi dari galaksi dan semburan sinar gamma yang sudah ada. Arti lainnya? Para astronom berhasil menemukan galaksi-galaksi yang berada di masa awal alam semesta. Semakin mendekati masa awal keberadaan alam semesta maka semakin banyak pula informasi yang bisa didapat tentang kondisi awal alam semesta serta apa yang terjadi saat itu.
Ledakan dari masa lalu
Ditemukan pada tanggal 29 April 2009, semburan tersebut diberi nama sekaligus mengiindikasikan saat ia ditemukan yakni 090429B dengan B menunjukkan bahwa ia merupakan semburan kedua yang diamati pada hari yang sama.
Ledakan dari masa lalu
Ditemukan pada tanggal 29 April 2009, semburan tersebut diberi nama sekaligus mengiindikasikan saat ia ditemukan yakni 090429B dengan B menunjukkan bahwa ia merupakan semburan kedua yang diamati pada hari yang sama.
Semburan sinar gamma merupakan sebuah letupan yang sangat terang yang memancarkan lebih banyak cahaya hanya dalam waktu beberapa detik. Lebih banyak dari cahaya yang dipancarkan Matahari dalam seluruh hidupnya. Semburan yang luar biasa terang tersebut terjadi di suatu lokasi dalam rentang alam semesta yang bisa diamati. Laju terjadinya semburan di alam semesta diketahui sebanyak 2 semburan setiap harinya. Semburan yang sangat terang tersebut bisa dilihat dari jarak yang sangat jauh. Bahkan bisa dideteksi dari jarak milyaran tahun cahaya oleh Swift dan satelit pendeteksi lainnya.
Semburan sinar gamma raksasa ini meletus dari bintang yang meledak saat alam semesta masih berusia kurang dari 4% dari usianya saat ini, atau sekitar 520 juta tahun, dan ukurannya juga masih 10% lebih kecil dari ukurannya saat ini. Dengan demikian, galaksi yang menjadi rumah bagi bintang leluhur GRB 090429B merupakan salah satu dari galaksi-galaksi pertama di alam semesta.
Semburan sinar gamma berlansung sangat cepat dan berakhir hanya dalam 1 menit, dan cahaya yang tertinggal dari hasil semburan baru memudar setelah beberapa hari sampai dengan seminggu sehingga bisa diamati oleh fasilitas astronomi yang ada. Pengamatan cahaya yang tersisa pada rentang waktu tersebut memungkinkan para astronom untuk menentukan jarak semburan.
Pengukuran cahaya yang tersisa inilah yang digunakan untuk mengukur jarak GRB 090429B dan menemukan kalau semburan ini memang datang dari awal alam semesta yakni dari jarak 13,14 milyar tahun cahaya, dan menjadikannya GRB terjauh saat ini.
Hasil pengamatan GRB 090429B menggunakan Gemini Observatory. Kredit : Gemini Observatory/AURA/Andrew Levan (University of Warwick, UK)
Berburu Ledakan Kosmik dari Masa Lalu
Untuk menemukan GRB 090429B, para astronom punya cerita menarik. Kurang dari seminggu setelah GRB 090423 dinyatakan sebagai obyek terjauh di masa itu pada jarak 13,04 milyar tahun cahaya, GRB 090429B tampak di angkasa dengan properti yang mirip. GRB 090429B merupakan kejadian yang singkat dan berakhir hanya dalam 10 detik. Pada saat itu pengamatan Swift menunjukkan keberadaan sinar X yang redup. Pagi itu pula Antonino Cucchiara, mahasiswa paska sarjana dari Penn State yang saat ini sudah berada di University of California, Berkeley, bangun pagi-pagi sekali untuk melakukan pengamatan dengan menggunakanteleskop Gemini North di Mauna Kea, Hawaii dengan harapan bisa mengetahui sifat semburan tersebut.
Untuk menemukan GRB 090429B, para astronom punya cerita menarik. Kurang dari seminggu setelah GRB 090423 dinyatakan sebagai obyek terjauh di masa itu pada jarak 13,04 milyar tahun cahaya, GRB 090429B tampak di angkasa dengan properti yang mirip. GRB 090429B merupakan kejadian yang singkat dan berakhir hanya dalam 10 detik. Pada saat itu pengamatan Swift menunjukkan keberadaan sinar X yang redup. Pagi itu pula Antonino Cucchiara, mahasiswa paska sarjana dari Penn State yang saat ini sudah berada di University of California, Berkeley, bangun pagi-pagi sekali untuk melakukan pengamatan dengan menggunakanteleskop Gemini North di Mauna Kea, Hawaii dengan harapan bisa mengetahui sifat semburan tersebut.
Tapi ternyata hasilnya tidak bisa didapat sesuai harapan. Awan muncul dan menghalangi pandangan teleskop Gemini ke semburan tersebut. Malam berikutnya cahaya yang tersisa dari semburan pun masih terlalu redup untuk didapatkan spektrumnya dan di hari berikutnya cahaya itu pun memudar sehingga tak dapat dilihat. Tanpa pengamatan tersebut, hanya jarak yang bisa diketahui tapi petunjuk yang ada memang mengarahkan bahwa semburan ini merupakan obyek terjauh.
Cahaya Semburan Pada Panjang Gelombang Infra Merah
Dengan filter berbeda, para astronom menemukan bahwa cahaya sisa semburan tersebut tampak pada pengamatan inframerah dan tidak terlihat pada pengamatan cahaya tampak. Hal ini penting karena alam semesta mengembang.
Dengan filter berbeda, para astronom menemukan bahwa cahaya sisa semburan tersebut tampak pada pengamatan inframerah dan tidak terlihat pada pengamatan cahaya tampak. Hal ini penting karena alam semesta mengembang.
Mengembangnya alam semesta menyebabkan cahaya dari obyek yang datang dari jauh akan bekerja menentang pengembangan alam semesta. Cahaya tidak akan melambat tapi akan mengalami kehilangan energi. Akibatnya terjadi pergeseran warna cahaya ke area yang lebih merah pada spektrum yang diterima. Pada jarak yang sangat jauh, cahaya ultra ungu yang menjelajah dari jauh akan bergeser ke bagian cahaya tampak di spektrum. Yang menarik, dalam perjalanannya ada gas di alam semesta yang menyerap cahaya ultraungu dan membiarkan cahaya tampak untuk terus melaju.
Citra GRB 090429B yang dihasilkan Gemini Near-Infrared Imager (NIRI) menggunakan filter J,H, dan K (label) dan filter Z (kiri) yang diperoleh dari Gemini Multi-Object Spectrograph. Seluruh cira dihasilkan menggunakan teleskop. Gemini North di Mauna Kea, Hawai‘i. Kredit :Gemini Observatory/AURA/Penn State/UC Berkeley/University of Warwick, UK
Sekarang bayangkan, GRB yang berada demikian jauh. Jika cahaya ultra ungu bergeser ke cahaya tampak, maka tentunya cahaya tampak dari GRB akan bergeser ke arah merah yakni ke panjang gelombang infra merah. Di Bumi, yang dilihat pengamat adalah cahaya inframerah dari GRB yang sebenarnya waktu memulai perjalanan merupakan cahaya tampak. Dan pengamat tidak melihat keberadaan semburan tersebut di cahaya tampak yang saat baru memulai perjalanan melintasi alam semesta merupakan sinar ultra ungu. Inilah yang dilihat pada GRB 090429B. Cahaya Infra merah dan tidak ada tanda-tanda di cahaya tampak.
Perilaku terjadinya pergeseran inilah yang menjadi indikasi keberadaan obyek jauh dan digunakan sebagai identifikasi awal keberadaan quasar, galaksi dan semburan gamma yang berada pada jarak yang jauh. Inilah bukti pertama yang menunjukkan bahwa cahaya semburan itu datang dari lokasi yang sangat jauh.
Dengan menganalisa cahaya yang diblok atau dihalangi terhadap cahaya yang bisa terus melaju bisa digunakan untuk menghitung pergeseran merah yang terjadi dan dengan demikian menentukan jarak semburan.
Galaksi Induk Tidak Tampak
Galaksi Induk Tidak Tampak
Teleskop Hubble diarahkan untuk mengamati lokasi semburan GRB 090429B dan tidak melihat galaksi asal semburan. Kredit : Levan / Tanvir / Cucchiara for NASA/Hubble
Meski tidak berhasil lagi mengamati cahaya yang tersisa dari semburan, tim astronom yang terdiri dari Antonino Cucchiara, Andrew Levan dariUniversity of Warwick, Nial Tanvir dari University of Leicester, dan pemimbing thesis Derek Fox dariPenn State terus melakukan pengamatan lanjutan selama 2 tahun berikutnya. Mereka tidak mau membiarkan GRB 090429B menjadi semburan yang berlalu begitu saja. Penelitian lanjutan dilakukan untuk mencari tahu apakah GRB 090429B datang dari jarak yang luar biasa jauh dengan mengumpulkan data baru dan pengamatan yang lebih lanjut menggunakan Gemini dan Teleskop Hubble untuk mengungkap keberadaan galaksi tempat semburan terjadi.
Seandainya jarak semburan ini “dekat” tentu galaksi yang menjadi induk atau rumah bagi semburan sinar gamma tersebut akan tampak. Pada kenyataannya galaksi induk tersebut tidak tampak bahkan bagi Hubble. Semburan sinar gamma datang dari bintang yang duluya lahir, hidup dan kemudian mati dalam ledakan yang hebat hanya dalam hitungan waktu jutaan tahun. Bintang seperti ini terbentuk dalam awan gas raksasa di dalam galaksi dan akan dapat diamati dari jarak tertentu (cukup jauh) dengan menggunakan teleskop berkemampuan tinggi.
Setelah semburan ini meredup, teleskop Hubble yang diarahkan ke lokasi semburan tidak melihat apapun. Artinya, galaksi ini berada sangat jauh, dan bahkan cahayanya pun pudar dan tidak tampak lagi.
Pemegang Rekor Obyek Terjauh
Tidak terdeteksinya GRB 090429B pada cahaya tampak dan tidak tampaknya galaksi lokasi si semburan terjadi mengindikasikan kalau semburan tersebut berasal dari jarak yang sangat jauh.
Pemegang Rekor Obyek Terjauh
Tidak terdeteksinya GRB 090429B pada cahaya tampak dan tidak tampaknya galaksi lokasi si semburan terjadi mengindikasikan kalau semburan tersebut berasal dari jarak yang sangat jauh.
Dengan kesempatan 99,3% menjadi obyek terjauh di alam semesta saat ini pada jarak 13,14 milyar tahun cahaya melebihi GRB 09042 pada jarak 13,04 milyar tahun cahaya dan galaksi yang ditemukan tahun 2010-2011 pada jarak 13,07 milyar tahun cahaya.
Di balik keberadaannya yang jauh dan menjadi pemegang rekor terjauh di alam semesta saat ini, GRB 090429B memberi gambaran bagaimana ledakan sinar gamma dapat digunakan untuk mengungkap lokasi bintang-bintang masif di masa awal alam semesta dan melacak kembali proses awal pembentukan bintang dan galaksi yang kemudian berevolusi menjadi kosmos yang kaya galaksi yang kita kenal saat ini .
Mengapa Rotasi Venus & Uranus Berbeda?
Mengapa venus dan uranus berotasi berlawanan arah? terima kasih sekian.(Ade Keren – Sidoarjo)
Kedua planet yang ditanyakan ini merupakan misteri di Tata Surya kita. Ini membuka kesempatan yang luas bagi teoretikus untuk bermain dengan simulasi menggunakan komputer.
Kenapa ini bisa terjadi? Menurut simulasi yang dikemukakan oleh Alex Alemi dan David Stevenson, kita perlu melihat saat Tata Surya masih muda. Masih banyak bongkahan-bongkahan besar sisa pembentukan planet. Planet-planet masih mengalami tumbukan dengan bongkahan-bongkahan ini. Misalnya saja Bumi-muda kita ini bertumbukan dengan bongkahan seukuran Mars yang sekarang; pecahan-pecahan tumbukan ini terlontar ke angkasa dan menyatu menjadi Bulan.Venus pun bertumbukan dengan bongkahan-bongkahan ini. Setidaknya Venus mengalami dua kali tumbukan besar. Yang pertama seperti yang terjadi pada Bumi sebagaimana dijelaskan di atas. Venus pernah punya satelit. Namun, setelah kira-kira 10 juta tahun kemudian Venus mengalami tumbukan dahsyat di sisi yang berseberangan dari tumbukan pertama. Tumbukan kedua ini mengakibatkan perubahan arah rotasi Venus. Perubahan ini terjadi karena si planet menyerap energi orbital bulan melalui gerak pasang surut. Akibatnya, bulan tadi bergerak spiral menuju si planet hingga akhirnya keduanya bertabrakan.
Perlu suatu peristiwa yang mahadahsyat untuk mengubahnya menjadi sebagaimana keadaannya sekarang. Tidaklah mungkin planet itu sejak terbentuknya sudah demikian. Sebagian teori menyatakan bahwa saat pembentukan Tata Surya, cikal bakal planet sebesar Bumi bertumbukan dengan Uranus dan menyebabkan sumbu rotasinya berubah.
Ada juga teori yang tidak melibatkan tumbukan. Simulasi yang dilakukan Boue dan Laskar dari Observatorium Paris menunjukkan bahwa Uranus dahulu sekali punya bulan yang sangat besar. Massa bulan ini, meskipun hanya 0.1 % massa Uranus, mampu menarik sumbu rotasi Uranus dalam waktu jutaan tahun. Lalu, kemana bulan ini pergi? Kemungkinan besar bulan ini tertendang oleh gravitasi ketika planet masif lainnya lewat.
Galaksi Jauh dari Alam Semesta Dini
Perjalanan manusia untuk mencari galaksi-galaksi tua untuk mnelusuri kembali pembentukkannya masih terus berlanjut. Setelah masyarakat dikejutkan dengan penemuan galaksi yang berada pada jarak 13,2 milyar tahun dengan pergeseran merah 10,3.
Para peneliti tak berhenti sampai disitu, pencarian masih terus berlanjut untuk mengungkap sejarah alam semesta. Dengan menggunakan kemampuan untuk memperbesar dari lensa kosmik gravitasi, para astronom berhasil menemukan sebuah galaksi jauh yang diperkirakan lahir pada masa awal sejarah kosmik. Hasil ini memberi cahaya baru bagi pembentukan galaksi pertama sekaligus juga membawa manusia untuk mengkaji kembali evolusi dini alam semesta.
Penemuan Galaksi Baru
Dalam penelitian yang dilakukan Johan Richard (CRAL,Observatoire de Lyon, Université Lyon 1, France and Dark Cosmology Centre, Niels Bohr Institute, University of Copenhagen, Denmark) dan timnya, mereka berhasil menemukan galaksi jauh yang mulai terbentuk sekitar 200 juta tahun setelah terjadinya Big Bang atau Dentuman Besar.
Penemuan ini menjadi tantangan baru bagi teori yang ada terutama mengenai kapan galaksi terbentuk dan berevolusi di tahun-tahun awal pembentukan alam semesta. Bukti baru yang ada juga bisa digunakan untuk mengungkap misteri bagaimana kabut hidrogen yang mengisi alam semesta dini bisa dibersihkan.
Tim yang dipimpin Richard melihat galaksi yang mereka temukan saat melakukan pengamatan dengan menggunakan NASA/ESA Hubble Space Telescope dan kemudian dikonfirmasi ulang menggunakan Spitzer Space Telescope. Pengukuran jarak kemudian dilakukan menggunakan W. M Keck Observatory di Hawaii.
Pengamatan Galaksi ….
Galaksi jauh yang ditemukan tersebut tampak melalui gugus galaksi Abell 383, yang kekuatan gravitasinya mampu membelokkan cahaya dan berfungsi sebagai kaca pembesar. Kesempatan terjadinya kesejajaran antara galaksi, gugus galaksi dan Bumi memperkuat cahaya yang diterima dari galaksi jauh sehingga para astronom dapat melakukan pengamatan yang lebih detil. Tanpa lensa gravitasi, galaksi yang dituju terlalu redup untuk bisa diamati meskipun dengan teleskop tercanggih yang ada saat ini.
Galaksi jauh yang ditemukan tersebut tampak melalui gugus galaksi Abell 383, yang kekuatan gravitasinya mampu membelokkan cahaya dan berfungsi sebagai kaca pembesar. Kesempatan terjadinya kesejajaran antara galaksi, gugus galaksi dan Bumi memperkuat cahaya yang diterima dari galaksi jauh sehingga para astronom dapat melakukan pengamatan yang lebih detil. Tanpa lensa gravitasi, galaksi yang dituju terlalu redup untuk bisa diamati meskipun dengan teleskop tercanggih yang ada saat ini.
Setelah berhasil mengenali galaksi yang dicari dalam citra yang dihasilkan Hubble dan Spitzer, dilakukan pengamatan spektroskopik dengan teleskop Keck-II di Hawaii. Spektroskopi merupakan teknik untuk memecah cahaya ke dalam komponen warnanya. Setelah itu dilakukan analisa spektrum sehingga bisa dilakukan pengukuran pergeseran merah dan mendapatkan informasi terkait komponen bintangnya.
Implikasi Penemuan Galaksi
Hasil pengukuran yang dilakukan Johan Richard dan tim menunjukkan kalau galaksi tersebut memiliki pergeseran merah 6.027 yang artinya, pengamat melihat galaksi tersebut saat ia ada pada kondisi alam semesta berusia 950 juta tahun. Hasil ini tidak lantas menjadikan galaksi baru tersebut sebagai galaksi paling jauh atau paling tua karena ada galaksi lainnya yang memiliki pergeseran merah lebih dari 8 dan ada yang pergeseran merahnya 10 atau sudah ada 400 juta tahun sebelum si galaksi yang ditemukan Richard dkk.
Hasil pengukuran yang dilakukan Johan Richard dan tim menunjukkan kalau galaksi tersebut memiliki pergeseran merah 6.027 yang artinya, pengamat melihat galaksi tersebut saat ia ada pada kondisi alam semesta berusia 950 juta tahun. Hasil ini tidak lantas menjadikan galaksi baru tersebut sebagai galaksi paling jauh atau paling tua karena ada galaksi lainnya yang memiliki pergeseran merah lebih dari 8 dan ada yang pergeseran merahnya 10 atau sudah ada 400 juta tahun sebelum si galaksi yang ditemukan Richard dkk.
Tapi setiap penemuan tentu punya keunikan tersendiri. Galaksi baru ini ternyata memiliki fitur yang sangat berbeda dibanding galaksi jauh lainnya yang pernah diamati, yang umumnya terang dan terdiri dari bintang-bintang muda.
Menurut Eiichi Egami, salah satu peneliti Galaksi baru tersebut, ada dua hal yang mereka lihat saat melakukan analisa spektrum. Pergeseran merah dari galaksi tersebut menunjukkan kalau ia berasal dari masa awal sejarah kosmik. Tapi ada hal menarik lainnya. Deteksi yang dilakukan oleh Spitzer dengan mata inframerahnya mengindikasikan galaksi tersebut sudah berusia lebih tua lagi dan ia diisi oleh bintang redup. Diperkirakan galaksi tersebut disusun oleh bintang-bintang yang usianya sudah mendekati 750 juta tahun.
Artinya, epoh pembentukannya pun mundur ke era sekitar 200 juta tahun setelah Dentuman Besar. Atau dengan kata lain, galaksi ini sudah berusia sangat tua dan bisa disimpulkan juga kalau galaksi pertama yang terbentuk di masa awal alam semesta ternyata memang lebih dini dibanding perkiraan para ilmuwan.
Penemuan galaksi ini jelas memberi implikasi pada teori pembentukan galaksi mula-mula sekaligus memberi informasi bagaimana alam semesta menjadi transparan bagi cahaya ultraungu di masa satu milyar tahun pertama setelah Dentuman Besar.
Di masa awal kosmos, terdapat kabut gas hidrogen netral yang menghalangi cahaya ultraungu di alam semesta. Untuk bisa membuat alam semesta jadi transparan dan bersih dari kabut tersebut, sebagian sumber radiasi harus mngionisasi gas yang tersebar tersebut, membersihkan kabut yang menghalangi dan menjadikan alam semesta transparan bagi sinar ultraungu. Proses inilah yang dikenal sebagai proses reionisasi.
Para astronom meyakini kalau radiasi yang memberi tenaga untuk terjadinya reionisasi tersebut haruslah datang dari galaksi-galaksi. Akan tetapi diyakini tidak ada satu pun galaksi yang ditemukan yang dapat memberi radiasi yang diperlukan. Nah, penemuan galaksi baru ini diyakini dapat menyelesaikan teka-teki tersebut.
Tampaknya, galaksi yang baru ditemukan ini bukanlah satu-satunya. Diyakini masih ada lebih banyak galaksi-galaksi lain di masa alam semesta dini melebihi dugaan sebelumnya. Dan diyakini juga galaksi-galaksi tersebut sudah tua dan redup, sperti yang baru saja ditemukan. Jika analisa mengenai keberadaan galaksi-galaksi tua dan redup di alam semesta dini memang benar adanya maka mereka inilah yang akan menjadi jawaban yang menyediakan radiasi yang dibutuhkan untuk membuat alam semesta menjadi transparan bagi sinar ultraungu.
Untuk saat ini, para peneliti hanya dapat menemukan galaksi – galaksi melalui pengamatan menggunakan gugus masif yang bertindak sebagai teleskop kosmik. Di masa yang akan datang James Webb Space Telescope milik NASA/ESA/CSA akan diluncurkan dan akan bekerja pada pengamatan resolusi tinggi untuk mencari obyek yang memiliki pergeseran merah tinggi. Pada masa inilah, JWST akan menjadi mata yang bisa mengungkap semua misteri di masa alam semesta dini.
Dimana Sisa Supernova Pembentuk Tata Surya?
Ada ungkapan “Apel jatuh tidak jauh dari pohonnya”, cuma saya tidak bertanya Apelnya Newton. Kembali ke pembentukan Tatasurya. Bahwa kelahiran Tata Surya dipicu oleh ledakan supernova. Pertanyaannya, dimanakah sisa bintang supernova ini yang dicurigai sebagai pemicu terbentuknya tatasurya kita. trims (Sahudi Oke – Bandung)
Selama ini orang beranggapan bahwa supernova yang memicu pembentukan bintang. Jadi, gelombang kejut dari ledakan supernova diduga kuat memicu keruntuhan materi di awan molekul yang kemudian membentuk matahari dan planet-planetnya.
Untuk mengetahui dimana si supernova itu berada kita harus terlebih dahulu mengetahui dimana Matahari berada 4,6 milyar tahun yang lalu. Tapi saat ini para astronom justru melihat ada kemungkinan lain karena mereka tidak menemukan jejak supernova di sekitar Embedded Cluster (EC). Nah,Embedded Cluster atau EC adalah gugus bintang yang sebagian besar bintangnya diselimuti debu dan gas antar bintang.
Para astronom menemukan ada gugus bintang yang bisa runtuh sendiri tanpa diketahui pasti apa pemicunya. Bisa jadi keruntuhan disebabkan oleh interaksi di dalam gugus, tabrakan antar gugus atau bahkan tabrakan lengan spiral. Si gas awan molekular kemudian runtuh dan membentuk gugus kelahiran bintang. Di sini kemudian terbentuk banyak bintang dan ada diantaranya yang bermassa besar dengan usia beberapa juta tahun dan meledak.
Untuk Matahari, kita harus terlebih dahulu menelusuri kembali kira-kira dimana lokasi Matahari dilahirkan. Ini dikarenakan keberadaan Matahari yang kita tahu adalah keberadaannya saat ini. Tapi darimana ia berasal di masa lalu masih misteri. Seperti seorang pengelana yang coba mencari di mana tanah kelahirannya.
Bagaimana dengan Matahari? Saat ini usianya sudah 4,5 milyar tahun dan di dalam galaksi Bimasakti Matahari bergerak mengelilingi pusat galaksi. Kalau dihitung, sejak kelahirannya Matahari sudah mengelilingi pusat galaksi 20 – 30 kali. Dalam rentang waktu sedemikian lama apapun bisa terjadi pada sisa supernova tersebut. Jejak supernova akan mudah tersapu hilang akibat interaksi antar bintang dan interaksi materi antar bintang disekitarnya.
Tapi para astronom tetap mencari jejak Matahari ketika ia lahir. Seperti mencari jejak dimana seorang anak yang sudah mengebara puluhan tahun dulu dilahirkan. Para astronom menelusuri kembali posisi Matahari 4,6 milyar tahun lalu dengan menganggap galaksi statis. Dari situ diketahui lokasi Matahari 4,6 milyar tahun lalu. Tapi tidak semudah itu!
Dengan mengasumsikan galaksi statis permasalahan belum selesai. Permasalahan lain adalah lengan spiral ataupun gangguan molekular yang mengacak gerakan si Matahari. Akibatnya astronom jadi sulit mengetahui dimana posisi Matahari pada masa awal pembentukkannya.
Jika sudah ditemukan jejak Matahari 4,5 milyar tahun lalu dan ada gugus yang kalau ditelusuri kembali keberadaannya di masa lalu letaknya dekat dengan Matahari, maka yang harus dilakukan kemudian adalah menelusuri bintang-bintang “saudara Matahari” dalam radius 100 parsek. Ini disebut pencarian keluarga Matahari.
Mengapa harus mencari bintang keluarga Matahari?
Pada umumnya bintang itu lahir di dalam gugus bintang meskipun ada juga bintang yang lahir sendiri dan tidak di dalam gugus. Tapi kelahiran bintang yang lahir sendiri ini sangat sedikit. Karena itu asumsi utamanya, Matahari lahir di dalam gugus. Pertanyaannya sekarang, gugusnya ada dimana? Apakah si gugus masih ada ataukah sudah hancur.
Jika Matahari lahir di dalam gugus maka kemungkinan ada bintang-bintang lain yang juga lahir di dalam gugus yang sama. Karena itu dicari teman-teman Matahari yang lahir pada waktu bersamaan yang ditandai oleh komposisi kimia yang sama. Dengan demikian pencarian difokuskan pada bintang-bintang yang memiliki komposisi kimia yang sama. Usia bintang sulit dihitung dengan detil berbeda dengan Bumi yang bisa dihitung dengan detil.
Saat ini ada beberapa kandidat yang diduga merupakan saudara Matahari karena memiliki komposisi kimia yang mirip. Akan tapi masih harus diteliti lagi apakah bintang-bintang tersebut lahir pada saat bersamaan atau tidak.
Permasalahan berikutnya, jika lahir di dalam gugus maka ada kemungkinan gugus tempat kelahiran itu sudah hancur karena rata-rata kala hidup sebuah gugus hanya 100 juta tahun. Lebih dari 100 juta tahun sebagian besar gugus sudah terurai bahkan ada yang kurang dari 100 juta tahun pun sudah terurai sehingga sulit untuk dicari gugusnya.
Tapi meskipun gugusnya sudah tidak ada lagi, para astronom masih bisa menelusuri jejak masa lalu dari bintang-bintang yang komposisi kimianya mirip.
Ada beberapa dugaan bahwa nebula Matahari yang membentuk Tata Surya bukan berasal dari supernova melainkan dikotori oleh angin bintang dari bintang-bintang AGB (Asymptotic Giant Branch – bintang-bintang raksasa merah) di gugus. Tapi memang kemungkinan terkuat adalah keberadaan supernova dari bintang muda yang meledak atau si supernova dari bintang muda tadi hanya mengotori nebula Matahari yang saat itu sudah membentuk planet-planet.
Salah satu kandidat saudara kembar matahari adalah bintang di gugus M67 yang memiliki usia tak jauh dari Matahari. Tapi para astronom masih meragukan bahwa gugus M67 tersebut tempat lahirnya matahari, karena dari simulasi orbit, matahari dan gugus M67 tidak pernah berdekatan dalam jarak kurang dari 20 parsek.
Tapi dimanakah supernova atau si gugus kelahiran Matahari masih terus dicari dan belum diketahui keberadaannya karena tidak mudah menelusuri kembali jejak masa lalu Matahari.
____
Punya pertanyaan tentang astronomi? Silahkan Tanya LS !
Memburu materi gelap: Satu gejala, Tiga teori
Bayangkan bila pada suatu hari kita mengetahui bahwa di tanah kosong di seberang rumah kita terdapat rumah yang ukurannya sama persis dengan rumah kita namun tersusun atas bahan tak terlihat. Bahan ini tak dapat dilihat oleh panca indera maupun oleh instrumen apapun, dan hanya bisa dideteksi melalui pengaruh gravitasi yang ditimbulkan bahan tersebut. Berita seperti ini pastilah mengagetkan.
Situasi seperti inilah yang dihadapi astronomi modern saat ini. Pengamatan modern menunjukkan bahwa hampir 95 persen dari alam semesta kita tersusun atas materi yang tak bisa kita pahami. Tentu saja bagi seorang astronom hal ini sangat mengagetkan. Semua yang kita amati di alam ini: planet, bintang, galaksi, gas dan debu, hanyalah 5 persen dari keseluruhan kandungan alam semesta. Astronom Inggris Martin Reesberkata, “cukup memalukan mengetahui bahwa 90% alam semesta ternyata belum diketahui.” Namun inilah ilmu pengetahuan, selalu menemukan hal baru untuk dijelajahi. Penelitian mengenai hakikat materi gelap dan energi gelap kini menempati garda depan penelitian astronomi.
Pengamatan materi gelap
Gugus Galaksi Coma dipotret oleh Teleskop Antariksa Hubble. Hampir semua objek yang ada di foto ini adalah Galaksi, masing-masing mengandung milyaran bintang. Galaksi-galaksi ini saling berinteraksi satu sama lain dalam ikatan gravitasi. Sumber: APOD.
Indikasi pertama mengenai adanya materi gelap diamati hampir 80 tahun lalu ketika astronom Swiss keturunan Bulgaria, Frits Zwicky, meneliti gerak galaksi-galaksi anggota Gugus Galaksi Coma. Dengan menggunakan spektrograf, Zwicky mengukur kecepatan gerak tujuh galaksi anggota gugus ini lalu—dengan menggunakan Hukum Newton—menghitung massa total Gugus ini berdasarkan kecepatan gerak mereka. Selanjutnya Zwicky mengukur seberapa terang galaksi-galaksi yang sama lalu menghitung berapa massa total Gugus berdasarkan kecerlangannya. Ternyata, “massa dinamika”, yaitu massa yang dihitung dari gerak galaksi-galaksi tersebut, empat ratus kali lebih besar daripada “massa cerlang” yang dihitung dari kecerlangan mereka!
Zwicky mengumumkan penemuan ini di hadapan rekan-rekannya dan menyimpulkan adanya “materi gelap” (istilah “materi gelap” ataudark matter diciptakan oleh Zwicky) yang tak bisa dideteksi instrumen namun bisa dirasakan pengaruh gravitasinya. Penemuan ini tak dipedulikan oleh rekan-rekannya karena pengukuran pada masa itu masih kurang teliti untuk bisa meneliti objek seredup Gugus Galaksi Coma, sehingga hasil-hasil Zwicky lebih dianggap sebagai efek kesalahan instrumen ketimbang sebuah gejala yang riil. Terlebih lagi, bagi banyak orang Zwicky bukanlah karakter yang menyenangkan karena sikapnya yang—dalam istilah orang Indonesia—nyolot. Tidak hanya ia pernah mengajak rekannya berkelahi namun juga ia sering menunjukkan kekuatan fisiknya dengan melakukan push-up satu tangan di ruang dosen Caltech, membuat beberapa rekannya merasa terancam dan tidak mau lagi bekerja sama dengannya. Namun demikian, Zwicky adalah astronom yang brilian dan kreatif. Ia tidak takut salah bila mencoba solusi yang dianggap tak wajar. Tidak hanya “materi gelap,” istilah “supernova” juga adalah buah tangannya.
Vera Rubin mengukur spektrum galaksi di tahun 1970an. Pada tahun 1948 ia ditolak masuk Universitas Princeton karena perempuan dianggap tidak mampu menempuh program pascasarjana. Ia memperoleh gelar PhD dari Universitas Georgetown pada tahun 1954.
Selama setengah abad berikutnya ide mengenai materi gelap dilupakan, sampai Vera Rubin—satu dari sedikit astronom perempuan pada masa itu—meneliti gerak bintang dan gas di beberapa galaksi di sekitar Galaksi Bima Sakti. Dengan menggunakan spektrograf, Rubin mengamati kecepatan gerak bintang-bintang di beberapa bagian dalam sebuah galaksi. Menurut Hukum Newton, semakin jauh sebuah objek berlokasi dari sebuah konsenstrasi massa, semakin lambat kecepatannya. Bumi, misalnya, bergerak mengitari Matahari dengan kecepatan rata-rata 30 km/s. Namun, Jupiter, karena letaknya lima kali lebih jauh dari jarak Bumi-Matahari, bergerak lebih lambat dengan kecepatan rata-rata 13 km/s. Hal yang sama juga berlaku dalam sistem galaksi. Kita melihat bahwa daerah pusat galaksi spiral lebih terang daripada daerah piringannya, dan semakin ke pinggir kecerlangan sebuah galaksi semakin meredup. Oleh karena itu wajarlah bila kita menyimpulkan bahwa lebih banyak massa terkonsentrasi di pusat galaksi daripada di pinggir, dan kita mengharapkan bahwa kecepatan rotasi bintang-bintang di pinggir galaksi akan lebih lambat daripada kecepatan rotasi bintang-bintang yang lebih ke pusat.
Akan tetapi kenyataan yang diamati Rubin sangatlah berbeda. Bintang-bintang di pinggir galaksi bergerak sama cepatnya dengan bintang-bintang yang lebih dekat ke pusat galaksi! Apabila bintang-bintang di pinggiran galaksi bergerak secepat ini, maka mereka seharusnya tercerai-berai. Namun tidak ada indikasi yang menunjukkan ini dan mereka tetap bergerak secara teratur, seolah-olah ada massa tambahan yang “mengikat” mereka sehingga tetap stabil. Adanya “massa tambahan” inilah yang kemudian dijelaskan sebagai adanya materi gelap.
Dengan mengukur kecepatan rotasi di beberapa tempat di sebuah galaksi, Rubin dapat membuat sebuah grafik seperti di atas yang memetakan kecepatan rotasi galaksi di beberapa tempat relatif terhadap jaraknya dari pusat galaksi tersebut. Grafik seperti ini disebut kurva rotasi. Bila kita menghitung kecepatan rotasi hanya berdasarkan massa yang kita lihat yaitu bintang, gas, dan debu, maka kecepatan rotasi seharusnya menurun seiring dengan semakin jauhnya objek dari pusat galaksi. Namun kenyataannya kecepatan orbit objek-objek yang jauh dari pusat galaksi sama besarnya dengan kecepatan orbit objek-objek yang lebih dekat. Rubin memperkirakan bahwa massa tambahan yang tak terlihat ini mencapai 10 kali lipat dari massa yang terlihat dan terkonsentrasi di daerah tepi galaksi, di daerah yang disebut halo galaksi.
Keberadaan materi gelap kini tak bisa disangkal lagi karena pengamatan Vera Rubin lalu dikonfirmasi oleh astronom-astronom lain yang melakukan penelitian serupa pada galaksi-galaksi lain. Perhitungan modern kini menunjukkan bahwa alam semesta yang kita amati hanyalah sekitar 5% saja dari komposisi total alam semesta, sementara sekitar 25% adalah materi gelap dan 75% adalah “energi gelap” yang bertanggung jawab atas dipercepatnya ekspansi alam semesta.
Berikut ini saya akan membahas tiga calon penjelasan untuk “materi gelap,” tanpa ada urutan tertentu.
Teori pertama: Materi gelap adalah MACHO
“Massa yang hilang” ini dijelaskan secara sederhana sebagai objek-objek yang punya massa besar, sangatlah padat (compact), namun tak bercahaya atau sangat redup sehingga berada di luar batas kepekaan instrumen yang ada. Objek-objek seperti ini antara lain bintang katai putih, bintang katai merah, bintang neutron, bintang katai coklat, planet-planet raksasa seukuran Jupiter, dan lubang hitam ukuran kecil. Bila benda-benda ini jumlahnya sangat banyak, melebihi materi-materi lain yang bercahaya yang bisa kita amati, maka gabungan total massa keseluruhan objek-objek ini dapat secara gravitasional mempengaruhi dinamika di dalam sebuah galaksi dan menjelaskan dari mana asal “tambahan massa” dalam kurva rotasi. Berdasarkan petunjuk dari kurva rotasi, objek-objek ini pastilah terserak di penjuru galaksi namun akan terkonsentrasi di daerah halo. Itulah sebabnya mengapa objek-objek ini secara kolektif dinamakan sebagai MACHO atau MAssive Compact Halo Objects (Objek halo masif dan padat).
Karena MACHO adalah objek yang padat, maka medan gravitasinya sangat kuat sehingga dapat membelokkan jalannya cahaya. Medan gravitasi ini dapat berfungsi sebagai lensa untuk memfokuskan cahaya yang melewati MACHO. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar di samping. Apabila sebuah MACHO (dalam contoh ini adalah sebuah katai coklat) lewat di antara kita dan sebuah bintang, maka cahaya yang berasal dari bintang tersebut selama beberapa saat akan terfokus ke arah kita sebagai pengamat dan akibatnya bintang akan menjadi nampak lebih terang selama beberapa saat, lalu meredup dan kecerlangannya kembali ke semula. Apabila kita mengamati porsi langit yang cukup besar dalam waktu yang lama, bukan tidak mungkin kita akan dapat mengamati peristiwa ini. Tekniknya dengan demikian adalah menggunakan teleskop yang medan pandangnya luas dan detektor yang sangat sensitif dan dengan demikian dapat mengambil gambar dalam waktu eksposur yang sangat singkat dan terus menerus sepanjang malam, dan juga dilakukan secara otomatis dan terprogram. Salah satu program semacam ini adalah Proyek OGLE yang diprakarsai oleh Universitas Warsaw, Polandia. Hampir dua puluh tahun OGLE beroperasi, mereka tidak hanya berhasil menemukan sejumlah peristiwa microlensing yang diakibatkan oleh lewatnya MACHO, namun juga sejumlah planet ekstrasolar sebagai hasil sampingan.
Penemuan objek-objek MACHO melalui microlensing menunjukkan bahwa mereka memang ada, namun bukanlah satu-satunya materi gelap dan terlebih lagi bukanlah komponen paling dominan. Hal ini karena partikel-partikel dasar penyusun MACHO adalah partikel-partikel baryon dan jumlah total mereka di alam semesta tidak cukup besar untuk dapat dianggap materi gelap. Baryon adalah partikel apapun yang tersusun atas tiga quark, atau dengan kata lain adalah partikel biasa yang kita ketahui selama ini: proton dan neutron. Kelimpahan total partikel baryon di alam semesta ini dapat diperkirakan dari perhitungan pembentukan atom-atom dasar pada waktu-waktu awal sesudah Big Bang terjadi (disebut juga nukleosintesis Big Bang), dan jumlah massa total partikel baryon tidak cukup untuk menjelaskan massa total materi gelap. Jumlah total partikel baryon paling-paling hanya 10 persen saja dari total materi gelap dan oleh karena itu sisanya kemungkinan bisa dijelaskan oleh adanya partikel nonbaryon yang eksotik dan belum diketahui keberadaannya.
Teori kedua: Materi gelap adalah WIMP
Alternatif kedua untuk menjelaskan materi gelap adalah keberadaan partikel-partikel nonbaryon. Partikel nonbaryon adalah partikel selain dari proton dan neutron: bisa neutrino, elektron bebas, atau partikel-partikel eksotik lain seperti partikel-partikel supersimetri atau aksion. Partikel ini haruslah berinteraksi melalui gaya nuklir lemah dan gravitasi, tidak melalui gaya elektromagnetik karena bila demikian pastilah kita bisa mendeteksi mereka. Selain berinteraksi lemah, partikel ini juga harus masif relatif terhadap partikel-partikel lainnya. Itulah sebabnya, agar kontras dengan MACHO, partikel ini kita namakan WIMP atau Weakly Interacting Massive Particles (Partikel masif yang berinteraksi lemah).
WIMP adalah neutrino?
Berhubung partikel WIMP hanya berinteraksi oleh gaya nuklir lemah dan gravitasi, maka mendeteksi partikel ini—apabila ada—juga sangat sulit. Salah satu kandidat partikel WIMP berdasarkan persyaratan ini tidak lain adalah neutrino. Partikel ini tidak bermuatan listrik (netral) dan oleh karena tidak berinteraksi lewat gaya elektromagnetik dan hanya berinteraksi lewat gaya nuklir lemah. Neutrino memiliki massa, walaupun sangat kecil, dan oleh karena itu dapat berinteraksi secara gravitasi dengan objek-objek lain. Apabila neutrino tersedia dalam jumlah berlimpah di alam ini, mungkinkah agregat massa totalnya dapat mengisi “massa tambahan” yang diperlukan? Untuk menjawab ini, kita harus dapat memperkirakan berapa massa total seluruh neutrino di alam ini. Perhitungan ini dapat didekati dengan mencoba mendeteksi neutrino dari sumber-sumber neutrino di sekitar kita, antara lain dari Matahari dan dari supernova terdekat.
Salah satu percobaan pertama untuk mendeteksi neutrino dilakukan oleh astrofisikawan Ray Davis, Jr. dan John Bahcall di dasar Tambang Emas Homestake di Dakota Selatan, Amerika Serikat. Di dasar tambang yang tergelap dan jauh dari gangguan radiasi lain yang dapat mengganggu percobaan, sebuah tangki 100 000 gallon diisi penuh cairan pencuci baju. Sekali waktu neutrino yang datang dari Matahari dan melewati tangki ini akan mengubah Klorin dalam cairan ini menjadi Argon. Secara berkala cairan ini diayak untuk memisahkan Klorin dari Argon, dan dari jumlah Argon yang ditemukan kita dapat memperkirakan berapa jumlah neutrino yang melewati tangki tersebut. Untuk pertama kalinya percobaan ini berhasil membuktikan keberadaan neutrino.
Namun demikian, neutrino kemungkinan besar bukan partikel materi gelap. Berdasarkan simulasi komputer penciptaan struktur skala besar dan galaksi-galaksi di alam semesta dini, peran neutrino sebagai materi gelap gagal menciptakan struktur skala besar dan galaksi-galaksi yang konsisten dengan apa yang kita amati dewasa ini. Pembentukan struktur dan galaksi berlangsung terlalu lama atau bahkan kebalikannya yaitu terlalu banyak galaksi. Oleh karena itu neutrino sebagai materi gelap kini semakin ditinggalkan dan para astronom beralih ke partikel nonbaryon lainnya yaitu partikel supersimetri.
WIMP adalah partikel supersimetrik?
Dalam teori fisika, supersimetri (atau biasa disingkat SUSY) mengandaikan adanya pasangan untuk setiap partikel elementer. Pasangan ini disebut superpartner dan memiliki karakteristik yang sama (massa dan bilangan kuantum), hanya saja bilangan spin mereka berbeda sebesar 1/2. Kurang lebih delapan puluh tahun lalu, Paul Dirac melipatgandakan jumlah materi yang diketahui saat itu dengan memprediksikan keberadaan antimateri, sekarang jumlah materi ini harus dilipatgandakan lagi oleh teori supersimetri—bila teori ini nantinya terbukti benar. Partikel supersimetri yang menjadi kandidat terkuat adalah Neutralino. Partikel ini tercipta pada saat alam semesta masih berusia dini dan saat ini—bila mereka memang betul-betul ada—dapat dideteksi melalui dua cara: melalui detektor kriogenika di bawah tanah atau melalui teleskop neutrino.
Di sebelah kiri adalah partikel-partikel standard yang selama ini kita ketahui, terbagi atas keluarga quark (kuning), keluarga lepton (merah), boson pembawa gaya alias gauge boson (hijau), dan Boson Higgs (biru). Di sebelah kanan adalah superpartner mereka atau disebut juga partikel-partikel SUSY (supersimmetry). Superpartner identik dengan pasangannya, kecuali bilangan spin mereka yang berbeda sebesar 1/2.
Salah satu eksperimen yang bertujuan mendeteksi neutralino melalui kriogenika adalah CDMS atauCryogenic Dark Matter Search. Berlokasi jauh di bawah tanah di Minnesota, Amerika Serikat, instrumen CDMS menggunakan substrat kristal Germanium dan Silikon yang didinginkan hingga suhunya hanya 1/50000 derajat Kelvin. Pada suhu sedingin ini, atom-atom Germanium dan Silikon dalam substrat kristal ini tidak lagi bergerak dan bersusun membentuk kisi-kisi. Bila partikel neutralino melewati kisi-kisi ini, kisi-kisi ini akan meregang seperti senar gitar dipetik dan akan bergetar sebelum akhirnya kembali diam ke posisi semula. Redaman ini akan melepaskan energi panas berwujud fonon, dan akan dapat dideteksi oleh lapisan tungsten di permukaan detektor. Untuk menjaga suhu detektor tetap stabil dan mengurangi kemungkinan detektor ini mendeteksi sesuatu partikel lain selain neutralino, detektor ini dilapisi berbagai lapisan insulasi yang dapat mencegah panas dari berbagai sumber memasuki detektor dan juga mencegah partikel selain neutralino menembus detektor.
Percobaan CDMS berusaha mendeteksi partikel WIMP secara langsung. Cara lain untuk mendeteksi partikel WIMP secara tidak langsung adalah dengan mengamati reaksi penghilangan WIMP menjadi partikel lain yang dapat dideteksi. Cara ini dilakukan antara lain dengan mengamati neutrino energi tinggi dari Matahari. Objek-objek bermassa besar seperti Matahari dapat menangkap neutralino dan menggiringnya ke arah inti Matahari. Di dalam inti Matahari, neutralino dapat saling bertumbukan dan menghilangkan sesamanya, dan menghasilkan neutrino. Pada inti Matahari, reaksi nuklir penggabungan empat inti hidrogen menjadi satu inti helium juga menghasilkan neutrino, namun energi neutrino ini kira-kira seribu kali lebih lemah daripada neutrino yang dihasilkan dari tumbukan neutralino. Neutrino energi tinggi hasil tumbukan neutralino ini kemudian akan melesat ke segala arah, namun sebagian akan mencapai Bumi dan akan dapat dideteksi oleh berbagai teleskop neutrino energi tinggi, misalnya Teleskop Neutrino ANTARES yang beroperasi di dasar Laut Tengah atau IceCube yang beroperasi di lapisan es di Kutub Selatan.
Teori ketiga: Materi gelap tidak ada
Penjelasan ketiga adalah materi gelap tidak ada dan gejala “massa tambahan” dalam kurva rotasi dijelaskan secara sederhana sebagai kurangnya pemahaman kita akan Hukum
Ketiga
Kedua Newton, dan oleh karena itu di hadapan gejala ini perlulah dimodifikasi. Konsep ini diajukan oleh Moti Milgrom dan ia menamakannya MOND atau MOdified Newtonian Dynamics (Dinamika Newton yang Dimodifikasi). Milgrom menjelaskan bahwa Hukum Ketiga Newton yang selama ini kita gunakan berlaku hanya untuk percepatan besar namun perlu diberi parameter tambahan bila kita meninjau percepatan yang sangat kecil. Jadi untuk kasus percepatan kecil, Hukum Ketiga Newton bukan lagi F = ma, tetapi F = m a2/a0, di mana a0 adalah sebuah konstanta percepatan yang besarnya kira-kira sekitar 10-8 cm s-2.
Ketiga
Kedua Newton, dan oleh karena itu di hadapan gejala ini perlulah dimodifikasi. Konsep ini diajukan oleh Moti Milgrom dan ia menamakannya MOND atau MOdified Newtonian Dynamics (Dinamika Newton yang Dimodifikasi). Milgrom menjelaskan bahwa Hukum Ketiga Newton yang selama ini kita gunakan berlaku hanya untuk percepatan besar namun perlu diberi parameter tambahan bila kita meninjau percepatan yang sangat kecil. Jadi untuk kasus percepatan kecil, Hukum Ketiga Newton bukan lagi F = ma, tetapi F = m a2/a0, di mana a0 adalah sebuah konstanta percepatan yang besarnya kira-kira sekitar 10-8 cm s-2.
Gejala "massa yang hilang'' cenderung muncul pada sistem yang memiliki percepatan kecil (di samping kiri garis tegas vertikal). Oleh karena itu muncul ide bahwa Hukum Ketiga Newton perlu dimodifikasi untuk kasus percepatan kecil. Sumber: Majalah Science, 2009.
Kurva rotasi yang diprediksi MOND (titik-titik biru) cocok dengan kurva rotasi yang diamati (garis tegas). Ini adalah kasus untuk NGC1650, dan berhasil juga untuk galaksi-galaksi lain. Sumber: Majalah Science (2009)
Dengan menggunakan MOND, kurva rotasi dapat dijelaskan dengan baik sekali dan dihitung hanya dengan menggunakan massa baryonik. MOND juga memprediksikan adanya galaksi dengan kecerlangan rendah, dan juga gejala-gejala lainyang belum dapat diprediksi teori-teori materi gelap. Dengan mempelajari secara sistematik kurva rotasi galaksi-galaksi, nilai skala akselerasi dapat dipertajam harganya menjadi a0 ~ 1.2 x 10-8cm s-2 dan ternyata nilainya serbasama untuk seluruh galaksi.
Namun demikian, MOND bukannya tanpa masalah. Usaha untuk menjelaskan kecepatan gerak gugus-gugus galaksi ternyata tidak berhasil dan kita harus menggunakan nilai berbeda a0, atau bahkan harus mengasumsikan keberadaan sejumlah kecil materi gelap. Dan yang terutama, MOND hanyalah teori fenomenologi yang bersifat empirik dan belum punya dasar fisika. Salah satu ujian terpenting bagi MOND adalah ia harus diperluas agar dapat bekerja juga dalam kerangka Relativitas Umum yang memandang gravitasi sebagai sebuah gejala geometri ruang-waktu.
Pengembangan MOND ke dalam kerangka Relativitas Umum diajukan oleh fisikawan Jacob Bekensteindalam sebuah makalah yang diterbitkan tahun 2004. Teori yang diajukan Bekenstein ini dinamakan TeVeSatau Tensor-Vektor-Skalar. Teori TeVeS dianggap cukup lengkap dan terdefinisi dengan baik dan dapat digunakan memprediksikan gejala-gejala yang terjadi dalam skala kosmologi, yang terpenting adalah pembentukan struktur skala besar pada masa awal-awal alam semesta.
Penggunaan TeVeS untuk mensimulasi pembentukan struktur skala besar menunjukkan hasil yang kurang lebih sepadan dengan apa yang diamati sekarang. Akan tetapi, agar TeVeS bisa konsisten dengan data pengamatan, dibutuhkan keberadaan medan gravitasi tambahan yang perilakunya ternyata menyerupai materi gelap dalam wujud neutrino. Secara prinsip hal ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip MOND namun tidaklah seelegan ide awal MOND yang dimaksudkan sebagai konsep yang sama sekali tidak membutuhkan materi gelap.
Diskusi
Hingga saat ini, data pengamatan mengindikasikan bahwa jika materi gelap memang ada, maka wujudnya adalah partikel nonbaryonik yang eksotik dan berinteraksi dengan “materi normal” melalui gravitasi dan tidak secara elektromagnetik. MACHO dan neutrino boleh jadi adalah materi gelap juga walaupun bukanlah komponen yang paling dominan. Partikel-partikel supersimetrik dengan demikian adalah kandidat terkuat sebagai “materi gelap” dan masih menunggu untuk ditemukan melalui eksperimen-eksperimen fisika dan astronomi. Di satu sisi, bila materi gelap tidak ada dan yang kita butuhkan adalah modifikasi Hukum Newton, maka MOND dapat diuji dengan melakukan serangkaian pengamatan lensa gravitasi dan radiasi latar (CMB atau Cosmic Microwave Background) untuk meneliti efek TeVeS pada pelensaan gravitasi.
Inilah ilmu pengetahuan, dibangun melalui perbedaan pendapat dan kreativitas, namun alamlah yang menjadi hakim.
Galaksi-galaksi yang Padam ‘Seketika’
Baru-baru ini astronom menggunakan beberapa teleskop canggih untuk mengintip masa lampau dan mengamati beberapa galaksi dari suatu masa ketika alam semesta masih sangat muda. (Bagaimana astronom dapat mengamati galaksi dari alam semesta dini, cari tahu di sini).
Pembentukan bintang di galaksi-galaksi jauh. kredit : ESO, APEX (MPIfR/ESO/OSO), A. Weiss et al., NASA Spitzer Science Center
Beberapa dari galaksi-galaksi ini sangat menarik bagi astronom dan telah ditandai dengan warna merah dalam gambar berikut. Saat alam semesta masih sangat muda, galaksi-galaksi yang tadi diberi warna merah tengah memproduksi bintang secara gila-gilaan – cepat sekali-, yang disebut sebagaistarburst. Starburst ini tidak bertahan lama dan inilah yang bikin astronom tertarik: apa yang menghentikan produksi bintang ini?
Astronom kini telah tahu jawaban masuk akal untuk pertanyaan tadi. Idenya adalah: selagi galaksi-galaksi starburst bekerja sangat cepat memproduksi bintang, mereka juga menghasilkan ‘sampah’ saat membentuk bintang-bintang baru. Sampah ini lalu ditelan begitu saja oleh ‘monster-monster ruang angkasa’ yang ada di pusat galaksi dan dikenal sebagai lubang hitam supermasif. Lalu terjadi semburan energi yang sangat kuat (jet), yang bisa melontarkan atau bahkan menghancurkan bahan-bahan yang diperlukan galaksi untuk memproduksi lebih banyak bintang. Jadi, terhentilah starburst.
“Jadi, masa-masa kejayaan galaksi dalam pembentukan bintang secara cepat juga bisa menjadi kehancuran bagi mereka sendiri dengan memberi makan lubang hitam raksasa yang berada di pusat galaksi,” kata astronom David Alexander.
Fakta menrik : Selama masa starburst yang singkat ini, astronom menduga jika jumlah bintang di dalam galaksi menjadi dua kali lipat.
Sumber : Space Scoop Universe Awareness
Planet Kebumian dan Serpihan Lainnya di Tata Surya
Di Tata Surya, planet-planet hanya seperti serpihan dibandingkan Matahari. Di antaranya terdapat serpihan-serpihan besar yang kita kenal sebagai planet raksasa. Namun ada juga serpihan kecil yang jika dibandingkan dengan Matahari bisa dikatakan serpihan ini seperti titik-titik debu. Serpihan kecil di Tata Surya tersebut, jika digabungkan massanya hanya 1/5 dari massa planet raksasa terkecil. Selain itu jumlah momentum sudutnya juga jauh lebih kecil.Yang unik, tak seperti planet raksasa, serpihan-serpihan kecil ini secara keseluruhan berupa objek padat di Tata Surya. Meskipun massanya sangat kecil, mereka tersusun dari berbagai komponen yang sangat menarik dari sisi kimia, geologi, dinamika sistem maupun secara biologi. Karena komposisinya yang padat itulah serpihan-serpihan tersebut dikenal sebagai planet kebumian.
Planet kebumian Merkurius, Venus, Bumi dan Mars. Kredit : NASA
Nah, dalam kelompok planet kebumian Bumi dan Venus menempati objek terbesar di antara objek-objek lainnya dengan radius sekitar 6000 km dan berada pada jarak 1 SA dan 0,7 SA dari Matahari. Selain Bumi dan Venus, masih ada dua planet kebumian yang lebih kecil yakni Mars dan Merkurius dengan radius 3500 km dan 2500 km. Merkurius merupakan planet yang sangat dekat dengan Matahari yang berada pada jarak 0,4 SA dan Mars berada sedikit lebih jauh dari Bumi pada jarak 1,5 SA dari Matahari. Kesemua planet kebumian di Tata Surya memiliki atmosfer dengan komposisi dan kerapatan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Atmosfer Merkurius merupakan yang paling tipis dan bersama Bumi keduanya memiliki pembangkit medan magnet internal.
Selain keempat planet kebumian, terdapat juga tujuh satelit yang massanya cukup besar bergerak mengikuti planet -planet raksasa dan Bumi. Tak hanya itu, Tata Surya juga diisi oleh kelompok plutoid yang massanya tak jauh berbeda dari massa Pluto. Di kelompok ini terdapat Pluto, Haumea, Makemake, dan Eris. Di antara keempat objek plutoid, hanya Haumea yang sampai saat ini belum diketahui apakah memiliki atmosfer atau tidak. Ketiga plutoid lainnya diketahui memiliki atmosfer yang tersusun oleh metana. Di pluto komponen lainnya yang ada di atmosfer adalah nitrogen dan karbon monoksida sedangkan di Makemake, jika nitrogen memang ada dalam atmosfer maka diperkirakan nitrogenlah yang mendominasi atmosfer Makemake.
Utuk satelit, Ganymede dan Titan memiliki ukuran yang lebih besar dari Merkurius namun kerapatan yang rendah membuat mereka tidak semasif Merkurius. Beberapa satelit seperti Titan, Triton, Io, dan Bulan diketahui memiliki atmosfer tipis. Objek batuan lainnya di Tata Surya adalah asteroid Asteroid diyakini merupakan planet yang gagal terbentuk dan terperangkap dalam gaya gravitasi dua planet besar yang ada di dekatnya. DI Tata Surya, asteroid bisa ditemui di sabuk Asteroid yang berada di antara Mars dan Jupiter. Asteroid yang juga dikenal sebagai planet minor memiliki radius < 500 km. Objek-objek kecil lainnya juga ada di dalam Tata Surya, seperti satelit-satelit mungil yang mengitari planet-planet maupun komet yang sesekali muncul dengan ekor indahnya saat dekat Matahari.
Perbandingan asteroid dan komet di Tata Surya. Kredit: NASA
Sebagian besar komet diperkirakan berada di awan Oort, suatu area yang berada jauh dari Matahari, pada jarak ~1,5 x 104SA. Diperkirakan untuk komet yang lebih besar dari 1 km, jumlahnya mencapai 1010 - 1013. Komet periode pendek diketahui lebih banyak menghabiskan masa hidupnya di Sabuk Kuiper, piringan pipih yang berada di luar area Neptunus pada jarak ~35 – 500 SA (?). Jumlah total objek dengan radius lebih dari 1 km yang ada di Sabuk Kuiper berkisar antara ~108 – 1010. Massa total objek yang ada di Sabuk Kuiper dan awan Oort masih belum diketahui dengan pasti.
Objek batuan terkecil yang ada di Tata Surya justru berada di cincin planet-planet raksasa berupa partikel pembentuk cincin dan juga pada debu komet. Namun sampai saat ini, partikel-partikel tersebut belum diteliti lebih jauh sebagai objek tunggal hanya sebagai satu kesatuan pada cincin planet atau pada komet.
Hati-hati celahnya
VLT instrumen mengisyaratkan adanya planet di cakram gas muda
8 September 2008
gambar
Klik untuk perbesar
Para astronom telah mampu mempelajari pembentuk planet di sekitar cakram muda bintang seperti Matahari secara detail tak tertandingi, dengan jelas mengungkapkan gerak dan distribusi gas di bagian dalam dari disk. Hasil ini, yang mungkin menyiratkan adanya planet raksasa, ini dimungkinkan oleh kombinasi metode yang sangat pintar diaktifkan oleh Telescope ESO Sangat Besar.
Planet bisa menjadi rumah bagi bentuk-bentuk kehidupan, sehingga studi tentang exoplanets peringkat sangat tinggi dalam astronomi kontemporer. Lebih dari 300 planet telah diketahui mengorbit bintang selain Matahari, dan ini dunia baru menunjukkan keanekaragaman yang menakjubkan dalam karakteristiknya. Namun para astronom tidak hanya melihat sistem dimana planet sudah terbentuk - mereka juga bisa mendapatkan wawasan yang besar dengan mempelajari cakram sekitar bintang muda dimana planet saat ini mungkin terbentuk. "Ini seperti pergi 4,6 miliar tahun kembali pada waktunya untuk melihat bagaimana planet-planet dari tata surya kita sendiri terbentuk," kata Klaus Pontoppidan dari Caltech, yang memimpin penelitian.
Pontoppidan dan rekan telah menganalisis tiga analog muda dari Matahari kita yang masing-masing dikelilingi oleh piringan gas dan debu dari mana planet-planet dapat terbentuk. Ketiga cakram adalah hanya beberapa juta tahun dan diketahui memiliki gap atau lubang di dalamnya, menunjukkan daerah dimana debu telah dibersihkan dan kemungkinan adanya planet muda.
Hasil baru tidak hanya mengkonfirmasi bahwa gas hadir dalam kesenjangan dalam debu, tetapi juga memungkinkan astronom untuk mengukur bagaimana gas terdistribusi di disk dan bagaimana disk berorientasi. Pada daerah dimana debu tampaknya telah dihapus, gas molekul masih sangat berlimpah. Ini bisa berarti bahwa debu telah mengelompok bersama untuk membentuk embrio planet, atau planet telah terbentuk dan sedang dalam proses membersihkan gas di disk.
Untuk salah satu bintang, SR 21, penjelasan yang mungkin adalah kehadiran sebuah planet raksasa masif yang mengorbit kurang dari 3,5 kali jarak antara Bumi dan Matahari, sedangkan untuk bintang kedua, HD 135344B, sebuah planet yang mungkin dapat mengorbit pada 10 sampai 20 kali jarak Bumi-Matahari. Pengamatan dari bintang ketiga, TW Hydrae, mungkin juga memerlukan adanya satu atau dua planet.
"Pengamatan kami dengan instrumen CRIRES pada Telescope ESO Very Large jelas mengungkapkan bahwa cakram sekitar tiga muda, bintang seperti Matahari semua sangat berbeda dan akan menghasilkan kemungkinan besar di sistem planet yang sangat berbeda," menyimpulkan Pontoppidan. "Alam tentu tidak ingin mengulang dirinya sendiri" [1].
"Ini jenis pengamatan melengkapi kerja masa depan observatorium ALMA, yang akan menjadi pencitraan disk ini dengan sangat rinci dan dalam skala yang lebih besar," tambah van Ewine Dishoeck, dari Observatorium Leiden, yang bekerja dengan Pontoppidan.
Untuk mempelajari kesenjangan dalam cakram debu yang ukuran Tata Surya di sekitar bintang yang terletak sampai 400 tahun cahaya adalah sebuah tantangan yang menakutkan yang memerlukan solusi cerdas dan instrumen terbaik [2].
"Pencitraan tradisional tidak dapat berharap untuk melihat rincian tentang skala jarak planet untuk benda yang terletak sangat jauh," jelas van Dishoeck. "Interferometri bisa lebih baik tetapi tidak akan memungkinkan kita untuk mengikuti gerak dari gas."
Para astronom menggunakan teknik yang dikenal sebagai 'spektrofotometri-astrometric pencitraan' untuk memberi mereka sebuah jendela ke dalam daerah bagian dalam cakram dimana planet mirip bumi mungkin membentuk. Mereka mampu tidak hanya untuk mengukur jarak sekecil sepersepuluh jarak Bumi-Matahari, tetapi untuk mengukur kecepatan gas pada saat yang sama [3].
"Konfigurasi tertentu dari instrumen dan penggunaan optik adaptif memungkinkan para astronom untuk melakukan pengamatan dengan teknik ini dalam cara yang sangat user-friendly: sebagai konsekuensinya, spektrofotometri-astrometric imaging dengan CRIRES sekarang dapat rutin dilakukan," kata anggota tim Alain Smette, dari ESO [4].
Catatan
Pontoppidan, K. M. et. al. 2008, spektrofotometri-astrometric Imaging Gas Molekuler Dalam Kesenjangan Disk protoplanet, Astrophysical Journal,, 684 1323, 10 September 2008. Anggota tim Klaus M. Pontoppidan, Geoffrey A. Blake, dan Michael J. Irlandia (California Institute of Technology, Pasadena, AS), Ewine F. van Dishoeck (Observatorium Leiden, Belanda, dan Max-Planck-Institut untuk Fisika Extraterrestrial , Garching, Jerman - MPE), Alain Smette (ESO, Chili), dan Joanna Brown (MPE).
[1] cakram sekitar seratus unit astronomi (AU - jarak rata-rata antara Bumi dan Matahari, atau 149.600.000 kilometer) di seluruh, tetapi bintang-bintang lebih dari 200 tahun cahaya (satu tahun cahaya adalah 200 000 AU). Untuk mengatasi struktur pada skala 1 AU dalam sistem ini sesuai dengan membaca pelat nomor mobil pada jarak 2000 km - kira-kira jarak dari Stockholm ke Lisbon.
[2] CRIRES, spektograf inframerah-dekat yang melekat pada teleskop ESO Sangat Besar, diberi makan dari teleskop melalui modul optik adaptif yang mengoreksi efek kabur atmosfer dan sehingga memungkinkan untuk memiliki celah yang sangat sempit dengan tinggi dispersi spektral: lebar celah adalah 0,2 detik busur dan resolusi spektral adalah 100 000. Menggunakan spektrofotometri-astrometri, resolusi spasial utama lebih baik dari 1 mili-detik busur tercapai.
[3] Inti dari teknik pencitraan spektrofotometri-astrometri bergantung pada kemampuan CRIRES untuk diposisikan sangat tepat di langit, sementara tetap mempertahankan kemampuan untuk menyebarkan cahaya ke dalam spektrum sehingga panjang gelombang perbedaan dari 1 bagian dalam 100 000 bisa terdeteksi. Lebih tepatnya, para astronom mengukur centroid ke arah spasial garis emisi spektral diselesaikan: efektif, astronom mengambil garis emisi tajam - sidik jari yang jelas dari sebuah molekul dalam gas - dan menggunakan data dari posisi celah beberapa untuk menemukan sumber-sumber khususnya emisi baris, dan karenanya untuk memetakan distribusi gas dengan presisi yang jauh lebih besar daripada yang bisa dicapai oleh pencitraan langsung. Para astronom telah memperoleh spektrum dari diskus berpusat pada panjang gelombang 4,715 mikron pada 6 sudut posisi yang berbeda.
[4] Alain Smette adalah Ilmuwan Instrumen CRIRES.
Bagaimana Memotret Bimasakti?
Gimana sih cara para astronom dalam mengambil gambar galaksi kita sendiri (galaksi bimasakti) ? Dan apakah gambar tersebut sesuai dengan kenyataanya ? Terima kasih(Dan – Kendari)
Bumi berada di dalam Tata Surya yang juga berdiam dalam galaksi yang kita kenal dengan nama Bimasakti. Tapi, pertanyaannya bagaimana para ilmuwan bisa mengetahui bentuk galaksi Bimasakti dan memotretnya kalau kita masih belum mampu menerbangkan wahana sampai ke luar Tata Surya?
Sekarang mari kita analogikan dengan mempelajari rumah kita sendiri. Bayangkan kamu berada dalam rumah yang terkunci dan kamu tak pernah bisa keluar dari rumah itu. Jadi kamu pun tidak akan tahu bagaimana bentuk rumahmu secara utuh. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa mengetahui bentuk rumahmu.
Dari dalam rumah kamu bisa mengamati setiap sisi dan sudut. Kita tahu seperti apa kira-kira bentuk temboknya, atapnya, jendelanya. Kemudian kita juga bisa melihat rumah-rumah lain dari balik jendela. Maka kita pun bisa membandingkan dengan rumah-rumah tetangga dan mencari kira-kira rumah kita mirip yang mana. Maka kemudian kita pun bisa menggambarkan seperti apa rumah kita.
Demikian juga bentuk Bimasakti. Meskipun kita tidak bisa memotret seluruh galaksi Bimasakti dari “atas”, tapi dari Bumi kita bisa melihat ke arah pusat galaksi Bimasakti untuk mengenal seperti apa bentuknya dan kemudian juga memotret sisi Bimasakti dari dalam galaksi Bimasakti itu sendiri. Kemudian kita bandingkan dengan galaksi lainnya yang kita lihat dan akhirnya bisa memprediksi seperti apa bentuknya tanpa harus keluar dari Bimasakti.
Apakah kemudian bentuk itu sesuai kenyataan? Dari pengamatan dan membandingkan Bimasakti dengan struktur galaksi lain sehingga akhirnya bisa diketahui juga kalau Bimasakti merupakan galaksi spiral. Dan kita juga punya contoh galaksi spiral lainnya sehingga bisa diperkirakan seperti apa bentuk Bimasakti.
Mengapa para ilmuwan demikian yakin? ketika kita melihat Bimasakti dari dalam, kita bisa melihat ke arah pusat galaksi yang ternyata seperti garis tipis panjang. Bentuknya mirip cakram dan bukannya ellipsoid. Bentuk “bulge” atau tonjolan pada pusat galaksi seperti ini biasanya dimiliki oleh galaksi spiral. Selain itu kecepatan gerak bintang dan gas di dalam Bimasakti menunjukkan gerak rotasi yang lebih besar dari gerak acak. Ini merupakan ciri lain dari galaksi spiral. Karena itu kita bisa mengetahui bahwa galaksi Bimasakti punya bentuk seperti galaksi spiral lainnya.
Sesuai dengan kenyataan? Paling tidak, berdasar data-data ilmiah, bisa dikatakan sesuai, the truth is, itu adalah kebenaran ilmiah, yang bisa dipertanggungjawabkan.
Dan untuk foto-foto Bimasakti yang kita lihat selama ini adalah foto-foto yang diambil dari Bumi yang bersama Matahari berada di salah satu lengan spiralnya ke arah pusat Galaksi.
____
Masa Lalu Alam Semesta Yang Suram
Pernahkah kamu bangun di suatu pagi dan melihat suasana berkabut dan suram d luar, tapi kemudian Matahari muncul dan dengan cepat menghilangkan semua? Tampaknya hal yang mirip seperti itu terjadi dialam semesta, ketika ia masih sangat muda.
Ilustrasi alam semesta ketika berusia belum genap 1 milyar tahun. kredit : ESO/M. Kornmesser
Saat bintang dan galaksi yang pertama terbentuk, alam semesta diisi oleh kabut gas hidogen yang sangat tebal yang menghentikan cahaya bintang untuk menjelajah angkasa. Foto yang ditunjukkan di atas merupakan ilustrasi artis yang digambar dengan komputer untuk menunjukkan seperti apa galaksi – galaksi yang terbentuk di awal alam semesta.
Bintang pertama di alam semesta sangatlah besar. “Sekitar 100 kali lebih masif dari Matahari,’ kata astronom Eros Vanzella. Bintang – bintang ini memancarkan cahaya ultra violet (UV) atau ultra ungu yang sangat kuat. Ingat : sinar ultra ungu adalah sinar di Matahari yang bisa membakar kita. Cahaya ultra ungu yang kuat inilah yang membakar dan membersihkan kabut sehingga cahaya bintang bisa menjelajah tanpa terhalang lagi melintasi angkasa.
Belum lama ini, astronom menggunakan teleskop bernama Very Large Telescope, yang berada di Chile, Amerika Selatan untuk melihat ke masa lalu dan mengamati sebagian galaksi yang terbentuk sejak kabut tebal itu mulai dibersihkan. (Untuk mempelajari bagaimana astronom bisa melihat galaksi di masa lalu, baca cerita Kilasan Cahaya Dari Masa Lalu)
Para astronom menyadari sesuatu yang juga mengejutkan : Dalam waktu yang singkat antara galaksi tertua dan termuda dalam proyek pengamatan mereka dilahirkan, alam semesta berada dalam kondisi yang sangat berkabut menjadi hampir bersih. “Kejadian ini terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya,” kata astronom Laura Pentericci.
Fakta menarik : Meskipun galaksi yang diamati astronom merupakan beberapa dari yang pertama kali terbentuk, mereka semua lahir ketika alam semesta berusia antara 780 juta – 970 juta tahun! Tapi karena alam semesta ini berusia 13,7 milyar tahun, maka usia yang masih belum mencapai 1 milyar tahun itu merupakan usia ketika alam semesta masih bayi!
Sumber : Space Scoop Universe Awareness
Planet Raksasa di Tata Surya
Tata Surya atau sebuah sistem keplanetan dengan Sang Surya sebagai bintang induknya. Di dalam sistem tersebut, Matahari dikelilingi planet-planet yang menyertainya. Planet-planet di Tata Surya itu sendiri terbagi atas 2 kelompok besar yakni planet kebumian (Merkurius, Venus, Bumi dan Mars) dan planet raksasa yang terdiri dari planet-planet gas seperti Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus.
Planet raksasa di Tata Surya.
Di Tata Surya, Massa Matahari mengisi 99,8% keseluruhan massa sistem, sehingga massa total seluruh planet, asteroid dll hanya 0,2 %. Nah bisa dibayangkan betapa raksasanya si Matahari dibanding planet yang mengelilinginya. Dan dari kedelapan planet yang mengelilingi Sang Surya, Jupiter yang merupakan planet terbesar memiliki massa 2 kali lebih besar dari massa gabungan seluruh planet lainnya, yakni lebih dari 300 kali massa Bumi (massa Bumi 5,9 x 1024 kg). Dari gambaran tersebut bisa dikatakan Tata Surya itu terdiri dari Matahari, Jupiter dan serpihan-serpihan batuan dan gas.
Serpihan terbesar di antara planet-planet tersebut adalah Saturnus dengan massa hampir 10 massa Bumi. Sama seperti Jupiter, Saturnus juga merupakan planet gas yang tersusun oleh hidrogen dan helium. Kedua planet memiliki inti elemen berat dengan massa lebih dari 10 massa Bumi.Planet gas raksasa lainnya adalah Neptunus dan Uranus yang memiliki massa sekitar 1/6 massa Saturnus. Walau tergolong planet raksasa, kedua planet ini memiliki komposisi yang sedikit berbeda dari Jupiter dan Saturnus. Kalau Jupiter dan Saturnus didominasi oleh hidrogen dan helium, Uranus dan Neptunus justru didominasi oleh air (H2O) dan amonia (NH3), metana (CH4) dan batuan, silikat dan logam yang terkondensasi pada suhu tinggi, dan dilapisi di bagian atas oleh atmosfer yang didominasi oleh H-He sekitar (1-4 massa bumi).
Keempat planet besar tersebut dikenal juga sebagai planet raksasa dengan Jupiter dan Saturnus sebagai planet gas raksasa dan Uranus Neptunus merupakan planet es raksasa. Radius Jupiter dan Saturnus yang berada pada jarak 5 SA dan 10 SA, adalah ~70000km dan 60000 km smentara Uranus dan Neptunus hanya sekitar 25000 km. Meskipun disebut planet es raksasa, es di Uranus dan Neptunus yang berada pada jarak 20SA dan 30SA sebenarnya dalam kondisi cair dan tidak padat.
Planet gas raksasa Jupiter dan Saturnus, disertai Planet es raksasa Uranus dan Neptunus. kredit : NASA
Planet-planet raksasa ini ternyata tak sendirian saat mengembara mengelilingi Matahari. Mereka disertai oleh satelit-satelit dalam jumlah yang cukup banyak. Jupiter saat ini diketahui memiliki 63 satelit, dengan 4 satelit terbesar yang dikenal sebagai Satelit Galilean yakni Io, Europa, Ganymede dan Callisto. Europa bahkan diperkirakan memiliki air dalam kondisi cair yang jadi salah satu indikasi adanya kehidupan. Di antara seluruh satelit, 47 diantaranya merupakan satelit kecil dengan diameter kurang dari 10 km.
Di Saturnus terdapat 61 satelit, dengan 34 satelit berdiameter < 10km dan 14 satelit berdiameter < 50km. Dari keseluruhan satelit, hanya 7 satelit yang cukup masif hingga mengalami keruntuhan dan mencapai kesetimbangan hidrostatik akibat gravitasinya. Satelit terbesar Saturnus, Titan memiliki atmosfer dan lautan metana. Titan juga diperkirakan memiliki kemiripan dengan Bumi purba.
Satelit di Uranus saat ini ada 27 buah, dengan Miranda, Ariel, Umbriel, Titania dan Oberon sebagai satelit terbesar di planet tersebut. Massa total kelima satelit ini hanya mencapai setengah dari massa Triton, satelit milik Neptunus yang juga merupakan satu-satunya satelit yang memiliki gerak retrograde (gerak berbalik). Gerak Triton membuktikan kalau ia ditangkap oleh orbit Neptunus dan bukan terbentuk di orbit tersebut. Neptunus yang memiliki 13 satelit ini diperkirakan menangkap Triton saat satelit yang diperkirakan dulunya adalah planet katai ini melintas terlalu dekat dengan Neptunus.
Jika orang berpikir bahwa hanya Saturnus yang memiliki cincin, maka itu adalah hal yang salah. Keempat planet gas di Tata Surya memiliki cincin yang mengitari tubuhnya. Saat ini keempat planet ini memang masih didominasi oleh gas namun suatu hari ketika Matahari berevolusi bisa jadi keempat planet ini akan berevolusi juga menjadi planet kebumian yang bisa dihuni.
Di Balik Redupnya Cincin Jupiter
Di malam yang cerah, kita memang bisa melihat Jupiter dan satelit-satelitnya berdansa di angkasa. Namun sayangnya keindahan cincin Jupiter tak bisa kita nikmati menggunakan teleskop. Tidak seperti cincin Saturnus memang yang terlihat jelas dari Bumi dengan teleskop kecil sekalipun. Cincin Jupiter memiliki beberapa komponen antara lain cincin halo, cincin utama dan cincin gossamer.
Cincin Halo merupakan bagian terdalam berupa awan tebal yang berada pada jarak 92 000 km – 122 500 km dari inti Jupiter. Bagian halo ini mengalami peningkatan inklinasi akibat interaksi dengan bidang magnet Jupiter. Komponen berikutnya adalah cincin utama yang lebih tipis dan sempit berada pada jarak 122500 km – 128940 km dari pusat Jupiter dengan ketebalan 30 km dari atas ke bawah. Pada bagian ini terdapat juga partikel-partikel besar yang mengisi bagian cincinnya.
Sistem cincin Jupiter. Orbit satelit-satelit dalam ditandai dalam gambar tersebut. Kredit : NASA/JPL/Cornell UniversityKomponen terakhir dari cincin Jupiter adalah cincin Gossamer yang redup dan terbagi atas dua bagian yakni Cincin Almathea (yang dekat ke Jupiter) dan Cincin Thebe. Cincin Almathea dimulai dari satelit Almathea ke bagian dalam Jupiter pada jarak 181000 km dan memiliki kecerlangan seragam. Sedangkan cincin Thebe yang berada di bagian terluar sampai dengan cincin Almathea berada pada jarak 222000 km dari Jupiter. Cincin ini lebih redup namun juga lebih tebal dibanding Cincin Almathea, namun jika dilihat dari citra resolusi tinggi yang diambil oleh Galileo, tepi atas dan bawah cincin Thebe akan terlihat lebih terang dibanding bagian pusatnya.
Cincin Jupiter memang redup jika dibandingkan dengan cincin Saturnus dan ia terbentuk dari materi yang gelap kemerah-merahan. Artinya, materi pembentuk cincin bukanlah es seperti di Saturnus melainkan batuan dan pecahan-pecahan debu. Citra yang diambil Voyager 2 menunjukan partikel pembentuk cincin sangatlah kecil dengan diameter hanya sekitar 10 mikrometer atau kurang dari itu. Bisa dikatakan partikel-partikel dalam cincin itu tak lebih besar dari partikel asap rokok atau debu rumah. Di bagian atas dan bawah cincin, terbentang awan partikel, medan elektrostatis yang terdorong keluar dari cincin oleh medan magnet Jupiter.
Jika dilihat dari letaknya, cincin Jupiter berada dalam batas Roche, sangat dekat dengan planet itu sendiri. Pada area ini satelit yang ada akan hancur akibat gaya gravitasi planet. Ini mengindikasikan kalau cincin Jupiter terbentuk dari satelit yang gagal. Selain itu, hasil pengamatan pesawat ruang angkasa Galileo juga menunjukan debu yang membentuk cincin berasal meteor yang menghantam permukaan satelit Jupiter. Selama 7 tahun perjalanannya, Galileo berhasil mendata ribuan tabrakan partikel dalam cincin Jupiter dari tahun 2002-2003.
Mengendus Keberadaan Planet di Piringan Bintang Muda
Astronom saat ini bisa mempelajari piringan pembentuk planet disekitar bintang muda yang serupa Matahari, yang dengan jelas memperlihatkan gerak dan distribusi gas pada bagian dalam piringan. Hasilnya diperkirakan bisa mendeteksi keberadaan planet raksasa. Semua ini dimungkinkan dengan menggunakan metode pengamatan dari Very Large Telescope (VLT) milik ESO.
Planet merupakan rumah bagi terbentuknya kehidupan, karena itu penelitian pada planet extrasolar menjadi salah satu komponen penting untuk bisa mengungkap misteri kehidupan tersebut. Lebih dari 300 planet telah diketahui mengorbit bintang selain Matahari, dan tak bisa dipungkiri dunia baru yang ditemukan itu memiliki perbedaan-perbedaan yang menakjubkan dalam karakteristiknya, sekaligus menantang manusia untuk mengungkapnya. Namun, tidak berarti astronom hanya melihat dan mencari pada sistem dimana planet sudah tersebentuk. Mereka juga mencari dan mendapatkan pemahaman baru dengan mempelajari piringan disekitar bintang muda dimana planet akan terbentuk. Ini seperti kita pergi menjelajah waktu 4,6 milyar tahun lalu ke masa pembentukan Tata Surya.
Klau Pontoppidan dan teman-temannya menganalisis 3 bintang yang analog dengan Matahari yang sekelilingnya memiliki piringan gas dan debu yang merupakan pabrik terbentuknya planet. Ketiga piringan tersebut baru berusia beberapa juta tahun dan diketahui memiliki gap atau lubang di dalamnya. gap atau lubang tersebut mengindikasikan area dimana debu telah bersih dan kemungkinannya telah terbentuk planet muda.
Hasil tersebut tidak saja mengkonfirmasikan kalau gas memang ada di dalam gap dalam debu, namun juga memungkinkan astronom untuk mengukur bagaimana gas terdistribusi di dalam piringan dan orientasi piringannya. Dalam area yang sebunya sudah tersapu bersih, gas molekul masih sangat tinggi kelimpahannya. Ini bisa memberikan kesimpulan kalau debu tersebut menggumpal dan membentuk emrio planet, atau planet telah terbentuk dan sedang dalam proses membersihkan gas di dalam piringan.
Salah satu bintang yang diamati, SR 21, diperkirakan memiliki planet raksasa masif yang mengorbit bintang pada jarak kurang lebih 3,5 kali jarak Bumi – Matahari. Bintang kedua, HD 135344B, kemungkinannya memiliki planet yang mengorbit pada jarak 10-20 kali jarak Bumi-Matahari. Sedangkan observasi pada bintang ke-3, TW Hydrae juga memperlihatkan kemungkinan adanya 1 atau 2 planet yang mengorbit.
Observasi yang dilakukan menggunakan instrumen CRIRES pada VLT milik ESO berhasil mengungkap piringan ketiga bintang muda, yang memiliki bintang sekelas Matahari sebagai induknya. Ketiganya menunjukan adanya perbedaan yang akan membawa mereka memiliki sistem planet yang juga berbeda. “Yang pasti alam semesta tidak akan mengulang hal yang sama dan memiliki sesuatu yang sama persis”, simpul Pontoppidan.
Pengamatan seperti ini akan menjadi pelengkap dari kerja masa depan observatorium ALMA yang akan memotret piringan tersebut dengan lebih detil dalam skala yang lebih besar.
Untuk mempelajari gaps atau lubang dalam piringan debu yang seukuran Tata Surya disekitar bintang yang berada pada jarak 400 tahun cahaya, para astronom menggunakan teknik pencitraan spektro-astrometrik. Teknik ini memberi kesempatan bagi para astronom unuk melongok ke area bagian dalam piringan, tempat dimana planet mirip Bumi mungkin saja terbentuk. Dengan demikian, para astronom tak hanya bisa mengukur jarak sekecil 1/10 jarak Bumi-Matahari namun juga bisa mengukur kecepatan gas di saat yang sama.
Bintang Termasif, Rekor Baru Penemuan Bintang
Bintang paling masif yang diketahui saat ini berhasil ditemukan para astronom dengan menggunakan gabungan instrumen yang ada di Very Large Telescope milik ESO. Massanya sekitar 300 kali lebih besar dari Matahari atau 2 kali lebih besar dari batas massa bintang terbesar saat ini yakni 150 massa Matahari.
Keberadaan monster yang jutaan kali lebih terang dari Matahari ini bisa menjadi pintu untuk menjawab seberapa masifkah sebuah bintang? Monster ini pun hanya bisa kehilangan massanya dalam angin bintang yang luar biasa kuat.
Penemuan tersebut terjadi berkat kerjasama para peneliti yang dipimpin oleh Paul Crowther, Professor Astrofisika di University of Sheffield, bersama rekan-rekannya Richard J. Parker, dan Simon P. Goodwin (University of Sheffield, UK), Olivier Schnurr (University of Sheffield and Astrophysikalisches Institut Potsdam, Germany), Raphael Hirschi (Keele University, UK), dan Norhasliza Yusof and Hasan Abu Kassim (University of Malaya, Malaysia). Yang menarik, 2 peneliti terakhir merupakan astronom dari negara tetangga kita Malaysia.
Menguak Cerita di Balik Gugus Bintang Muda
Tim ini menggunakan Very Large Telescope (VLT) milik ESO serta arsip data dari NASA/ESA Hubble Space Telescope untuk mempelajari 2 gugus bintang muda, NGC 3603 dan RMC 136a secara detil.
Tim ini menggunakan Very Large Telescope (VLT) milik ESO serta arsip data dari NASA/ESA Hubble Space Telescope untuk mempelajari 2 gugus bintang muda, NGC 3603 dan RMC 136a secara detil.
NGC 3603 merupakan pabrik kosmik dimana bintang-bintang terbentuk dari perluasan awan gas dan debu nebula yang berlokasi 22 000 tahun cahaya dari Matahari. Sedangkan RMC 136a (atau yang lebih dikenal sebagai R136) merupakan gugus muda lainnya yang berisi bintang panas dan masif dan berada di awan Magellan Besar, 165 000 tahun cahaya jauhnya.
Dalam pengamatannya, tim menemukan beberapa bintang yang memiliki temperatur permukaan 40000 derajat K atau lebih panas 7 kali dari Matahari serta beberapa puluh kali lebih besar dari Matahari dengan kecerlangan jutaan kali lebih terang.
Bintang Masif Raksasa
Perbandingan dengan model yang menyiratkan bahwa beberapa dari bintang yang dilihat ini lahir dengan massa lebih dari 150 massa Matahari. Bintang R136a1 yang ditemukan di gugus R136 menjadi bintang paling masif yang pernah ditemukan sampai saat ini dengan massa sekitar 265 massa Matahari dan massa saat lahir sekitar 320 kali Matahari.
Bintang Masif Raksasa
Perbandingan dengan model yang menyiratkan bahwa beberapa dari bintang yang dilihat ini lahir dengan massa lebih dari 150 massa Matahari. Bintang R136a1 yang ditemukan di gugus R136 menjadi bintang paling masif yang pernah ditemukan sampai saat ini dengan massa sekitar 265 massa Matahari dan massa saat lahir sekitar 320 kali Matahari.
Perbandingan bintang dari yang terkecil sampai yang paling besar yang ditemukan saat ini. Kredit : ESO/M. Kornmesser
Di NGC 3603, para astronom juga bisa menentukan massa dua buah bintang dari sistem bintang gandasecara langsung, sebagai validasi model yang digunakan. Bintang A1, B dan C di gugus ini diperkirakan memiliki massa saat lahir mendekati 150 massa Matahari.
Pada bintang R136a1, bintang paling masif yang pernah ditemukan, ternyata bukan massanya saja yang luar biasa besar. Kecerlangannya pun sangat besar, hampir mencapai 10 juta kali lebih terang dari Matahari. Dan tentunya ini sebuah rekor baru dalam dunia bintang.. untuk bisa menemukan bintang langka seperti ini.
Bintang yang sangat masif jelas akan menghasilkan aliran yang sangat kuat. Tak seperti manusia, bintang justru sangat berat saat lahir dan akan mulai kehilangan massa saat usia mereka bertambah. Saat berusia lebih sedikit dari 1 juta tahun, maka bintang yang paling ekstrim R136a1 sudah memasuki usia pertengahan dan sudah mengalami kehilangan berat sekitar 1/5 dari massa awal atau lebih dari 50 massa Matahari. Oh wow… diet panjang yang bisa memberi kehilangan massa yang cukup signifikan. Dan kehilangan berat aka diet ini dilalui dengan melepaskan massa dalam angin bintang yang sangat kuat.
Sekarang, bagaimana kalau sejenak kita berandai-andai. Seandainya R136a1 ini menggantikan Matahari diTata Surya, maka ia akan bersinar lebih kuat dari Matahari, ibarat Matahari jauh lebih terag dari bulan purnama. Dengan massa yang sedemikian besar di R136a1 akan mengurangi panjang satu tahun di Bumi menjadi 3 minggu. Bayangkan.. setahun hanya 3 minggu!. Tak hanya itu, Bumi juga akan bermandikan sinar ultra ungu yang luar biasa kuat dari bintang R136a1. Akibatnya? Kehidupan tak akan mungkin tumbuh dan bertahan di Bumi.
Bintang yang super berat ini tentunya merupakan bintang yang sangat langka, terbentuk dalam gugus bintang yang sangat rapat. Untuk bisa membedakan bintang-bintang individu dalam gugus membutuhkan instrumen inframerah dari VLT yang memiliki kemampuan memisahkan yang sangat tinggi.
Bintang Masif di Gugus R136
Tim juga melakukan perhitungan kemungkinan massa maksimum yang ada di dalam gugus tersebut dan perkiraan jumlah relatif bintang yang amat sangat masif. Hasil perhitungan menunjukkan bintang terkecil memiliki batas massa lebih dari 80 kali massa Jupiter. Dan jika ada bintang yang massanya di bawah massa tersebut maka ia akan menjadi bintang gagal atau yang dikenal sebagai katai coklat. Sementara batas tertinggi yang mungkin ada justru melampaui batas yang diketahui sebelumnya dengan faktor 2 atau pada kisaran 300 massa Matahari.
Tim juga melakukan perhitungan kemungkinan massa maksimum yang ada di dalam gugus tersebut dan perkiraan jumlah relatif bintang yang amat sangat masif. Hasil perhitungan menunjukkan bintang terkecil memiliki batas massa lebih dari 80 kali massa Jupiter. Dan jika ada bintang yang massanya di bawah massa tersebut maka ia akan menjadi bintang gagal atau yang dikenal sebagai katai coklat. Sementara batas tertinggi yang mungkin ada justru melampaui batas yang diketahui sebelumnya dengan faktor 2 atau pada kisaran 300 massa Matahari.
Di dalam gugus R136, hanya ada 4 bintang yang beratnya melebihi 150 massa Matahari saat lahir dan saat ini mereka terhitung sebagai penghasil setengah angin bintang dan sebagai kekuatan radiasi di seluruh gugus bintang dari sekitar 100 000 bintang di gugus tersebut. Bintang R136a1 sendiri bisa memberikan energi pada lingkungan sekitarnya hampir 50 kali lebih kuat dibanding gugus Nebula Orion. Nebula Orion merupakan area terdekat dari Bumi untuk lokasi pembentukan bintang masif.
Bintang dengan massa sedemikian besar tentunya memiliki waktu hidup yang singkat dan punya angin bintang yang sangat kuat. Pemahaman ini tentunya menimbulkan pertanyaan dan keingintahuan serta tantangan pada para pembuat teori. Apakah bintang jenis ini lahir dalam kondisi super raksasa atau ini merupakan gabungan bintang-bintang yang kecil.
Mencari Cerita Baru Lewat Kematian Bintang Masif
Nasib akhir bintang yang massanya 8 – 150 massa Matahari adalah sebuah ledakan besar yang dikenal sebagai ledakan bintang aka supernova. Dan saat meledak, bintang-bintang tersebut akan meninggalkan reruntuhan yang tak kalah eksotis yakni bintang netron atau lubang hitam.
Nasib akhir bintang yang massanya 8 – 150 massa Matahari adalah sebuah ledakan besar yang dikenal sebagai ledakan bintang aka supernova. Dan saat meledak, bintang-bintang tersebut akan meninggalkan reruntuhan yang tak kalah eksotis yakni bintang netron atau lubang hitam.
Dengan mengetahui keberadaan bintang bermassa 150 – 300 massa Matahari, keingintahuan para astronom pun semakin ditantang untuk mencari kemungkinan keberadaan pasangan supernova yang tidak stabil yang luar biasa terang. Pasangan supernova yang tidak stabil ini akan meledakan diri mereka secara terpisah, dan tidak meninggalkan sisa atau reruntuhan apapun serta menyebarkan besi sampai 10 massa matahari ke area disekelilingnya. Beberapa tahun terakhir ini, kandidat untuk ledakan seperti itu sudah pernah diajukan. Jadi tantangan untuk benar-benar menemukan pasangan supernova yang tidak stabil merupakan sebuah petualangan baru yang tentunya tak kalah menarik
Mari Membuat Teleskop Sederhana
Banyak orang berpikir untuk dapat menjadi seorang astronom haruslah memiliki “ilmunya”, bahkan harus memiliki sebuah teleskop sebagai “mata” kedua yang digunakan untuk “berpatroli” langit. Tetapi untuk bisa mendapatkan teleskop di Indonesia masih cukup sulit. Kalau pun ada, harganya yang melambung tinggi dapat membuat kita berpikir 100x untuk membelinya…..
Nah, alternatif lainnya, bagaimana jika kita mencoba MEMBUAT-nya?……..
Dalam tulisan ini kita akan membahas tentang pembuatan teleskop refraktor. Untuk bisa membuat sebuah teleskop refraktor, bisa dikatakan gampang–gampang susah karena tidak mudah bagi kita untuk mendapatkan lensa dengan kualitas yang baik dan bagus, serta focus yang panjang. Tapi semua itu bukanlah masalah yang membuat kita mundur dan berhenti mencoba.
Untuk itu kita bisa menggunakan lensa LUP untuk membuat teleskop sederhana buatan sendiri. Tetapi alangkah baiknya lensa yang akan digunakan memiliki panjang focus maksimal 30cm. Karena di Indonesia lensa dengan panjang fokus > 30 cm masih sangat sulit untuk didapatkan.
Untuk lebih jelasnya berikut daftar nama bahan – bahan dan peralatan yang dibutuhkan :
- Lensa objektif LUP (kaca pembesar)/lensa cembung praktikum (biasa dijual di toko alat laboratorium)
- Pipa PVC dan perlup (sambungan pipa)
- Perkakas
- Lensa okuler (bisa menggunakan lensa binokuler atau lensa mikroskop) / bisa juga dengan membeli lensa di toko alat laboratorium dengan diameter 2,5 cm.
Sebelum kita mulai membuat, kita sediakan dahulu bahan bahan serta alat yang akan digunakan seperti yang ada diatas.
Langkah Pembuatan :
- Tentukan panjang badan teleskop dahulu. Dengan rumus fisika yang sudah kita ketahui yaitu : fob + fok = L
- Potong pipa PVC yang panjangnya sudah diketahui
- Letakkan lensa objektif kedalam sambungan pipa, lalu sambungkan sambungan pipa yang sudah berisi lensa tadi diujung paling depan pipa PVC yang udah diukur. Ingat lensa objektif selalu terletak didepan lensa okuler.
- Pasangkan perlup diujung paling belakang pipa
- Letakkan lensa okuler diperlupnya
Nah…..gampangkan membuatnya? Dari semua bahan diatas, yang lumayan sulit dicari adalah lensa okuler. Tetapi kita dapat mengambilnya dari lensa binocular, atau mikroskop (asal jangan “nyolong” punya sekolah ajah hehehehehe….). Tapi untuk lensa okuler bisa juga didapatkan di toko alat laboratorium dengan ukuran diameter 2,5 cm. Kisaran total untuk harga lensa objektif dan okuler jika dibeli di toko alat laboratorium bisa mencapai ± Rp. 75.000,- s.d Rp. 100.00,-.
_____
Modul pembuatan teleskop ini dibuat oleh Iqbal Malik dan Haikal Hakim. Keduanya aktif terlibat dalam Pembuatan Teleskop Amatir (Amateur Telescope Making) dan pembuatan roket air.
Modul pembuatan teleskop ini dibuat oleh Iqbal Malik dan Haikal Hakim. Keduanya aktif terlibat dalam Pembuatan Teleskop Amatir (Amateur Telescope Making) dan pembuatan roket air.
Planet X Bukan Planet Nibiru
Bagian luar Tata Surya masih memiliki banyak planet-planet minor yang belum ditemukan. Sejak pencarianPlanet X dimulai pada awal abad ke 20, kemungkinan akan adanya planet hipotetis yang mengorbit Mataharidi balik Sabuk Kuiper telah membakar teori-teori Kiamat dan spekulasi bahwa Planet X sebenarnya merupakan saudara Matahari kita yang telah lama “hilang”. Tetapi, mengapa kita harus cemas duluan akan Planet X/Teori Kiamat ini? Planet X kan tidak lain hanya merupakan obyek hipotetis yang tidak diketahui?
Teori-teori ini didorong pula dengan adanya ramalan suku Maya akan kiamat dunia pada tahun 2012 (Mayan Prophecy) dan cerita mistis Bangsa Sumeria tentang Planet Nibiru, dan akhirnya kini memanas sebagai “ramalan kiamat” 21 Desember 2012. Namun, bukti-bukti astronomis yang digunakan untuk teori-teori ini benar-benar melenceng.
Pada 18 Juni kemarin, peneliti-peneliti Jepang mengumumkan berita bahwa pencarian teoretis mereka untuk sebuah massa besar di luar Tata Surya kita telah membuahkan hasil. Dari perhitungan mereka, mungkin saja terdapat sebuah planet yang sedikit lebih besar daripada sebuah objek Plutoid atau planet kerdil, tetapi tentu lebih kecil dari Bumi, yang mengorbit Matahari dengan jarak lebih dari 100 SA. Tetapi, sebelum kita terhanyut pada penemuan ini, planet ini bukan Nibiru, dan bukan pula bukti akan berakhirnya dunia ini pada 2012. Penemuan ini adalah penemuan baru dan merupakan perkembangan yang sangat menarik dalam pencarian planet-planet minor di balik Sabuk Kuiper.
Dalam simulasi teoretis, dua orang peneliti Jepang telah menyimpulkan bahwa bagian paling luar dari Tata Surya kita mungkin mengandung planet yang belum ditemukan. Patryk Lykawa dan Tadashi Mukai dari Universitas Kobe telah mempublikasikan paper mereka dalam Astrophysical Journal. Paper mereka menjelaskan tentang planet minor yang mereka yakini berinteraksi dengan Sabuk Kuiper yang misterius itu.
Kuiper Belt Objects (KBOs)
Sabuk Kuiper menempati wilayah yang sangat luas di Tata Surya kita, kira-kira 30-50 SA dari Matahari, dan mengandung sejumlah besar objek-objek batuan dan metalik. Objek terbesar yang diketahui adalah planet kerdil (Plutoid) Eris. Telah lama diketahui, Sabuk Kuiper memiliki karakteristik yang aneh, yang mungkin menandakan keberadaan sebuah benda (planet) besar yang mengorbit Matahari dibalik Sabuk Kuiper. Salah satu karakterikstik tersebut adalah yang disebut dengan “Kuiper Cliff” atau Jurang Kuiper yang terdapat pada jarak 50 SA. Ini merupakan akhir dari Sabuk Kuiper yang tiba-tiba, dan sangat sedikit objek Sabuk Kuiper yang telah dapat diamati di balik titik ini. Jurang ini tidak dapat dihubungkan terhadap resonansi orbital dengan planet-planet masif seperti Neptunus, dan tampaknya tidak terjadi kesalahan (error) pengamatan. Banyak ahli astronomi percaya bahwa akhir yang tiba-tiba dalam populasi Sabuk Kuiper tersebut dapat disebabkan oleh planet yang belum ditemukan, yang mungkin sebesar Bumi. Objek inilah yang diyakini Lykawka dan Mukai, dan telah mereka perhitungkan keberadaannya.
Para peneliti Jepang ini memprediksikan sebuah objek besar, yang massanya 30-70 % massa Bumi, mengorbit Matahari pada jarak 100-200 SA. Objek ini mungkin juga dapat membantu menjelaskan mengapa sebagian objek Sabuk Kuiper dan objek Trans-Neptunian (TNO) memiliki beberapa karakteristik orbital yang aneh, contohnya Sedna.
Sejak ditemukannya Pluto pada tahun 1930, para astronom telah mencari objek lain yang lebih masif, yang dapat menjelaskan gangguan orbital yang diamati pada orbit Neptunus dan Uranus. Pencarian ini dikenal sebagai “Pencarian Planet X”, yang diartikan secara harfiah sebagai “pencarian planet yang belum teridentifikasi”. Pada tahun 1980an gangguan orbital ini dianggap sebagai kesalahan (error) pengamatan. Oleh karena itu, pencarian ilmiah akan Planet X dewasa ini adalah pencarian untuk objek Sabuk Kuiper yang besar, atau pencarian planet minor. Meskipun Planet X mungkin tidak akan sebesar massa Bumi, para peneliti masih akan tetap tertarik untuk mencari objek-objek Kuiper lain, yang mungkin seukuran Plutoid, mungkin juga sedikit lebih besar, tetapi tidak terlalu besar.
“The interesting thing for me is the suggestion of the kinds of very interesting objects that may yet await discovery in the outer solar system. We are still scratching the edges of that region of the solar system, and I expect many surprises await us with the future deeper surveys.” – Mark Sykes, Direktur Planetary Science Institute (PSI) di Arizona.
Planet X Tidaklah Menakutkan
Jadi, dari mana Nibiru ini berasal? Pada tahun 1976, sebuah buku kontroversial berjudul The Twelfth Planetatau Planet Kedua belas ditulis oleh Zecharian Sitchin. Sitchin telah menerjemahkan tulisan-tulisan kuno Sumeria yang berbentuk baji (bentuk tulisan yang diketahui paling kuno). Tulisan berumur 6.000 tahun ini mengungkapkan bahwa ras alien yang dikenal sebagai Anunnaki dari planet yang disebut Nibiru, mendarat di Bumi. Ringkas cerita, Anunnaki memodifikasi gen primata di Bumi untuk menciptakan homo sapiens sebagai budak mereka.
Jadi, dari mana Nibiru ini berasal? Pada tahun 1976, sebuah buku kontroversial berjudul The Twelfth Planetatau Planet Kedua belas ditulis oleh Zecharian Sitchin. Sitchin telah menerjemahkan tulisan-tulisan kuno Sumeria yang berbentuk baji (bentuk tulisan yang diketahui paling kuno). Tulisan berumur 6.000 tahun ini mengungkapkan bahwa ras alien yang dikenal sebagai Anunnaki dari planet yang disebut Nibiru, mendarat di Bumi. Ringkas cerita, Anunnaki memodifikasi gen primata di Bumi untuk menciptakan homo sapiens sebagai budak mereka.
Ketika Anunnaki meninggalkan Bumi, mereka membiarkan kita memerintah Bumi ini hingga saatnya mereka kembali nanti. Semua ini mungkin tampak sedikit fantastis, dan mungkin juga sedikit terlalu detail jika mengingat semua ini merupakan terjemahan harfiah dari suatu tulisan kuno berusia 6.000 tahun. Pekerjaan Sitchin ini telah diabaikan oleh komunitas ilmiah sebagaimana metode interpretasinya dianggap imajinatif. Meskipun demikian, banyak juga yang mendengar Sitchin, dan meyakini bahwa Nibiru (dengan orbitnya yang sangat eksentrik dalam mengelilingi Matahari) akan kembali, mungkin pada tahun 2012 untuk menyebabkan semua kehancuran dan terror-teror di Bumi ini. Dari “penemuan” astronomis yang meragukan inilah hipotesis Kiamat 2012 Planet X didasarkan. Lalu, bagaimanakah Planet X dianggap sebagai perwujudan dari Nibiru?
Kemudian terdapat juga “penemuan katai coklat di luar Tata Surya kita” dari IRAS pada tahun 1984 dan “pengumuman NASA akan planet bermassa 4-8 massa Bumi yang sedang menuju Bumi” pada tahun 1933. Para pendukung hipotesis kiamat ini bergantung pada penemuan astronomis tersebut, sebagai bukti bahwa Nibiru sebenarnya adalah Planet X yang telah lama dicari para astronom selama abad ini. Tidak hanya itu, dengan memanipulasi fakta-fakta tentang penelitian-penelitian ilmiah, mereka “membuktikan” bahwa Nibiru sedang menuju kita (Bumi), dan pada tahun 2012, benda masif ini akan memasuki bagian dalam Tata Surya kita, menyebabkan gangguan gravitasi.
Dalam pendefinisian yang paling murni, Planet X adalah planet yang belum diketahui, yang mungkin secara teoretis mengorbit Matahari jauh di balik Sabuk Kuiper. Jika penemuan beberapa hari lalu memang akhirnya mengarah pada pengamatan sebuah planet atau Plutoid, maka hal ini akan menjadi penemuan luar biasa yang membantu kita memahami evol
Bagaimana Bentuk Jagad Raya?Saya Mau Tanya !
1. Bagaimanakah Bentuk Jagad Raya ?
2. Apa benar Jagad Raya Mengembang ? Jika Ya !
3..Apakah Ada Ruang Lain Di Luar Jagad Raya Kita ?
(DhiKaiceZ – SMAN 1 Sungguminasa – Makassar)
Yang ingin tahu bentuk Jagad Raya atau Alam Semesta ini bukan cuma kamu loh. Para astronom pun ingin tahu seperti apa alam semesta kita ini.
Berdasarkan pengamatan, dalam skala besar, alam semesta berada dalam keadaan homogen dan isotropi serta pengamat tidak berada pada posisi yang istimewa di alam semesta. Homogen memberi arti dimanapun pengamat berada di alam semesta ia akan mengamati hal yang sama. Sedangkan isotropi artinya ke arah manapun pengamat memandang ia akan melihat hal yang sama. Dengan demikian tidak ada tempat istimewa di alam semesta. Model ini menyatakan bahwa alam semesta seharusnya mengembang dalam jangka waktu berhingga, dimulai dari keadaan yang sangat panas dan padat.
Nasib alam semesta sendiri ditentukan oleh pertarungan antara momentum pemuaian dan gaya tarikgravitasi. Laju pemuaian alam semesta ini dinyatakan oleh konstanta Hubble H0, sedangkan besarnya gravitasi ditentukan oleh kerapatan dan tekanan materi di alam semesta. Jika tekanan materi rendah, seperti halnya terjadi pada sebagian besar bentuk materi, maka nasib alam semesta akan ditentukan oleh kerapatan. Nilai kerapatan sangat berperan penting untuk menentukan bentuk alam semesta jika dibandingkan dengan kerapatan kritis. Apakah kerapatan alam semesta lebih besar, sama atau kurang dari kerapatan kritis akan ikut menentukan nasib alam semesta.
Ada tiga kemungkinan umum dari “bentuk alam semesta”.
Tiga model solusi untuk alam semesta. Kredit : NASA
Pertama, alam semesta seperti balon. Alam semesta akan memiliki kurvatur positif seperti bola. Untuk kasus seperti ini para astronom menyebutkan alam semesta tertutup yang artinya, alam semesta akan memiliki ukuran terbatas tapi tidak memiliki batasan. Sama seperti balon yang sebenarnya ukurannya terbatas tapi kamu bisa meniupnya sampai sebesar yang kamu suka. Seandainya kamu mengendarai pesawat luar angkasa sejauh mungkin ke satu arah maka kamu akan menemukan dirimu kembali pada titik yang sama. Dalam alam semesta tertutup, kerapatan alam semesta lebih besar dari kerapatan kritis sehingga suatu saat alam semesta akan berhenti mengembang dan kemudian mengalami keruntuhan terhadap dirinya sendiri yang disebut Big Cruch.
Kemungkinan kedua adalah alam semesta datar yang memiliki kurvatur nol. Alam semesta ini seperti sepotong kertas atau bisa digambarkan juga seperti potongan bahan balon yang bisa ditarik. Dalam alam semesta datar, kerapatan alam semesta sama dengan kerapatan kritis. Tapi tidak berarti alam semesta ini tidak bisa memuai. Alam semesta datar juga bisa memuai selamanya tapi laju pemuaiannya mendekati nol.
Kemungkinan ketiga adalah alam semesta terbuka atau alam semesta yang memiliki kurvatur negatif. Kalau digambarkan ia akan tampak seperti bentuk pelana. Pada alam semesta terbuka, kerapatan alam semesta lebih kecil dari kerapatan kritisnya dan alam semesta akan memuai selamanya dan yang menarik, laju pemuaiannya tidak akan pernah mendekati nol.
Dari ketiga model tersebut mana yang mendekati?
Wahana WMAP (Wilkinson Microwave Anisotropy Probe) yang memetakan alam semesta menunjukkan semesta kita memiliki model alam semesta datar.
Wahana WMAP (Wilkinson Microwave Anisotropy Probe) yang memetakan alam semesta menunjukkan semesta kita memiliki model alam semesta datar.
Hasil pengamatan juga menunjukkan kalau alam semesta memuai dipercepat dengan area terluar bergerak menjauh dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Tapi bukankah dalam alam semesta datar laju pemuaiannya mendekati nol?
Alam semesta datar memang bisa memuai selamanya tapi tidak dengan kecepatan seperti itu. Karena itu para astronom menduga keberadaan energi gelap yang mendorong galaksi untuk saling menjauh.
Ada apa di luar alam semesta ?
Jawabannya tidak diketahui ada apa di luar alam semesta. Tapi perlu diingat, ruang dan waktu dimulai ketika terjadi Dentuman Besar aka Big Bang karena itu tidak ada apapun sebelum Big Bang. Artinya tidak ada apapun di luar alam semesta.
Jawabannya tidak diketahui ada apa di luar alam semesta. Tapi perlu diingat, ruang dan waktu dimulai ketika terjadi Dentuman Besar aka Big Bang karena itu tidak ada apapun sebelum Big Bang. Artinya tidak ada apapun di luar alam semesta.
Dalam alam semesta datar, alam semesta memang memuai selamanya. Tapi, usia alam semesta pun terbatas sehingga secara teknis pengamat hanya bisa mengamati volum terbatas dari alam semesta. Kesimpulannya alam semesta jauh lebih besar dari alam semesta yang sudah teramati.
Bacaan lainnya :
Kisah Perjalanan Alam Semesta
Menit-Menit Awal Alam Semesta
Apa Penyebab Kematian Alam Semesta?
Kisah Perjalanan Alam Semesta
Menit-Menit Awal Alam Semesta
Apa Penyebab Kematian Alam Semesta?
____
Punya pertanyaan tentang astronomi? Silahkan Tanya LS !
Komet Lovejoy Menuju Matahari
ebuah peristiwa langit yang amat jarang terjadi segera datang pada Jumat pagi hari 16 Desember 2011 besok. Sebuah komet dengan ukuran hampir menyamai stadion GBK Senayan bakal melintas sangat dekat dengan Matahari dalam perjalanan mengelilingi bintang pusat tata surya tersebut. Demikian dekatnya sehingga komet hanya melintas sejauh 131 ribu km saja dari permukaan Matahari dan secara teknis sudah memasuki atmosfer bintang tersebut. Dengan kata lain, komet ini akan “menabrak” Matahari.
Komet itu adalah komet Lovejoy. Dalam penandaan astronomi, komet ini memiliki identitas C/2011 W3. Ditemukan pada 27 November 2011 melalui survei langit oleh astronom Terry Lovejoy (Australia), komet ini merupakan be4nda langit anggota tata surya yang memiliki orbit sangat lonjong dengan periode cukup panjang. Sebagai gambaran, titik terdekat orbit komet ini hanya sejauh 0,83 juta km dari pusat Matahari sementara titik terjauhnya melambung hingga sejauh 16.500 juta km dari Matahari atau tiga kali lipat lebih jauh dibanding planet kerdil Pluto. Dengan bentuk orbit demikian, maka agar dapat mengedari Matahari dalam satu putaran penuh, komet Lovejoy membutuhkan waktu 413 tahun. Profil orbitnya mengindikasikan komet Lovejoy masih sekeluarga dengan komet Ikeya-Seki yang demikian populer hampir setengah abad silam. Komet terakhir dijuluki lintang kemukus dinihari dan mewarnai hari-hari transisi Indonesia dari orde lama ke orde baru seiring peristiwa G 30 S dan efek-efek lanjutannya.
Penyelidikan lebih lanjut mengungkap komet ini berbentuk gumpalan besar dengan diameter 200 m. Sesuai dengan sifat dasar komet pada umumnya, maka gumpalan ini pun merupakan kumpulan debu, tanah liat, es dan bekuan senyawa-senyawa gampang menguap seperti karbondioksida, amoniak, metana dan sebagainya yang saling terikat satu sama lain sebagai materi menyerupai batu apung (pumice) yang densitasnya lebih ringan dibanding air. Artinya, jika kota meletakkan komet Lovejoy ini di samudera secara hati-hati, ia bakal mengapung !
Kurva kecemerlangan komet Lovejoy vs waktu. Nampak pada puncaknya, komet ini berpotensi lebih terang dibanding Bulan purnama
Komet pun pada umumnya akan lebih aktif ketika lebih dekat ke Matahari. Ini disebabkan mulainya terjadi penguapan pada es dan bekuan senyawa
gampang menguapnya yang membentuk gas. Akumulasi gas lantas mengalir keluar dari dalam komet melalui retakan-retakan yang terbentuk dan tersembur ke angkasa sekitarnya layaknya letusan gunung berapi. Semburan ini juga membawa butir-butir debu dan tanah liat, yang lantas menyusun atmosfer dan ekor komet. Pantulan sinar Matahari pada debu-debu ini menjadikan atmosfer dan ekor komet terlihat, yang amat mengesankan betuknya karena tidak dimiliki benda langit lainnya di tata surya.
gampang menguapnya yang membentuk gas. Akumulasi gas lantas mengalir keluar dari dalam komet melalui retakan-retakan yang terbentuk dan tersembur ke angkasa sekitarnya layaknya letusan gunung berapi. Semburan ini juga membawa butir-butir debu dan tanah liat, yang lantas menyusun atmosfer dan ekor komet. Pantulan sinar Matahari pada debu-debu ini menjadikan atmosfer dan ekor komet terlihat, yang amat mengesankan betuknya karena tidak dimiliki benda langit lainnya di tata surya.
Komet Lovejoy pun demikian. Seiring kian mendekati Matahari, komet pun menampakkan atmosfer dan ekornya pula, yang kian lama kian terang. Bahkan prediksi memperlihatkan komet ini berpotensi menjadi komet paling terang di 2011, yang kecemerlangannya menyamai planet Venus di kala senja/fajar atau bahkan lebih. Bahkan tidak menutup kemungkinan komet ini bakal seterang Bulan purnama.Sehingga pada puncaknya nanti komet ini berpotensi menjadi benda langit paling terang relatif yang kedua di tata surya kita setelah Matahari.
Sayangnya, terlalu dekatnya posisi komet dengan Matahari membuat kita tak mungkin menyaksikan komet secara langsung. Butuh peralatan khusus untuk itu. Namun era penerbangan antariksa menyajikan kemugkinan lain. Dengan satelit-satelit pemntau Matahari yang bekerja 24 jam penuh masih tetap memantau Matahari secara rutin, maka komet Lovejoy ini bakal muncul dalam citranya. Misalnya dalam satelit SOHO (Solar and Heliospheric Observatory) yang telah bertengger di orbitnya sejak 1995 hingga sekarang. Analisis citra satelit SOHO pada instrumen koronagrafnya (http://sohowww.nascom.nasa.gov/data/realtime/c3/512/) memperlihatkan komet Lovejoy telah muncul di medan pandang satelit ini sejak 14 Desember 2011 pukul 15:30 WIB. Situasi ini akan terus berlangsung hingga komet mencapai titik terdekatnya ke Matahari di 16 Desember mendatang.
Dengan lintasan yang terlalu dekat terhadap Matahari, komet ini diperkirakan takkan bertahan lama. Selain panas Matahari mencapai titik ekstrim yang membuat seluruh es dan bekuan didalamnya bakal menguap semua, perbedaan suhu antara bagian komet yang diterpa sinar matahari dn yang tidak akan sangat besar sehingga menyebabkan pemuaian tak seragam yang mampu meremukkan komet. Jika itu yang terjadi, komet Lovejoy akan menemui kematiannya segera pada 16 Desember 2011 besok.
Komet menubruk Matahari maupun benda-benda langit di tata surya bukanlah peristiwa aneh, meski sangat jarang terjadi. Peristiwa tubrukan komet terakhir yang fenomenal terjadi 17 tahun silamnya, tepatnya tatkala komet Shoemaker-Levy 9 menubruk Jupiter pada Juli 1994. Tubrukan komet dengan Matahari tak berdampak signifikan. Namun dengan planet sekecil Bumi, akan sangat berdampak. Kejadian 65 juta tahun silam, yakni tersapunya kehidupan dinosaurus dan 76 % makhluk hidup Bumi lainnya secara mendadak setelah merajai dunia demikian lama disebabkan oleh hantaman komet berukuran 10 km di Semenanjung Yucatan purba. Terbentuklah kawah raksasa berdiameter 200 km atau lebih, diiringi semburan debu yang menggelapkan Bumi selama beberapa tahun, menghentikan fotosintesis sekaligus menumpas hewan-hewan yang menjadi konsumennya.
Namun apakah peristiwa tubrukan komet Lovejoy dengan Matahari bakal berdampak bagi Bumi? Jawabannya tidak. Peristiwa itu terjadi 150 juta km jauhnya dari Bumi. Jadi jangan khawatir.
Nama-Nama Indonesia pun Tertera di Angkasa
Planet minor adalah istilah yang digunakan untuk obyek langit non planet atau komet yang mengitariMatahari. Planet minor pertama yang ditemukan adalah Ceres pada tahun 1801 yang kemudian dikenal juga sebagai planet katai setelah IAU melakukan redenefinisi terhadap klasifikasi planet di tahun 2006.
Sampai dengan Desember 2010, sudah 257.455 planet minor yang sudah diberi nomor identifikasi / kodifikasi dari 535000 lebih planet minor yang sudah ditemukan. Dan dari 257.455 planet minor itu baru sekitar 16154 planet minor yang sudah memiliki nama resmi. Di antara ribuan nama tersebut, beberapa di antaranya memiliki nama Indonesia, yang diberikan sebagai penghargaan ataupun pengingat akan suatu tempat dan kejadian.
Nama Asteroid Berdasarkan Nama Mantan Kepala Observatorium Bosscha
Yang terbaru, pada bulan November 2010, IAU memberikan 4 nama Indonesia sebagai nama 4 asteroid yang berada di Sabuk Utama Asteroid. Keempat nama tersebut merupakan nama-nama mantan kepala Observatorium Bosscha yang diberikan oleh IAU sebagai penghargaan kepada Observatorium Bosscha yang merupakan observatorium di Indonesia sekaligus yang memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan astronomi di langit selatan.
Keempat nama tersebut diberikan pada 4 asteroid yang ditemukan oleh suami istri Cornelis Johannes van Houten dan Ingrid van Houten-Groeneveld yang melakukan analisa dari plat fotografi yang diambil oleh Tom Gehrels tanggal 16 Oktober 1977 dalam Palomar – Leiden Trojan Survey. Penemuan asteroid – asteroid tersebut dilakukan dengan menggunakan teleskop Schmidt 122cm di Observatorium Palomar. Dalam pengamatan tersebut, pemotretan dilakukan dengan menggunakan 68 plat untuk melakukan survei trojan di antara Mars- Jupiter. Di antara planet minor yang ditemukan, 4 asteroid yang diberi nama berdasarkan nama mantan kepala Observatorium Bosscha adalah :
Selain ke-4 nama tersebut, sebelumnya sudah ada beberapa nama mantan kepala Bosscha yang juga diabadikan sebagai nama asteroid yakni :
Nama Asteroid Berdasarkan Kontribusi dari dan untuk Astronomi Indonesia
Selain nama-nama tersebut ada beberapa nama yang juga diberikan oleh IAU pada nama planet minor sebagai penghargaan atas kontribusi mereka dalam astronomi dari Hindia Belanda atau Indonesia, yakni :
Nama asteroid berdasarkan nama tempat di Indonesia maupun yang memiliki keterkaitan dengan Indonesia adalah :
Penamaan Asteroid sendiri membutuhkan waktu panjang karena pada awal ditemukan ia hanya diberi kode khusus dan diberi nomer jika orbitnya diketahui dengan baik. Pengajuan nama yang dilakukan oleh si penemu akan dibahas oleh IAU dan disetujui dahulu sebelum diberi nama yang resmi.
Ketika Es Antartika Terancam Oleh Pulihnya Lubang Ozon
Kalau lubang ozon sudah terpulihkan, apakah kemudian pemanasan global bisa teratasi? Ternyata studi terkini menunjukkan pulihnya lubang ozon di atas Antartika malah menyebabkan lebih banyak es mencair pada dekade mendatang. Ketika lubang ozon pulih, pola angin yang melindungi interior wilayah kutub dari udara yang hangat menjadi terbuka, mengakibatkan Antartika menghangat, demikian juga kondisi yang lebih hangat dan kering di Australia.
Kalau lubang ozon sudah terpulihkan, apakah kemudian pemanasan global bisa teratasi? Ternyata studi terkini menunjukkan pulihnya lubang ozon di atas Antartika malah menyebabkan lebih banyak es mencair pada dekade mendatang. Ketika lubang ozon pulih, pola angin yang melindungi interior wilayah kutub dari udara yang hangat menjadi terbuka, mengakibatkan Antartika menghangat, demikian juga kondisi yang lebih hangat dan kering di Australia.
Kendati suhu global meningkat, interior Antartika mempunyai situasi yang unik karena cenderung mendingin pada musim panas dan gugur selama beberapa dasawarasa belakangan. Ilmuwan mengaitkan pendinginan tersebut dengan adanya lubang pada lapisan ozon yang mempengaruhi pola sirkulasi atmsofer dan memperkuat angin yang mengarah ke barat dan berputar-putar di dalam benua Antartika. Angin tersebut mengisolasi interior Antartika dari pola pemanasan, sebagaimana yang teramati pada semenanjuang Antartika serta bagian lain dunia (Gb.1).
Upaya untuk mencegah terjadinya lubang pada ozon telahdilakukan semenjak lama. Protokol Montreal tahun 1987 telah berhasil mengupayakan pelarangan bahan-bahan perusak ozon, sehingga kerusakan yang lebih parah bisa terhindarkan. Tetapi permasalahan tidak sesederhana itu. Studi telah dilakukan pada dinamika antara ozon strastosfer dan kondisi atmosfer dari tahun 1950 sampai akhir abad ke dua puluh; hasilnya menunjukkan bahwa ketika tingkat ozon terpulihkan, lapisan bawah stratosfer di atas Antartika – 10-20 km di atas permukaan BUmi – akan menyerap radiasi ungu-ultra, dan menaikkan temperatur sampai 9 derajat C, mengurangi gradien temperatur utara-selatan yang kuat. Kalau sudah begitu, temperatur menjadi lebih ‘suam-suam kuku’ di Antartika, bersamaan dengan itu, angin yang mengarah ke barat menjadi lebih lemah dan menghasilkan temperatur yang lebih hangat dan kering di Australia dan meningkatnya presipitasi di Amerika Selatan.
Model iklim, sebagaimana yang dipergunakan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change’s) tidak memperhitungkan detil mengenai kimiawi ozon. Banyak model tidak menyertakan situasi pada 30 km di atas permukaan Bumi, sementara untuk menjelaskan stratosfer itu paling tidak membutuhkan ketinggian sampai 60 km. Tentu saja ini menjadi tantangan bagi ilmuwan yang bekerja pada analisis iklim untuk memperhitungkan perubahan ozon dari pengurangan sampai penyembuhannya selama abad dua puluh dan dua puluh satu.
Jika didapatkan umpan-balik bahwa ternyata pencairan es berdasarkan model yang ada masih kurang tepat, maka tingkat aman karbon-dioksida yang ditetapkan selama ini juga salah. Produktivitas biologi di lautan ditentukan oleh pola sirkulasi lautan dan atmosfer, sehingga studi mendatang harus bisa menggandeng sekaligus dinamika lautan pada kimiawi ozon dan iklim.
Menuju Titik Api bag 2 : Teleskop Refraktor,Menuju Titik Api bag 3 : Teleskop Reflektor
Teleskop menggunakan lensa untuk memfokuskan cahaya. Prinsipnya adalah pembiasan.





Global Warming – Apa dan mengapa
Sejak dikenalnya ilmu mengenai iklim, para ilmuwan telah mempelajari bahwa ternyata iklim di Bumi selalu berubah. Dari studi tentang jaman es di masa lalu menunjukkan bahwa iklim bisa berubah dengan sendirinya, dan berubah secara radikal. Apa penyebabnya? Meteor jatuh? Variasi panas Matahari? Gunung meletus yang menyebabkan awan asap? Perubahan arah angin akibat perubahan struktur muka Bumi dan arus laut? Atau karena komposisi udara yang berubah? Atau sebab yang lain?

Bila kita memiliki kesempatan untuk pergi ke daerah yang jauh dari cahaya lampu perkotaan dan cuaca betul-betul cerah tanpa awan, kita akan dapat melihat selarik kabut yang membentang di langit. “Kabut” itu ikut bergerak sesuai dengan gerakan semu langit, terbit di timur dan terbenam di barat.





Teleskop menggunakan lensa untuk memfokuskan cahaya. Prinsipnya adalah pembiasan.
Gambar 1. Atas: Cahaya yang melewati lensa akan dibiaskan menuju satu titik api. Bawah:Dua buah teleskop Galileo yang kini dipamerkan di sebuah museum di kota Florensia, Italia. Sumber: Hoskin, M. (ed.) 1997,The Cambridge Illustrated History of Astronomy, Cambridge University Press. h.123.
Cahaya yang melewati sebuah medium yang memiliki indeks bias berbeda dengan udara akan dibelokkan (tuangkan air ke dalam mangkuk tembus pandang dan sinari air dengan lampu senter yang diarahkan miring terhadap permukaan air, Anda akan melihat sinar lampu senter tidak membentuk garis lurus, tapi membelok saat melewati air) atau dalam istilah fisika: dibiaskan. Pembiasan adalah terjemahan bahasa Inggris untuk refraction. Dengan demikian refraktor dapat diartikan sebagai pembias.
Lensa bekerja dengan cara demikian, dan apabila bentuk permukaan medium yang dilewati cahaya tersebut melengkung sedemikian rupa, maka cahaya sejajar pada berbagai orientasi terhadap lensa dapat difokuskan menuju titik api (Gambar 1). Lensa yang melengkung keluar seperti ini kita sebut lensa cembung atau lensa konveks. Sinar yang datang dari bintang atau objek-objek astronomi lainnya (karena benda-benda tersebut letaknya sangat jauh maka sinar yang mereka pancarkan dapat kita anggap sejajar) difokuskan oleh lensa yang disebut lensa objektif dan tiba pada titik api. Selanjutnya cahaya yang sudah difokuskan ini diperbesar oleh lensa cembung kedua yang disebut lensa okuler (inilah yang disebut eyepiece karena pada lensa ini mata kita diletakkan untuk “mengintip” teleskop).
Gambar 2. Refraktor 40 inci (1 m) Yerkes di Wisconsin, Amerika Serikat. Selesai dibangun pada tahun 1897, Refraktor Yerkes hingga saat ini adalah teleskop refraktor terbesar di dunia. Perhatikan ukuran meja dan kursi di lantai Observatorium, untuk membandingkan ukuran teleskop ini dengan ukuran manusia. Pada awal abad 20 hingga sekarang, refraktor dengan diameter lebih besar dari 1 meter semakin sulit dibuat dengan akurat dan teleskop-teleskop besar mulai menggunakan desain reflektor. Sumber: Herrmann, D. 1984, The History of Astronomy from Herschel to Hertzsprung, Cambridge University Press. h.163.
Semakin kecil jarak fokus lensa okuler terhadap jarak fokus lensa objektif semakin besar perbesaran yang dihasilkan teleskop, tetapi hal ini akan menurunkan ketajaman keseluruhan dari sebuah citra karena ketajaman hanya bergantung pada diameter lensa objektif dan perbesaran lebih lanjut oleh lensa okuler akan menurunkan ketajaman keseluruhan (Misalnya Anda memiliki dua foto, ukuran 3R dan 24R. Kedua foto diperbesar dengan dua kaca pembesar berbeda, misalnya perbesaran 4 kali dan 20 kali. Foto ukuran 3R diperbesar 4 kali cukup tajam tetapi bila diperbesar 20 kali jadi buram, sementara ukuran 24R masih tetap tajam bila diperbesar 20 kali. Ini karena foto ukuran 24R lebih tajam daripada ukuran 3R sehingga masih tetap tajam bila diperbesar 20 kali. Teleskop dengan diameter lensa objektif yang besar akan menghasilkan citra yang tajam sehingga dapat digunakan eyepiece dengan perbesaran yang tinggi tanpa mengurangi ketajaman).
Prinsip ini sederhana dan refraktor dapat menghasilkan citra-citra dengan ketajaman tinggi sehingga sangat cocok untuk menentukan posisi objek astronomi (astrometri) dengan ketelitian tinggi atau untuk program pengamatan lainnya yang membutuhkan ketajaman tinggi, namun refraktor juga memiliki medan pandang yang sempit sehingga sulit untuk melakukan survey atau sensus bintang yang membutuhkan teleskop dengan medan yang luas.
Salah satu refraktor pertama yang digunakan untuk mengamati objek-objek langit adalah refraktor yang dibuat Galileo Galilei pada tahun 1609 (Gambar 1). Pada waktu itu Galileo mendengar bahwa di Belanda sudah dibuat sebuah teleskop, dan dengan cepat ia mempelajari prinsip kerjanya dan membuat sebuah teleskop yang lebih baik. Galileo tidak menciptakan teleskop, tetapi ia merupakan salah satu orang pertama yang mempunyai ide bagus untuk mengarahkannya ke langit (pada tahun yang sama, seorang astoronom Inggris bernama Thomas Harriot juga mengamati bulan dengan menggunakan teleskop). Refraktor terus mengalami perkembangan hingga abad ke-19. Refraktor terbesar yang pernah dibangun adalah refraktor pada Observatorium Yerkes di Wisconsin, Amerika Serikat (Gambar 2), sebuah teleskop raksasa dengan diameter lensa 40 inci (102 cm) dan panjang tabung 30 m
Menuju Titik Api bag 3 : Teleskop Reflektor
Gambar 1 : Atas: Cermin cekung akan memantulkan cahaya menuju satu titik api. Bawah: Gambar ini dibuat oleh Sekretaris Perkumpulan Kerajaan (Royal Society) untuk ahli optik dan astronom Christiaan Huygens di Paris, melaporkan kinerja teleskop reflektor yang dibuat Isaac Newton dan didemonstrasikan di hadapan anggota Perkumpulan Kerajaan pada akhir tahun 1671. Gambar dua mahkota di kiri bawah adalah ornamen sebuah pembaca arah angin sejauh 100 meter, dilihat dengan menggunakan reflektor Newton (A) dan dengan refraktor (B). Sumber: Hoskin, M. (ed.) 1997, The Cambridge Illustrated History of Astronomy, Cambridge University Press. h.153.
Teleskop Reflektor
Isaac Newton menyadari persoalan aberasi kromatis ini ketika mempelajari pemecahan sinar matahari menjadi warna pelangi dengan menggunakan prisma. Dengan tepat ia menyimpulkan bahwa aberasi kromatis adalah persoalan yang terkait dengan lensa (sebagaimana telah disinggung pada bagian tentang refraktor) dan membuat sebuah teleskop reflektor yang menggunakan cermin sebagai pemecahannya (Gambar 1).
Newton menggunakan sebuah cermin cekung yang bersifat konvergen (mengumpulkan cahaya pada titik api) sebagai kolektor cahaya, dan selanjutnya ia menempatkan sebuah cermin datar (disebut juga cermin sekunder) dengan sudut 45 derajat terhadap cermin sehingga cahaya yang dipantulkan cermin cekung dibelokkan dan dapat diamati dengan eyepiece. Teleskop reflektor dengan menggunakan cermin datar ini kemudian terkenal dengan nama Reflektor Newton. Isaac Newton sendiri membuat teleskop ini pada tahun 1668 (Gambar 1) dan mendemonstrasikannya di depan Perkumpulan Kerajaan (Royal Society, sebuah perkumpulan ilmuwan Kerajaan Inggris) pada tahun 1671. Pada Reflektor Newton cahaya difokuskan dengan cara dipantulkan dan tidak dilewatkan melalui suatu medium seperti sebuah refraktor, dengan demikian teleskop ini bebas dari persoalan aberasi kromatis, walaupun masih belum bebas dari persoalan aberasi sferis. Cahaya yang tiba pada tepian cermin tetap difokuskan pada titik yang berbeda.
Gambar 2. Atas: Cassegrain merancang teleskop reflektor yang menggunakan cermin cembung sebagai cermin sekunder, sehingga dapat “melipat” titik api cermin primer. Bawah: Rancangan Cassegrain sangat berguna dalam membuat teleskop menjadi semakin compact=
Seorang pakar optik Perancis, Cassegrain, pada tahun 1672 menyadari bahwa bagian tengah cermin cekung tidak berguna dalam mengumpulkan cahaya (bagian ini tak dilewati sinar karena terhalang oleh cermin sekunder). Ia melubangi bagian tersebut dan melewatkan cahaya melewati lubang tersebut (Gambar 2) dengan menggunakan cermin cembung sebagai pengganti cermin datar. Dengan demikian Cassegrain memberikan rancangan yang lebih ekonomis dengan cara “melipat” jalannya cahaya sehingga panjang tabung teleskop dapat diperpendek untuk panjang fokus yang sama dengan Reflektor Newton. Seratus tahun kemudian dibuktikan bahwa cermin cembung tersebut membantu mengurangi efek aberasi sferis. Hingga saat ini rancangan Cassegrain tetap dipakai dalam berbagai teleskop portabel karena membantu memperpendek panjang tabung teleskop dan dengan demikian lebih mudah dibawa ke mana-mana (Gambar 2). Sekarang kita menamakan teleskop seperti ini dengan—tentu saja—Reflektor Cassegrain.
Belakangan ditunjukkan bahwa teleskop berukuran besar, dengan diameter kolektor di atas 1 m, lebih efisien apabila menggunakan desain reflektor. Reflektor membutuhkan bentuk permukaan cermin yang sangat akurat dan teknologinya sudah tersedia. Memasuki abad ke-20 dibangun reflektor-reflektor raksasa, terutama di Amerika Serikat, dan kini teleskop-teleskop terbesar di dunia adalah reflektor. Reflektor Hale dengan diameter 200 inci (5.08 m) di Observatorium Gunung Palomar, California, Amerika Serikat (Gambar 3) selesai dibangun pada tahun 1948 dan selama puluhan tahun merupakan reflektor terbesar di dunia.
Gambar 3. Reflektor 200 inci (5.08 m) Hale di Observatorium Gunung Palomar, California, Amerika Serikat. Nama reflektor ini diambil untuk menghormati astronom George Ellery Hale, yang berjasa dalam mencari sponsor untuk pembangunan 3 buah reflektor terbesar di dunia pada zamannya. Observatorium Gunung Palomar yang terletak di negara bagian California dan berdekatan dengan kota metropolitan Los Angeles kini menghadapi permasalahan polusi cahaya dari kota tersebut. Sumber: Situs Observatorium Palomar
Teleskop Reflektor, baik Newton maupun Cassegrain, memiliki medan pandang yang lebih luas dan dengan demikian sangat cocok untuk survei, dan untuk memaksimalkan medan pandang berarti seluruh bagian cermin—termasuk tepiannya—harus digunakan. Maka harus ada cara untuk menghilangkan efek aberasi sferis atau pengolahan data bintang yang berada pada tepian cermin tidak akan akurat. Solusi ini diberikan oleh Bernhard Schmidt pada tahun 1930an dengan menggunakan lensa tambahan yang diletakkan di depan cermin, disebut lensa korektor (Gambar 4). Lensa ini sangat tipis—sehingga aberasi kromatis praktis tidak ada—dan berguna untuk membelokkan jalannya cahaya yang jatuh di tepian cermin agar mengarah ke satu titik api. Berkat solusi Bernhard Schmidt dikembangkanlah teleskop tipe baru yang disebut Teleskop Schmidt atau kadang-kadang disebut juga Kamera Schmidt. Dengan medan pandang yang sangat luas, rata-rata 5 derajat dan dapat mencapai 25 derajat (teleskop biasa umumnya memiliki medan pandang yang sangat sempit, kurang dari 1 derajat), teleskop Schmidt berfungsi seperti layaknya sebuah kamera, sehingga julukan “Kamera Schmidt” juga tidak salah.Namun demikian lensa korektor buatan Schmidt ini juga seringkali diletakkan di depan teleskop portabel tipe Cassegrain, sehingga Reflektor Cassegrain yang menggunakan lensa korektor Schmidt berubah nama menjadi Reflektor Schmidt-Cassegrain.
Gambar 4. Kiri:Lensa korektor pada Teropong Schmidt dapat menghilangkan aberasi bola. Kanan: Edwin Hubble dengan pipa khasnya mengintip pada teleskop pencari (finder) Teleskop Schmidt 48 inci (1.2 m) Observatorium Gunung Palomar. Teleskop Schmidt tidak menggunakan eyepiece, jadi pada titik api cermin di dalam teleskop diletakkan sebuah plat foto atau kamera CCD untuk memotret satu bidang langit. Sumber: Hoskin, M. (ed.) 1997, The Cambridge Illustrated History of Astronomy, Cambridge University Press. h.33
Global Warming – Apa dan mengapa
Sampai baru pada abad 19, maka studi mengenai iklim mulai mengetahui tentang kandungan gas yang berada di atmosfer, disebut sebagai gas rumah kaca, yang bisa mempengaruhi iklim di Bumi. Apa itu gas rumah kaca?
Sebetulnya yang dikenal sebagai ‘gas rumah kaca’,adalah suatu efek, dimana molekul-molekul yang ada di atmosfer kita bersifat seperti memberi efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri, seharusnya merupakan efek yang alamiah untuk menjaga temperatur permukaaan Bumi berada pada temperatur normal, sekitar 30°C, atau kalau tidak, maka tentu saja tidak akan ada kehidupan di muka Bumi ini.
Pada sekitar tahun 1820, bapak Fourier menemukan bahwa atmosfer itu sangat bisa diterobos (permeable) oleh cahaya Matahari yang masuk ke permukaan Bumi, tetapi tidak semua cahaya yang dipancarkan ke permukaan Bumi itu bisa dipantulkan keluar, radiasi merah-infra yang seharusnya terpantul terjebak, dengan demikian maka atmosfer Bumi menjebak panas (prinsip rumah kaca).
Tiga puluh tahun kemudian, bapak Tyndall menemukan bahwa tipe-tipe gas yang menjebak panas tersebut terutama adalah karbon-dioksida dan uap air, dan molekul-molekul tersebut yang akhirnya dinamai sebagai gas rumah kaca, seperti yang kita kenal sekarang. Arrhenius kemudian memperlihatkan bahwa jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatgandakan, maka peningkatan temperatur permukaan menjadi sangat signifikan.
Semenjak penemuan Fourier, Tyndall dan Arrhenius tersebut, ilmuwan semakin memahami bagaimana gas rumah kaca menyerap radiasi, memungkinkan membuat perhitungan yang lebih baik untuk menghubungkan konsentrasi gas rumah kaca dan peningkatan Temperatur. Jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatduakan saja, maka temperatur bisa meningkat sampai 1°C.
Tetapi, atmosfer tidaklah sesederhana model perhitungan tersebut, kenyataannya peningkatan temperatur bisa lebih dari 1°C karena ada faktor-faktor seperti, sebut saja, perubahan jumlah awan, pemantulan panas yang berbeda antara daratan dan lautan, perubahan kandungan uap air di udara, perubahan permukaan Bumi, baik karena pembukaan lahan, perubahan permukaan, atau sebab-sebab yang lain, alami maupun karena perbuatan manusia. Bukti-bukti yang ada menunjukkan, atmosfer yang ada menjadi lebih panas, dengan atmosfer menyimpan lebih banyak uap air, dan menyimpan lebih banyak panas, memperkuat pemanasan dari perhitungan standar.
Sejak tahun 2001, studi-studi mengenai dinamika iklim global menunjukkan bahwa paling tidak, dunia telah mengalami pemanasan lebih dari 3°C semenjak jaman pra-industri, itu saja jika bisa menekan konsentrasi gas rumah kaca supaya stabil pada 430 ppm CO2e (ppm = part per million = per satu juta ekivalen CO2 – yang menyatakan rasio jumlah molekul gas CO2 per satu juta udara kering). Yang pasti, sejak 1900, maka Bumi telah mengalami pemanasan sebesar 0,7°C.
Lalu, jika memang terjadi pemanasan, sebagaimana disebut; yang kemudian dikenal sebagai pemanasan global, (atau dalam istilah populer bahasa Inggris, kita sebut sebagai Global Warming): Apakah merupakan fenomena alam yang tidak terhindarkan? Atau ada suatu sebab yang signfikan, sehingga menjadi ‘populer’ seperti sekarang ini? Apakah karena Al Gore dengan filmnya “An Inconvenient Truth” yang mempopulerkan global warming? Tentunya tidak sesederhana itu.
Perlu kerja-sama internasional untuk bisa mengatakan bahwa memang manusia-lah yang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2007, menunjukkan bahwa secara rata-rata global aktivitas manusia semenjak 1750 menyebabkan adanya pemanasan. Perubahan kelimpahan gas rumah kaca dan aerosol akibat radiasi Matahari dan keseluruhan permukaan Bumi mempengaruhi keseimbangan energi sistem iklim. Dalam besaran yang dinyatakan sebagai Radiative Forcing sebagai alat ukur apakah iklim global menjadi panas atau dingin (warna merah menyatakan nilai positif atau menyebabkan menjadi lebih hangat, dan biru kebalikannya), maka ditemukan bahwa akibat kegiatan manusia-lah (antropogenik) yang menjadi pendorong utama terjadinya pemanasan global (Gb.1).
Hasil perhitungan perkiraan agen pendorong terjadinya pemanasan global dan mekanismenya (kolom satu), berdasarkan pengaruh radiasi (Radiative Forcing), dalam satuan Watt/m^2, untuk sumber antropogenik dan sumber yang lain, tanda merah dan nilai positif dari kolom dua dan tiga berarti sumbangan pada pemanasan, sedangkan biru adalah efek kebalikannya. Kolom empat menyatakan dampak pada skala geografi, sedangkan kolom kelima menyatakan tingkat pemahaman ilmiah (Level of Scientific Understanding), Sumber: Laporan IPCC, 2007.
Dari gambar terlihat bahwa karbon-dioksida adalah penyumbang utama gas kaca. Dari masa pra-industri yang sebesar 280 ppm menjadi 379 ppm pada tahun 2005. Angka ini melebihi angka alamiah dari studi perubahan iklim dari masa lalu (paleoklimatologi), dimana selama 650 ribu tahun hanya terjadi peningkatan dari 180-300 ppm. Terutama dalam dasawarsa terakhir (1995-2005), tercatat peningkatan konsentrasi karbon-dioksida terbesar pertahun (1,9 ppm per tahun), jauh lebih besar dari pengukuran atmosfer pada tahun 1960, (1.4 ppm per tahun), kendati masih terdapat variasi tahun per tahun.
Sumber terutama peningkatan konsentrasi karbon-dioksida adalah penggunaan bahan bakar fosil, ditambah pengaruh perubahan permukaan tanah (pembukaan lahan, penebangan hutan, pembakaran hutan, mencairnya es). Peningkatan konsentrasi metana (CH4), dari 715 ppb (part per billion= satu per milyar) di jaman pra-industri menjadi 1732 ppb di awal 1990-an, dan 1774 pada tahun 2005. Ini melebihi angka yang berubah secara alamiah selama 650 ribu tahun (320 – 790 ppb). Sumber utama peningkatan metana pertanian dan penggunaan bahan bakar fosil. Konsentrasi nitro-oksida (N2O) dari 270 ppb – 319 ppb pada 2005. Seperti juga penyumbang emisi yang lain, sumber utamanya adalah manusia dari agrikultural. Kombinasi ketiga komponen utama tersebut menjadi penyumbang terbesar pada pemanasan global.
Kontribusi antropogenik pada aerosol (sulfat, karbon organik, karbon hitam, nitrat and debu) memberikan efek mendinginkan, tetapi efeknya masih tidak dominan dibanding terjadinya pemanasan, disamping ketidakpastian perhitungan yang masih sangat besar. Demikian juga dengan perubahan ozon troposper akibat proses kimia pembentukan ozon (nitrogen oksida, karbon monoksida dan hidrokarbon) berkontribusi pada pemanasan global. Kemampuan pemantulan cahaya Matahari (albedo), akibat perubahan permukaan Bumi dan deposisi aerosol karbon hitam dari salju, mengakibatkan perubahan yang bervariasi, dari pendinginan sampai pemanasan. Perubahan dari pancaran sinar Matahari (solar irradiance) tidaklah memberi kontribusi yang besar pada pemanasan global.
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa memang manusia yang berperanan bagi nasibnya sendiri, karena pemanasan global terjadi akibat perbuatan manusia sendiri. Lalu bagaimana dampak Global Warming bagi kehidupan? Alur waktu prediksi dan dampak dari perspektif sains dapat dibaca pada bagian kedua tulisan ini.
Kisah penemuan Galaksi Bima Sakti (Bagian Pertama)
Bila kita memiliki kesempatan untuk pergi ke daerah yang jauh dari cahaya lampu perkotaan dan cuaca betul-betul cerah tanpa awan, kita akan dapat melihat selarik kabut yang membentang di langit. “Kabut” itu ikut bergerak sesuai dengan gerakan semu langit, terbit di timur dan terbenam di barat.
Selarik kabut di langit yang kita kenal dengan Bima Sakti atau "Jalur Susu'' bagi orang Yunani dan Romawi kuno. Kabut ini membentang melintasi seluruh bola langit, sebagaimana ditunjukkan oleh foto panorama Bima Sakti pada gambar bawah. Sumber: Atas: Jerry Lodriguss/Astropix.com. Bawah: Bruno Gilli/ESO.
Keberadaan kabut ini telah dijelaskan keberadaannya oleh berbagai peradaban semenjak lama. Di kalangan masyarakat Jawa kuno, pada musim kemarau kabut ini melewati zenith, membentang dari timur ke barat, menyerupai sepasang kaki yang mengangkangi Bumi. Kaki ini adalah milik Bima, anggota keluarga Pandawa yang diceritakan dalam pewayangan Mahabharata. Demikian besar tubuhnya dan betapa saktinya ia, sehingga kabut itu dinamakan Bima Sakti, sebuah nama yang hingga saat ini masih kita gunakan untuk menamai gumpalan kabut tersebut.
Asal muasal Bima Sakti dijelaskan dalam Mitologi Yunani. Ini adalah lukisan pelukis Italia Jacopo Tintoretto yang hidup pada masa renaisans, ``Asal muasal Bima Sakti.'' Sumber: Koleksi Galeri Nasional, London, Inggris Raya.
Nun jauh dari Jawa, di Yunani, masyarakat di sana memberikan nama lain untuk objek yang sama.Mitologi Yunani menceritakan kelahiran Herakles(dinamakan Hercules dalam mitologi Romawi), anak raja diraja para dewa—Zeus—denganAlcmene yang manusia biasa. Hera, istri Zeus yang pencemburu, menemukan Herakles dan menyusuinya. Herakles sang bayi setengah dewa menggigit puting Hera dengan kuatnya. Hera yang terkejut kesakitan melempar Herakles dan tumpahlah susu dari putingnya, berceceran di langit dan membentuk semacam jalur berkabut. Tumpahan susu ini kemudian dinamakan“Jalan Susu.” Demikianlah imajinasi orang-orang Yunani menamakan kabut tersebut, atau galaxias dalam Bahasa Yunani. Oleh orang-orang Romawi kuno, yang mitologinya kurang lebih sama dengan mitologi Yunani, galaxiasdiadaptasi menjadi Via Lactea atau “Jalan Susu” dalam Bahasa Latin. Dari sini pulalah kita memperoleh nama Milky Way yang juga berarti “Jalan Susu” dalam Bahasa Inggris.
Hakikat kabut ini tidak banyak dibicarakan dalam kosmologi Aristotelian, dan Aristoteles sendiri menganggap kabut ini adalah fenomena atmosfer belaka yang muncul dari daerah sublunar. Namun, ketika Galileo mengembangkan teknologi teleskop dan mengarahkannya ke kabut “Jalan Susu,” ia melihat ratusan bintang. Di daerah “berkabut” terdapat konsentrasi bintang yang lebih padat daripada daerah yang tidak dilewati oleh pita “Jalan Susu.” Rupanya kabut ini tak lain adalah kumpulan dari cahaya bintang-bintang yang jauh dan kecerlangannya terlalu lemah untuk bisa ditilik oleh mata manusia, sehingga agregat dari pendaran cahaya mereka terlihat bagaikan semacam kabut atau awan.
Bagaimana menjelaskan Kabut “Jalan Susu” atau “Bima Sakti” dalam konteks susunan jagad raya? Seorang pembuat jam yang mempelajari astronomi secara mandiri, Thomas Wright dari Durham, menjelaskan gejala ini sebagai akibat dari posisi kita dalam sebuah kulit bola. Thomas Wright menuliskan ini pada tahun 1750 dalam bukunya An original theory or new hypothesis of the Universe, dan membuat ilustrasi pada gambar di samping. Bintang-bintang tersebar merata pada sebuah kulit bola. Andaikan Matahari kita terletak pada titik A, maka bila kita melihat ke arah B dan C kita akan melihat lebih sedikit bintang daripada bila kita melihat ke arah D dan E. Kabut “Jalan Susu” yang merupakan daerah di langit dengan konsentrasi bintang yang lebih tinggi inilah yang kita lihat sebagai arah D dan E.
Sebagai alternatif, Thomas Wright juga memodelkan bintang-bintang yang terdistribusi menyerupai cincin pipih, dan ini juga dapat menjelaskan keberadaan kabut “Jalan Susu.” Bila Matahari terletak di permukaan cincin ini, kita akan melihat lebih banyak bintang bila melihat ke arah permukaan cincin, namun tidak akan banyak bintang yang dapat kita amati bila kita melihat ke arah yang tegak lurus permukaan cincin.
Filsuf Jerman Immanuel Kant mengatakan bahwa "Nebula'' Andromeda adalah sistem bintang yang mandiri dan menyerupai sistem Bima Sakti. Sumber: APOD.
Filsuf Jerman Immanuel Kant kemudian membaca buku Thomas Wright dan kemudian memodifikasi ide Wright dan mengatakan bahwa bintang-bintang terdistribusi membentuk cakram pipih. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa cakram pipih ini merupakan sebuah sistem gravitasi yang mandiri dan di luar sistem ini juga terdapat sistem-sistem lain yang berbentuk serupa. Lebih lanjut Kant berspekulasi bahwa objek-objek menyerupai awan—disebut juga nebula, dari Bahasa Yunani yang berarti “awan”—yang beberapa di antaranya diamati oleh astronom Charles Messier adalah sistem bintang mandiri yang lokasinya jauh dari sistem bintang “Jalur Susu” tempat Matahari kita berada.
Baik ide Thomas Wright maupun Immanuel Kant merupakan spekulasi belaka di hadapan kurangnya data mengenai distribusi bintang-bintang di sekitar Matahari kita. Usaha serius untuk memetakan bintang-bintang di sekitar Matahari kita dilakukan kemudian oleh seorang pemusik Jerman yang menjadi pengungsi di Inggris: Friedrich Wilhelm Herschel yang kemudian dikenal dengan nama Inggrisnya yaitu William Herschel.
Astronom Jerman-Inggris William Herschel adalah pengamat astronomi terhebat pada zamannya. Tidak hanya ia bekerja memetakan bintang-bintang di sekitar Matahari, tetapi ia juga menemukan Planet Uranus. Sumber: Koleksi Galeri Potret Nasional, London, Inggris Raya.
Herschel memulai penggunaan statistik dalam astronomi dengan mempraktikkan cacah bintang. Yang dilakukan Herschel adalah menyapu seluruh daerah langit secara sistematis dengan teleskopnya dan menghitung jumlah bintang yang dapat ia lihat di dalam daerah pandang teleskopnya. Dengan cara ini ia dapat memetakan kerapatan bintang ke segala arah dari Matahari. Herschel juga mengambil asumsi penting yaitu mengandaikan kecerlangan intrinsik semua bintang besarnya sama dengan kecerlangan Matahari, sehingga dengan mengukur kecerlangan semu setiap bintang, ia dapat mengetahui jarak setiap bintang dari Matahari. Pengandaian ini tentu saja tidak tepat karena banyak bintang yang secara intrinsik jauh lebih terang maupun lebih redup daripada Matahari kita, namun Herschel berharap bahwa Matahari adalah bintang yang jamak ditemukan di alam semesta dan oleh karena itu dapat menjadi cuplikan yang mewakili seluruh bintang. Dengan cara ini ia berhasil membuat peta sistem bintang “Jalur Susu.” Pada masa ini teori gravitasi Newton sudah diterima sebagai sebuah realitas dan digunakan untuk menjelaskan kekuatan yang dapat menjelaskan keterikatan satu sama lain Matahari dan bintang-bintang di sekitarnya membentuk sistem bintang. Dengan dua kenyataan ini, teori gravitasi Newton dan cacah bintang Herschel, orang menyadari bahwa Matahari adalah bagian sistem bintang-bintang yang terikat secara gravitasi, dan “kabut” Jalur Susu adalah akibat dari posisi kita di dalam sistem ini. “Galaksi” kemudian menjadi nama bagi sistem bintang-bintang ini, dan nama Galaksi kita adalah Milky Way atau orang Indonesia menyebutnya Bima Sakti. Nama yang berasal dari narasi mitologis boleh tetap sama, namun paradigma “Jalur Susu” telah berubah.
Penampang silang Galaksi Bima Sakti berdasarkan hasil cacah bintang William Herschel. Lokasi matahari terletak agak dekat ke pusat, dan Galaksi ini bentuknya agak lonjong. Sumber: Hoskins, M. editor, Cambridge Illustrated History of Astronomy, Cambridge Univ. Press, 1997.
Atas: Pandangan ke arah Pusat Galaksi kita. Kiri bawah: Galaksi Pusaran atau Messier 51, salah satu galaksi dekat tetangga Galaksi Bima Sakti. Kanan bawah: Nebula Rajawali atau Messier 16 di arah Rasi Waluku. Sumber: Digital Sky/HST/ESO.
Memasuki abad ke-20, ukuran Galaksi Bima Sakti (gambar di samping, panel atas) dan lokasi persis Matahari kita di dalamnya belum diketahui dengan pasti. Teka-teki kedua yang tidak kalah pentingnya adalah hakikat dari nebula-nebula yang banyak ditemukan di sekitar Matahari: Apakah mereka adalah sistem-sistem bintang yang setara dengan Galaksi Bima Sakti namun mandiri, ataukah mereka adalah bagian dari sistem Bima Sakti? Tanpa mengetahui informasi akurat mengenai jarak nebula-nebula ini, siapapun bebas berspekulasi. Nebula yang banyak diamati pada masa itu adalah nebula Andromeda dan nebula-nebula lainnya yang berbentuk spiral (gambar di samping, panel kiri bawah) maupun nebula-nebula lainnya yang bentuknya tak beraturan (gambar di samping, panel kanan bawah). Dilihat dengan teleskop pada akhir abad-19, kedua objek ini terlihat sama saja dan tidak bisa dibedakan mana yang lebih dekat ataupun lebih jauh jaraknya dari Matahari.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, menurut Immanuel Kant, objek-objek ini letaknya sangat jauh, berada di luar Galaksi Bima Sakti, dan merupakan sistem bintang yang menyerupai Bima Sakti namun independen, Mereka adalah “pulau-pulau kosmik.” Bagi astronom Harlow Shapley, nebula-nebula tersebut jaraknya relatif dekat dan merupakan bagian dari Galaksi Bima Sakti.
Harlow Shapley adalah orang yang berjasa mengukur dimensi Galaksi kita. Dengan menggunakan bintang jenis tertentu, ia dapat mengukur jarak yang sangat jauh dari Matahari kita, mencapai ribuan tahun cahaya.
Pada tahun 1920, diadakan debat terbuka antara Harlow Shapley dengan astronom Heber Curtis yang mengusung pendapat bahwa nebula-nebula tersebut adalah sistem yang independen. Dalam debat yang di kemudian hari dinamakan sebagai Debat Akbar (The Great Debate) ini, kedua pembicara memaparkan data pengamatan astronomi yang mendukung hipotesis mereka, akan tetapi debat ini tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti mengenai skala Galaksi dan alam semesta kita.
(Bersambung)