Laman

Game Reward

Game Reward

Saturday, 18 August 2012

Kajian Manhaj



Bersatu Dan Berpisah Karena Allah

Kondisi umat Islam yang berpecah sering
memunculkan keprihatinan. Dari beberapa tokoh Islam sering muncul
ajakan agar semua kelompok bersatu dalam satu wadah, tidak perlu
mempermasalahkan perbedaan yang ada karena yang penting tujuannya sama
yaitu memajukan Islam. Mungkinkah umat Islam bersatu dan bagaimana
caranya?

Kondisi umat Islam yang berpecah sering
memunculkan keprihatinan. Dari beberapa tokoh Islam sering muncul
ajakan agar semua kelompok bersatu dalam satu wadah, tidak perlu
mempermasalahkan perbedaan yang ada karena yang penting tujuannya sama
yaitu memajukan Islam. Mungkinkah umat Islam bersatu dan bagaimana
caranya?


Persatuan dan perpecahan merupakan dua kata yang saling berlawanan. 
Persatuan identik dengan keutuhan, persaudaraan, kesepakatan, dan
perkumpulan. Sedangkan perpecahan identik dengan perselisihan,
permusuhan, pertentangan dan perceraian.

Persatuan merupakan perkara yang diridhai dan diperintahkan oleh
Allah, sedangkan perpecahan merupakan perkara yang dibenci dan dilarang
oleh-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai. ” (Ali Imran: 103)
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah telah
memerintahkan kepada mereka (umat Islam, red) untuk bersatu dan
melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadits juga terdapat
larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul. ”
(Tafsir Ibnu Katsir, 1/367)
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Sesungguhnya
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan
kepada kita satu jalan yang wajib ditempuh oleh seluruh kaum muslimin,
yang merupakan jalan yang lurus dan manhaj bagi agama-Nya yang benar
ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan bahwasanya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanku yang
lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari
jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian agar
kalian bertaqwa. ” (Al-An’am: 153).

Sebagaimana pula Dia telah melarang umat Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dari perpecahan dan perselisihan pendapat, karena yang
demikian itu merupakan sebab terbesar dari kegagalan dan merupakan
kemenangan bagi musuh. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai. ” (Ali Imran: 103)
Dan firman-Nya ta’ala:
Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan ‘Isa, yaitu: ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kalian
berpecah belah tentangnya’. Amat berat bagi orang musyrik agama yang
kalian seru mereka kepada-Nya. ” (Asy-Syura: 13).
(Majmu’ Fataawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah, 5/202, dinukil dari
kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi
Al-Madkhali, hal. 176)
Asas dan Hakekat Persatuan
Asas bagi persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah,
bukanlah kesukuan, organisasi, kelompok, daerah, partai, dan lain
sebagainya. Akan tetapi asasnya adalah: Al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
pemahaman As-Salafush Shalih. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai. ” (Ali Imran: 103)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wa ta’ala
mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al Quran)
dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi
perselisihan. Ia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas
Al Qur’an dan As Sunnah secara keyakinan dan amalan, itulah sebab
keselarasan kata dan bersatunya apa yang tercerai-berai, yang dengannya
akan teraih maslahat dunia dan agama serta selamat dari perselisihan…”
(Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sebagaimana
tidak ada generasi yang lebih sempurna dari generasi para shahabat,
maka tidak ada pula kelompok setelah mereka yang lebih sempurna dari
para pengikut mereka. Maka dari itu siapa saja yang lebih kuat dalam
mengikuti hadits Rasulullah dan Sunnahnya, serta jejak para shahabat,
maka ia lebih sempurna. Kelompok yang seperti ini keadaannya, akan
lebih utama dalam hal persatuan, petunjuk, berpegang teguh dengan tali
(agama) Allah dan lebih terjauhkan dari perpecahan, perselisihan, dan
fitnah. Dan siapa saja yang menyimpang jauh dari itu (Sunnah Rasulullah
dan jejak para shahabat), maka ia akan lebih jauh dari rahmat Allah dan
lebih terjerumus ke dalam fitnah. ” (Minhaajus Sunnah, 6/368)
Oleh karena itu, walaupun berbeda-beda wadah, organisasi, yayasan
dan semacamnya, namun dengan syarat “tidak fanatik dengan ‘wadah’-nya
dan berada di atas satu manhaj”, berpegang teguh dengan Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman para
shahabat (As-Salafush Shalih), maka ia tetap dinyatakan dalam koridor
persatuan dan bukan bagian dari perpecahan.
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak
masalah jika mereka berkelompok-kelompok di atas jalan ini, satu
kelompok di Ib dan satu kelompok di Shan’a, akan tetapi semuanya berada
di atas manhaj salaf, mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, berdakwah di
jalan Allah dan ber-intisab kepada Ahlus Sunnah Wal Jamaah, tanpa ada
sikap fanatik terhadap kelompoknya. Yang demikian ini tidak mengapa,
walaupun berkelompok-kelompok, asalkan satu tujuan dan satu jalan
(manhaj). ” (At-Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, karya Dr. Utsman
bin Mu’allim Mahmud dan Dr. Ahmad bin Haji Muhammad, hal. 15).
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:
“Bila kita anggap bahwa di negeri-negeri kaum muslimin terdapat
kelompok-kelompok yang berada di atas manhaj ini (manhaj salaf, pen),
maka tidak termasuk kelompok-kelompok perpecahan. Sungguh ia adalah
satu jamaah, manhajnya satu dan jalannya pun satu. Maka
terpisah-pisahnya mereka di suatu negeri bukanlah karena perbedaan
pemikiran, aqidah dan manhaj, akan tetapi semata perbedaan letak/tempat
di negeri-negeri tersebut. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok dan
golongan-golongan yang ada, yang mereka itu berada di satu negeri namun
masing-masing merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya. ”
(Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 180).
Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa bila suatu persatuan
berasaskan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan pemahaman para shahabat (As-Salafush Shalih) maka itulah
sesungguhnya hakekat persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun terpisahkan oleh tempat.
Bahaya Perpecahan
Bila kita telah mengetahui bahwa hakekat persatuan yang diridhai
dan diperintahkan oleh Allah adalah yang berasaskan Al Qur’an dan As
Sunnah dengan pemahaman As-Salafush Shalih, maka bagaimana dengan
firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang ada di masyarakat kaum muslimin,
yang masing-masing berpegang dengan prinsip dan aturan kelompoknya,
saling bangga satu atas yang lain, loyalitasnya dibangun di atas
kungkungan ikatan kelompok, apakah sebagai embrio persatuan umat,
ataukah sebagai wujud perpecahan umat? Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak diragukan
lagi bahwa banyaknya firqah dan jamaah di masyarakat kaum muslimin
merupakan sesuatu yang diupayakan oleh setan dan musuh-musuh Islam dari
kalangan manusia. ” (Majmu’ Fataawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah, 5/204,
dinukil dari kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 177).
Beliau juga berkata: “Adapun berkelompok untuk Ikhwanul Muslimin
atau Jama’ah Tabligh atau demikian dan demikian, kami tidak
menasehatkannya, ini salah! Akan tetapi kami nasehatkan mereka semua
agar menjadi satu golongan, satu kelompok, saling berwasiat dengan
kebenaran dan kesabaran, serta bersandar kepada Ahlus Sunnah Wal
Jamaah. ” (At-Tahdzir Minattafarruqi wal Hizbiyyah, hal. 15).
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:
“Tidaklah asing bagi setiap muslim yang memahami Al Qur’an dan As
Sunnah serta manhaj As-Salafush Shalih, bahwasanya bergolong-golongan
bukan dari ajaran Islam, bahkan termasuk yang dilarang oleh Allah
subhanahu wa ta’ala dalam banyak ayat dari Al Qur’anul Karim, di
antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka. ” (Ar-Rum: 31-32). [Fataawa Asy-Syaikh
Al-Albani, karya ‘Ukasyah Abdul Mannan, hal. 106, dinukil dari Jama’ah
Wahidah Laa Jama’at, hal. 178]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Dan tidak diragukan lagi bahwa kelompok-kelompok ini menyelisihi apa
yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan
menyelisihi apa yang selalu dihimbau dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kalian semua, agama
yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka bertakwalah kepada-Ku. ”
(Al-Mu’minun: 52)
Lebih-lebih tatkala kita melihat akibat dari perpecahan dan
bergolong-golongan ini, di mana tiap-tiap golongan mengklaim yang
lainnya dengan kejelekan, cercaan dan kefasikan, bahkan bisa lebih dari
itu. Oleh karena itu saya memandang bahwa bergolong-golongan ini adalah
perbuatan yang salah. ” (At-Tahdzir Minattafarruqi wal Hizbiyyah, hal.
16).
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Agama kita adalah
agama persatuan, dan perpecahan bukanlah dari agama. Maka berbilangnya
jamaah-jamaah ini bukanlah dari ajaran agama, karena agama
memerintahkan kepada kita agar menjadi satu jamaah. ” (Muraja’at fii
Fiqhil Waaqi’ As Siyaasi wal Fikri, karya Dr. Abdullah bin Muhammad
Ar-Rifa’i rahimahullah, hal. 44-45).
Beliau juga berkata: “Hanya saja akhir-akhir ini, muncul
kelompok-kelompok yang disandarkan kepada dakwah dan bergerak di bawah
kepemimpinan yang khusus, masing-masing kelompok membuat manhaj
tersendiri, yang akhirnya mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan
pertentangan di antara mereka, yang tentunya ini dibenci oleh agama dan
terlarang di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. ” (Taqdim/Muqaddimah kitab
Jama’ah Wahidah Laa Jama’at).
Bukankah mereka juga berpegang dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah? Demikian terkadang letupan hati berbunyi.
Asy-Syaikh Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi berkata: “Jika benar apa
yang dinyatakan oleh kelompok-kelompok yang amat banyak ini, bahwa
mereka berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah, niscaya mereka tidak
akan berpecah belah, karena kebenaran itu hanya satu dan berbilangnya
mereka merupakan bukti yang kuat atas perselisihan di antara mereka,
suatu perselisihan yang muncul dikarenakan masing-masing kelompok
berpegang dengan prinsip yang berbeda dengan kelompok lainnya. Tatkala
keadaannya demikian, pasti terjadi perselisihan, perpecahan, dan
permusuhan. ” (An-Nashrul Azis ‘Alaa Ar Raddil Waziz, karya Asy-Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al Madkhali rahimahullah, hal. 46)
Pertanyaan Penting
1. Bagaimanakah masuk menjadi anggota kelompok-kelompok yang ada dengan tujuan ingin memperbaiki dari dalam ? Asy-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baaz rahimahullah berkata: “Adapun
berkunjung untuk mendamaikan di antara mereka, mengajak dan mengarahkan
kepada kebaikan dan menasehati mereka, dengan tetap berpijak di atas
jalan Ahlus Sunnah Wal Jamaah maka tidak apa-apa. Adapun menjadi
anggota mereka, maka tidak boleh. Dan jika mengunjungi Ikhwanul
Muslimin atau Firqah Tabligh dan menasehati mereka karena Allah seraya
berkata: ‘Tinggalkanlah oleh kalian fanatisme, wajib bagi kalian
(menerima) Al Qur’an dan As Sunnah, berpegang teguhlah dengan keduanya,
bergabunglah kalian bersama orang-orang yang baik, tinggalkanlah
perpecahan dan perselisihan’, maka ini adalah nasehat yang baik. ”
(At-Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, hal. 15-16)
2. Bukankah dengan adanya peringatan terhadap kelompok-kelompok yang
ada dan para tokohnya, justru semakin membuat perpecahan dan tidak akan
terwujud persatuan? Asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim Al-‘Utsman berkata: “Kebanyakan
orang-orang awam dari kaum muslimin kebingungan dalam permasalahan ini,
mereka mengatakan: ‘Mengapa sesama ulama kok saling memperingatkan satu
dari yang lain?!’ Di kalangan terpelajar pun demikian, mereka meminta
agar bantahan dan peringatan terhadap orang-orang yang salah dan
ahlulbid’ah dihentikan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan umat.
Mereka tidak mengetahui bahwa bid’ah-bid’ah, kesalahan-kesalahan dan
jalan yang berbeda-beda (dalam memahami agama ini, pen) justru
merupakan faktor utama penyebab perpecahan, dan faktor utama yang dapat
mengeluarkan manusia dari jalan yang lurus. Dengan tetap adanya
jalan-jalan yang menyimpang itu, tidak akan terwujud persatuan
selama-lamanya. ” (Zajrul Mutahaawin bi Dharari Qa’idah Al-Ma’dzirah
Watta’aawun, hal. 98)
Nasehat dan Ajakan
Asy-Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah Al-Jabiri berkata: “Tidak ada solusi
dari perpecahan, tercabik-cabiknya kekuatan dan rapuhnya barisan
kecuali dengan dua perkara:
Pertama: Menanggalkan segala macam bentuk penyandaran (atau
keanggotaan) yang dibangun di atas ikatan kelompok-kelompok nan sempit,
yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan.
Kedua: Kembali kepada jamaah Salafiyyah (yang bermanhaj salaf,
pen), karena sesungguhnya dia adalah ajaran yang lurus, dan cahaya
putih yang terang benderang, malamnya sama dengan siangnya, tidaklah
ada yang tersesat darinya kecuali orang-orang yang binasa. Dia adalah
Al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat, pen), dan At-Thaifah
Al-Manshurah (kelompok yang ditolong dan dimenangkan oleh Allah, pen).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ‘Tidak tercela bagi
siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar
kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati dan wajib diterima,
karena manhaj salaf pasti benar. ’. ” (Tanbih Dzawil ‘Uquulis Salimah
ilaa Fawaida Mustanbathah Minassittatil Ushulil ‘Azhimah, hal. 24).
Sungguh benar apa yang dinasehatkan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid bin
Abdullah Al-Jabiri, karena As-Salafiyyah tidaklah sama dengan
kelompok-kelompok yang ada. As-Salafiyyah tidaklah dibatasi
(terkungkung) oleh organisasi tertentu, kelompok tertentu, daerah
tertentu, pemimpin tertentu… suatu kungkungan hizbiyyah yang sempit,
bahkan As-Salafiyyah dibangun di atas Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman As-Salafush Shalih. Siapa
pun yang berpegang teguh dengannya maka ia adalah saudara, walaupun
dipisahkan oleh tempat dan waktu… suatu ikatan suci yang dihubungkan
oleh ikatan manhaj, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan para shahabatnya.



Berbai’At Kepada Waliyyul Amr, Imamatul Uzhma, Penguasa Tertinggi, Bukan kepada Amir atau Imam Kelompok Atau Jamaah

Adapun terkait perintah untuk berbai’at sebagaimana dinyatakan dalam hadits-hadits shahih, maka maksud berbai’at tersebut adalah kepada waliyyul amr atau imamatul uzhma (penguasa tertinggi). Bukan amir atau imam kelompok atau jamaah. Sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi t, saat menjelaskan kesesatan model bai’at yang diterapkan pada kelompok Ikhwanul Muslimin, bahwa sesungguhnya bai’at itu merupakan hak bagi imamatul a’la (penguasa tertinggi). Telah menjadi tabiat, dalam dakwah ditaburi beragam aral merintang. Jalan yang ditempuh dipenuhi onak duri. Curam, tajam, mendaki, dan banyak ranah terjal yang mesti dilalui. Tantangan demi tantangan akan senantiasa menghadang. Sulit tiada terperi. Duka nan lara pun akan datang silih berganti. Susul-menyusul bagai gelombang ombak yang tiada pernah berhenti. Potret tabiat dakwah ini secara nyata bisa dicermati dari perjalanan dakwah para nabi dan rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur’an telah banyak menggambarkan hal itu. Beragam tindak sarkasme seperti cemooh, menjuluki dengan sesuatu yang tiada patut, pelecehan, hardikan, dan kata-kata kasar lainnya kerap menghambur dari lisan orang-orang yang menyimpan hasad serta permusuhan terhadap dakwah dan pelaku dakwah. Tak hanya itu, boikot bahkan ancaman bunuh pun bisa mewarnai perjalanan dakwah. Cermati firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut:
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللهُ وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu, membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya. ” (Al-Anfal: 30)
Hanya orang-orang yang dikaruniai kesabaran yang kelak bertahan tegar menghadapi ujian. Kokoh dalam kancah dakwah. Cobaan yang menimpanya dihadapi dengan sabar seraya menanti saat tibanya pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur’an memberi gambaran betapa dahsyat ujian yang menimpa orang-orang terdahulu. Firman-Nya:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيبٌ Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (Al-Baqarah: 214)
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-’Ankabut: 2-3)
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar?” (Ali Imran: 142)
Para sahabat g pernah berkeluh kesah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait ujian yang menimpa saat memperjuangkan Islam. Hadits dari Khabbab bin Al-Art rahiyallahu ‘anhu bertutur tentang hal itu. Khabbab rahiyallahu ‘anhu berkata:
Kami berkeluh kesah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau tengah berbantal kain burdah dalam naungan Ka’bah. Kami berkata: “Tidakkah engkau memohonkan pertolongan bagi kami? Tidakkah engkau mendoakan kami?” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh telah terjadi pada orang-orang sebelum kalian, seorang lelaki diambil lantas ditanam dalam tanah. Dalam keadaan seperti itu, kemudian didatangkan gergaji yang diletakkan di atas kepalanya. Maka (akibat digergaji) jadilah kepalanya terbelah dua. Lantas tubuhnya disisir dengan sisir yang terbuat dari besi hingga mengelupas daging dari tulangnya. Namun demikian, tidaklah hal itu menjadikan dia terhalang dari agamanya (dia tetap kokoh dalam agamanya). Sungguh Allah akan menyempurnakan agama ini hingga orang yang berkendaraan tidak merasa takut, kecuali hanya kepada Allah, saat melintas dari Shan’a ke Hadramaut. Begitu pula tanpa takut serigala akan memakan kambingnya. Akan tetapi kalian bersikap tergesa-gesa. ” (HR. Al-Bukhari no. 6943)
Dalam menjelaskan hadits tersebut, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu mengungkapkan, (hadits) ini merupakan isyarat perihal wajibnya bersabar kala menghadapi cobaan dalam menunaikan agama. (Syarhu Shahih Al-Bukhari, 9/356)
Sesungguhnya sikap sabar kepada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam menghadapi cobaan merupakan salah satu sebab (seseorang) masuk surga. Karena sesungguhnya makna ayat (dari surat Al-Baqarah: 214) yaitu bersabarlah kalian hingga kalian masuk surga. (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 3/42)
Dalam kehidupan dakwah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun banyak mengalami gangguan dan tantangan. Tengoklah bagaimana ujian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat bertandang ke Thaif. Berupaya menyampaikan Islam dengan penuh kasih sayang dan rahmah. Namun, apa yang beliau terima sebagai balasan? Tiada lain sikap sarkasme penduduk Thaif. Beliau menetap di Thaif selama sepuluh hari. Tak tertinggal satu orang pun dari tokoh-tokoh mereka untuk didatangi dan diajak kepada Islam. Akan tetapi, mereka tak mau menerima dakwah beliau, bahkan mengusir dan memprovokasi orang-orang jelata yang bodoh untuk melempari batu serta mencaci-maki beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Darah pun mengalir dari tubuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Hingga kedua sandal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terwarnai darah yang keluar dari tubuh. Begitu pun yang dialami Zaid bin Haritsah rahiyallahu ‘anhu yang turut mendampingi beliau berdakwah ke Thaif. Sahabat mulia satu ini melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tubuhnya. Maka kepalanya pun terluka. Caci-maki dan lemparan batu terus ditimpukkan ke arah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Haritsah rahiyallahu ‘anhu oleh orang-orang bodoh Thaif, hingga beliau sampai di pinggiran kebun anggur milik ‘Utbah dan Syaibah, yang merupakan putra Rabi’ah.
Apa yang menimpa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak cuma itu. Persekongkolan kaum musyrikin untuk membinasakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa diupayakan sekeras-kerasnya. Bahkan mereka melakukan satu tindakan untuk membunuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah ujian dalam dakwah. Ujian yang selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang merindukan surga dengan segala kenikmatan di dalamnya. Dari Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu, sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
“Neraka itu dihijab (dipagari/dikelilingi) dengan syahwat, sedangkan surga dihijab dengan hal-hal yang tidak menyenangkan (dibenci). ” (HR. Al-Bukhari no. 6487)
Yang dimaksud bil makarih (yang tidak menyenangkan) dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang diperintahkan terhadap orang-orang yang telah terkena kewajiban menunaikan syariat agar dirinya bersungguh-sungguh dalam mengerjakan (kebaikan) dan meninggalkan (hal yang dilarang). Seperti, bersegera menunaikan berbagai peribadatan dan menjaganya, serta menjauhi segala macam larangan baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Dikatakan al-makarih (tidak disenangi) lantaran tingkat kesulitan dalam menggapai surga, sehingga memerlukan kesabaran terhadap berbagai musibah yang menimpa dan sikap pasrah diri (patuh) dalam menunaikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan yang dimaksud kata bisy-syahawat yaitu segala sesuatu yang bisa mengundang kenikmatan pada perkara-perkara dunia padahal itu dilarang oleh syariat. Terkait syahwat ini juga, yaitu segala sesuatu yang dikhawatirkan mengantarkan seseorang terjatuh pada yang haram. (Fathul Bari, 11/360)
Adapun menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, yang dimaksud kata hujibat pada hadits tersebut yaitu memagari (mengelilingi). Neraka adalah tempat syahwat, yang orang-orang tak akan merasa tenang kecuali dengan mengikuti syahwat mereka, seperti syahwat zina, homoseksual, minum khamr, mencuri, sombong, dan segala bentuk kerusakan tersebut adalah syahwat. Yang semua ini melingkupi neraka. Karena hal-hal ini pula banyak manusia yang bermewah-mewah terjatuh ke dalam neraka. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَصْحَابُ الشِّمَالِ مَا أَصْحَابُ الشِّمَالِ. فِي سَمُومٍ وَحَمِيمٍ. وَظِلٍّ مِنْ يَحْمُومٍ. لَا بَارِدٍ وَلَا كَرِيمٍ. إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ
“Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan air yang panas yang mendidih, dan dalam naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewah-mewah. ” (Al-Waqi’ah: 41-45)
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. ” (Al-Isra’: 16)
Adapun surga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disenangi, karena sesungguhnya beramal kebaikan itu adalah sesuatu yang tidak disukai oleh jiwa yang dikendalikan kejelekan. Maka terjadilah pada kalangan manusia, tatkala beramal kebaikan jiwanya tidak menyukai atau benci mengerjakan kebaikan tersebut. Padahal beramal kebaikan itu akan mengantarkan dirinya ke surga. (Syarhu Shahih Al-Bukhari, 8/382)
Maka, sudah menjadi kemestian bahwa sikap sabar dalam menyebarkan nilai-nilai kebajikan harus tertancap kukuh di dada setiap pejuang dakwah.
Pada musim haji tahun ke-11 dari kenabian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan penduduk Yatsrib (Madinah). Mereka menyatakan memeluk Islam dan berjanji untuk menyampaikan risalah Islam kepada kaumnya. Kemudian pada musim haji berikutnya, yaitu tahun ke-12 dari kenabian, 12 orang penduduk Madinah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka terdiri dari lima orang yang pernah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada musim haji sebelumnya, selain Jabir bin Abdillah bin Ri’ab yang pada tahun itu tidak bisa hadir. Adapun tujuh orang lagi yaitu Mu’adz bin Al-Harits (Ibnu ‘Afra dari Bani Najjar, Khazraj), Dzakwan bin Abdil Qais (Bani Zuraiq, Khazraj), Ubadah bin Ash-Shamit (Bani Ghanmin, Khazraj), Yazid bin Tsa’labah (Khazraj), Al-’Abbas bin Ubadah bin Nadhlah (Bani Salim, Khazraj), Abul Haitsam bin At-Tayyahan (Bani Abdil Asyhal, Aus), dan ‘Uwaim bin Sa’adah (Bani ‘Amr bin ‘Auf, Aus). Hanya dua orang dari suku Aus sedangkan sisanya dari kalangan suku Khazraj. Mereka semua datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di satu tempat bernama ‘Aqabah, yang masih termasuk wilayah Mina. Mereka diajak untuk berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Kemarilah, berbai’atlah kepadaku,” kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun lantas berbai’at bahwasanya tidak akan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak, tidak akan mendatangkan (kesaksian) dusta yang diada-adakan antara tangan-tangan dan kaki-kaki mereka (seperti menuduh zina), tidak akan bermaksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal yang baik. Barangsiapa yang memenuhi bai’at tersebut maka balasannya atas tanggungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa melanggar bai’at tersebut maka sanksinya bakal diperoleh di dunia, dan itu berarti kaffarah (penghapus) bagi dosanya. Tapi bila yang melanggar lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala menutupinya, maka terserah kepada Allah l kelak di akhirat. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki disiksa, maka dia akan disiksa. Jika Allah l menghendaki dengan ampunan-Nya, maka dia akan mendapatkan maaf (ampunan). Demikian peristiwa bai’at pertama dalam lintasan sejarah Islam. Bai’at yang syar’i. Dalam catatan sejarah, bai’at ini dikenal dengan Bai’at Aqabah Pertama.
Setahun kemudian, yakni pada musim haji pula, 73 orang Madinah yang telah muslim datang ke Makkah sebagai orang-orang yang hendak berhaji, ditambah dua orang wanita, yaitu Nusaibah bintu Ka’b dan Asma’ bintu ‘Amr. Mereka pun bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berbai’at kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Wahai Rasulullah, kami berbai’at kepadamu,” kata mereka. “Untuk apa saja kami berbai’at kepadamu?” lanjut mereka. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut rincian bai’at. Yaitu untuk: “Mendengar dan taat baik dalam keadaan bersemangat ataupun malas, berinfak kala sulit ataupun mudah, menunaikan amar ma’ruf nahi munkar, beristiqamah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tak akan mudah terpengaruh meski orang-orang mencela, menolongku (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) apabila aku datang kepada kalian, serta akan melindungiku seperti mereka melindungi istri dan anak kalian. Maka, (jika semua itu ditunaikan) bagi kalian surga. ” Inilah bai’at Aqabah yang kedua, atau dikenal pula sebagai bai’at Aqabah Al-Kubra. (Ar-Rahiqul Makhtum, hal. 165-172)
Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dikenal pula Bai’at Ar-Ridhwan. Sebuah bai’at nan agung. Kisah ini berawal dari keinginan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melangsungkan umrah. Pada tahun Hudaibiyah tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak berkunjung ke Baitullah dan bukan bertujuan untuk berperang. Namun apa yang dicita-citakan ternyata mengalami hambatan. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Dzul Hulaifah, beliau dan rombongan yang berjumlah 1. 400 orang menambatkan hewan-hewan yang dibawanya, lantas berihram untuk umrah. Beliau terus berjalan hingga tiba di daerah Usfan. Saat itulah, ada yang memberitahu bahwa orang-orang Quraisy yang musyrik telah melakukan mobilisasi massa dan bersiap untuk bertempur. Pasukan kaum musyrikin Quraisy itu sendiri saat itu telah berada di daerah Dzu Thuwa. Mereka benar-benar menghalangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya untuk masuk ke Baitul Haram. Maka, terjadilah negosiasi antara kedua belah pihak. Pada awalnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengutus Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu ke pihak kaum musyrikin. Namun atas pertimbangan bahwa di Makkah tidak ada orang dari Bani ‘Adi bin Ka’b yang bisa memberi perlindungan kepada Umar, maka rencana mengutus Umar dibatalkan. Umar pun lantas mengusulkan agar yang diutus ke Makkah adalah Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu. Maka berangkatlah Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu ke Makkah, beliau menemui Aban bin Sa’id bin Al-’Ash. Melalui Aban bin Sa’id bin Al-Ash ini, Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu mendapatkan kekebalan diplomatik. Di Makkah, Utsman rahiyallahu ‘anhu berhasil menemui Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy lainnya lalu menyampaikan apa yang menjadi misinya. Pihak Quraisy lantas menahan Utsman rahiyallahu ‘anhu lantaran mereka ingin bermusyawarah. Namun penahanan Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu ini menimbulkan berita simpang siur. Berita yang tersebar menyatakan bahwa Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu telah dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Atas tersiarnya berita ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil para sahabat untuk berbai’at. Mereka pun berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak melarikan diri dan berjuang hingga tetes darah penghabisan, yaitu hingga mati. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil bai’at ini di bawah pohon. Bai’at inilah yang dikenal kemudian sebagai Bai’at Ar-Ridhwan. Berkenaan dengan bai’at ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat-Nya:
لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. ” (Al-Fath: 18)
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. ” (Al-Fath: 10)
Dampak dari adanya Bai’at Ar-Ridhwan ini, kaum musyrikin menjadi gentar. Sehingga melahirkan perjanjian Hudaibiyah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/224-229, dan Ar-Rahiqul Makhtum hal. 351-352)
Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat g berbai’at kepada para khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; Abu Bakr, Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib g.
Namun setelah berlalu generasi utama, datanglah generasi yang mengada-ada dalam masalah bai’at ini. Muncul di kalangan Sufi apa yang disebut dengan bai’at thariqah (tarekat). Muncul pula kemudian bai’at-bai’at di kalangan jamaah Islamiyah. Masing-masing kelompok atau jamaah memberlakukan bahkan mewajibkan melakukan bai’at kepada imam atau amir kelompok atau jamaahnya. Hadits-hadits terkait masalah keamiran atau keimamahan pun dipelintir habis guna kepentingan sang amir/imam atau guna kepentingan kelompok/jamaahnya. Misal, hadits dari Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim (no. 1484):
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan berpisah (menyempal) dari jamaah, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah. ”
Hadits lain, misal hadits dari Ibnu Umar rahiyallahu ‘anhuma:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan, dia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah padanya. Barangsiapa mati dan di lehernya tidak terikat bai’at, dia mati dalam keadaan jahiliah. ” (HR. Muslim no. 1851)
Merebaklah bai’at-bai’at hizbiyyah (kekelompokan). Masing-masing jamaah mengangkat imam atau amir, lalu mereka pun memberlakukan bai’at pada kelompoknya. Muncullah kebingungan pada sebagian pemuda muslim saat melihat begitu banyak jamaah. Mereka bingung hendak ke mana mereka bergabung. Sungguh, tidak diragukan lagi bahwa dampak buruk dari adanya bai’at-bai’at hizbiyah, atau namanya dikemas dengan nama selain bai’at, seperti ‘ahd (perjanjian) atau ‘aqd (ikatan), justru menimbulkan perpecahan pada tubuh umat Islam, mencerai-beraikan umat menjadi bergolong-golongan, menimbulkan permusuhan dan kebencian satu dengan lainnya.
Terhadap bai’at-bai’at hizbiyah atau bai’at-bai’at thariqah, maka tidak wajib menaati. Bahkan hal yang demikian wajib ditinggalkan. Ini semua lantaran bentuk-bentuk bai’at semacam itu tidak diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak diperbuat oleh generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Bai’at-bai’at semacam itu justru menjadikan pelakunya terjatuh pada dosa karena dia telah melakukan perbuatan bid’ah, mengada-ada satu bentuk amalan tanpa ada contoh atau perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun terkait perintah untuk berbai’at sebagaimana dinyatakan dalam hadits-hadits shahih, maka maksud berbai’at tersebut adalah kepada waliyyul amr atau imamatul uzhma (penguasa tertinggi). Bukan amir atau imam kelompok atau jamaah. Sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi t, saat menjelaskan kesesatan model bai’at yang diterapkan pada kelompok Ikhwanul Muslimin, bahwa sesungguhnya bai’at itu merupakan hak bagi imamatul a’la (penguasa tertinggi). Barangsiapa yang mengambil bai’at selain imamatul a’la, sungguh dia telah melakukan bid’ah (mengada-ada) dalam urusan agama. Dia melakukan bid’ah yang jelek.
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Jika dibai’at dua khalifah, maka bunuhlah oleh kalian yang lain (yang terakhir dibai’at) dari keduanya (yang mengeksekusi adalah pemerintah yang sah, red. ). ” (HR. Muslim no. 1853, dari Abu Sa’id Al-Khudri rahiyallahu ‘anhu) [Al-Mauridu Al-’Adzbu Az-Zalal, hal. 214]
Lantaran bai’at-bai’at thariqah atau bai’at-bai’at hizbiyah tidak ada asalnya dalam syariat, maka ikatan janjinya tidak mengikat, tidaklah berdosa untuk menggugurkan dan melepaskan bai’at semacam itu.
Wallahu a’lam.



Adab Menuntut Ilmu oleh Ustadz Muhammad bin Umar As-Sewed

Berkata Abu Zakariya Yaha bin Muhammad Al-Anbari -rahimahullah-: “Ilmu tanpa adab seperti api tanda kayu bakar sedangkan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80) Adab mencari ilmu mutlak diperlukan, bahkan para Salafush Shalih mendidik anak-anaknya dengan adab sebelum membawanya ke majelis ilmu.
Berkata Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri -rahimahullah-: “Mereka dulu tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu hingga mereka belajar adab dan dididik ibadah hingga 20 tahun”. (Hilyatul-Aulia Abu Nuaim 6/361) Berkatalah Abdullah bin Mubarak -rahimahullah-: “Aku mempelajari adab 30 tahun dan belajar ilmu 20 tahun, dan mereka dulu mempelajari adab terlebih dahulu baru kemudian mempelajari ilmu”. (Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro 1/446)
Dan beliau juga berkata: “Hampir-hampir adab menimbangi 2/3 ilmu”. (Sifatus-shofwah Ibnul-Jauzi 4/120) Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sanadnya kepada Malik bin Anas, dia berkata bahwa Muhammad bin Sirrin berkata (-rahimahullah-): “Mereka dahulu mempelajari adab seperti mempelajari ilmu”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/49) Berkata Abullah bin Mubarak: “Berkata kepadaku Makhlad bin Husain -rahimahullah-: “Kami lebih butuh kepada adab walaupun sedikit daripada hadits walaupun banyak”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Mengapa demikian ucapan para ulama tentang adab? Tentunya karena ilmu yang masuk kepada seseorang yang memiliki adab yang baik akan bermafaat baginya dan kaum muslimin. Berkata Abu Zakariya Yaha bin Muhammad Al-Anbari -rahimahullah-: “Ilmu tanpa adab seperti api tanda kayu bakar sedangkan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Niat Ikhlas Karena menuntut ilmu adalah ibadah bahkan setinggi-tingginya ibadah kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- maka kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah hanya kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Allah berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus“. (Al-Bayyinah:5) Beramal dengan Ilmu Allah -Subhanahu wa Ta’ala- sangat marah kepada mereka-mereka yang berbicara tentang ilmu sedangkan dia sendiri tidak beramal, Allah sebutkan dalam Al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan“. (As-Shaff:2-3)
Sabar, Tidak Terburu-Buru
Seorang pencari ilmu seringkali terbawa semangat, sehingga ia ingin dalam waktu yang relatif singkat untuk mendapatkan semua bidang ilmu. Ingatlah bahwa ilmu ini agama yang tidak terpisah dari amal, bukan hanya sekedar mengetahui dan menghafal. Maka pelajarilah secara bertahap dari yang paling penting, kemudian berikutnya, kemudian berikutnya. Tidak mungkin dengan belajar sebulan sampai dua bulan ia menjadi ulama atau dalam waktu singkat dia menjadi pakar hadits yang menshahihkan dan mendhoifkan hadits atau menjadi ahli fiqih yang dapat mengumpulkan hukum dari ayat-ayat dan hadits.
Para Ulama terdahulu mereka belajar dari sejak kecil sampai 30 tahun baru mempelajari ilmu hadits apalagi meriwayatkan hadits.



Bai, Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal

Bai’at merupakan perkara yang disyariatkan berdasarkan nash-nash yang terdapat di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebab bai’at merupakan salah satu cara dalam menampakkan bentuk ketaatan seseorang terhadap pemimpinnya
Definisi bai’at
Bai’at secara bahasa berasal dari kata بَايَعَ-مُبَايَعَةٌ yang bermakna saling mengikat janji. Disebut mubaya’ah karena diserupakan seperti dua orang yang saling menukar harta, di mana salah satunya menjual hartanya kepada yang lain. (Lihat Lisanul ‘Arab 8/26, ‘Umdatul Qari 1/154, Tajul ‘Arus 20/370)
Adapun secara istilah, diterangkan oleh Badruddin Al-’Aini rahimahullahu:
عَقْدُ الْإِمَامِ الْعَهْدَ بِمَا يَأْمُرُ النَّاسَ بِهِ
“Seorang imam mengikat perjanjian (untuk taat) terhadap apa yang dia perintahkan kepada manusia. ” (‘Umdatul Qari, 1/154)
Ibnu Khaldun mengatakan, “Bai’at adalah perjanjian untuk taat. Di mana orang yang berbai’at telah berjanji kepada amir (pemimpin)nya untuk menyerahkan pandangannya dalam menentukan urusan dirinya dan kaum muslimin, tidak menyelisihinya dalam hal tersebut, serta menaati apa yang dibebankan kepada dirinya berupa perintah baik di saat semangat maupun terpaksa. ” (Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 209)
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa inti dari bai’at tersebut adalah kewajiban orang yang telah berbai’at kepada orang yang dia telah berbai’at kepadanya untuk menjalankan serta taat terhadap apa yang telah menjadi ketetapan dan perintahnya.
Hukum bai’at
Bai’at merupakan perkara yang disyariatkan berdasarkan nash-nash yang terdapat di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebab bai’at merupakan salah satu cara dalam menampakkan bentuk ketaatan seseorang terhadap pemimpinnya. Di antara nash yang menunjukkan disyariatkannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). ” (Al-Fath:18)
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Wahai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka serta tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang. ” (Al-Mumtahanah:12)
Adapun hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَعَلَى أَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا لَا نَخَافُ في اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“Kami telah membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu mendengar dan taat (kepada penguasa) baik di saat susah maupun mudah, semangat atau terpaksa, dan di saat mereka merampas hak-hak kami, dan kami tidak boleh melepaskan ketaatan kepadanya, dan agar mengatakan kebenaran di mana pun kami berada, kami tidak takut karena Allah kepada celaan orang yang mencela. ” (HR. Muslim no. 1709)
Demikian pula ucapan Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu: “Aku membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan memberi nasihat kepada setiap muslim. ” (Muttafaqun ‘alaihi)
Bahkan dalil-dalil menunjukkan bahwa setiap muslim wajib berbai’at kepada pemimpin dan penguasa negerinya, serta diharamkan menyelisihinya dan keluar dari ketaatan kepadanya dalam perkara-perkara yang bukan merupakan bentuk maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diriwayatkan dari Abdulah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melepaskan ketaatannya maka dia bertemu Allah dalam keadaan tidak memiliki hujjah dan barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbai’at maka dia mati seperti mati jahiliah. ” (HR. Muslim no. 1851)
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ ثُمَّ مَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama’ah lalu dia mati, maka dia mati seperti mati jahiliah. ” (HR. Muslim no. 1848)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ
“Siapa yang datang kepada kalian dalam keadaan kalian telah sepakat terhadap satu orang (untuk jadi pemimpin) lalu dia ingin merusak persatuan kalian dan memecah jama’ah kalian maka bunuhlah dia. ” (HR. Muslim no. 1852)
Masih banyak lagi dalil-dalil yang semakna dengannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil wajibnya taat kepada imam (penguasa) yang telah disepakati untuk dibai’at, serta diharamkan melakukan pemberontakan terhadapnya, meskipun dia (penguasa tersebut) berbuat zalim dalam menetapkan hukum. Dan bai’at tidak tercabut karena adanya kefasikan yang diperbuatnya. ” (Fathul Bari, 1/72)


Friday, 17 August 2012

Manhaj/Methodology


Sikap Dan Adab Ahlus Sunnah Kepada Para Sahabat

Namun sangat disayangkan, pada hari ini mencul generasi yang jelek berusaha merendahkan sahabat, menghina, bahkan menganggap mereka munafiq dan kafir, na’udzu billah. Usaha merendahkan dan mencela sahabat, ini dengan berbagai macam. Ada yang menghina sahabat dengan alasan “Study Kritis Sejarah Islam”, “Pembelaan Terhadap Ahlul Bait”, dan berbagai macam slogan yang berakhir pada satu muara, yaitu mencela sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- .
Para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- merupakan generasi terbaik yang dipilih oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- untuk menemani Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam memperjuangkan, dan menyebarkan Islam. Jasa mereka kepada Islam dan kaum muslimin amat besar.
Namun sangat disayangkan, pada hari ini mencul generasi yang jelek berusaha merendahkan sahabat, menghina, bahkan menganggap mereka munafiq dan kafir, na’udzu billah. Usaha merendahkan dan mencela sahabat, ini dengan berbagai macam. Ada yang menghina sahabat dengan alasan “Study Kritis Sejarah Islam”, “Pembelaan Terhadap Ahlul Bait”, dan berbagai macam slogan yang berakhir pada satu muara, yaitu mencela sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- .
Ini tentunya menyalahi adab dan aqidah ahlus sunnah yang memerintahkan kita memuliakan sahabat, memujinya, mendoakan kebaikan baginya, dan menahan lisan dan hati untuk benci kepada mereka. Mencela sahabat, apalagi sampai menganggapnya munafik, telah berbuat makar, dan mengkafirkannya adalah merupakan perkara yang berbahaya bagi aqidah seorang muslim. Seorang muslim harus membersihkan lisan dan hatinya dari kata-kata yang tidak layak, sifat benci dan dendam kepada para sahabat -radhiyallahu anhum ajma’in-, apakah ia dari kalangan orang-orang terdahulu masuk Islam ataukah belakangan. Yang jelas ia adalah sahabat Nabi-shollallahu alaihi wasallam-, maka kita harus beradab dan sopan kepada mereka dalam berkata dan bersikap.
Cinta para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, baik itu ahlul bait maupun bukan merupakan tanda keimanan seseorang, dan membenci mereka adalah tanda nifaq. Al-Imam Al-Bukhary -rahimahullah- berkata dalam kitab Shahih-nya (1/14/17),“Bab Tanda Keimanan Adalah Cinta Kepada Orang-Orang Anshar”. Setelah itu Al-Bukhary membawakan sebuah hadits dari Anas -radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ بُغْضُ اْلأَنْصَارِ وَآيَةُ الْمُؤْمِنِ حُبُّ اْلأََنْصَارِ
“Tanda kemunafiqan itu adalah membenci orang-orang Anshar dan tanda keimanan itu adalah mencintai orang-orang Anshar”.
Imam As-Suyuthiy -rahimahullah- berkata dalam Ad-Dibaj (1/92) ketika menafsirkan hadits di atas, “Tanda-tanda orang beriman adalah mencintai orang-orang Anshar karena siapa saja yang mengerti martabat mereka dan apa yang mereka persembahkan berupa pertolongan terhadap agama Islam, jerih-payah mereka memenangkannya, menampung para sahabat (muhajirin,pen), cinta mereka kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, pengorbanan jiwa dan harta mereka di depan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, permusuhan mereka terhadap semua orang (kafir) karena mengutamakan Islam dan mencintainya, maka semua itu merupakan tanda kebenaran imannya, dan jujurnya dia dalam berislam. Barangsiapa yang membenci mereka dibalik semua pengorbanan itu, maka itu merupakan tanda rusak dan busuknya niat orang ini”.
Dalam sebuah hadits Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda dalam menerangkan martabat para sahabat,
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْا أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Andaikan seorang di antara kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, niscaya infaq itu tak mampu mencapai satu mud infaq mereka, dan tidak pula setengahnya” . [HR. Al-Bukhary dalam Ash-Shahih (3470), Muslim dalam Ash-Shahih (2541) dan lainnya].
Dari dua hadits ini dan hadits lainnya yang semakna, Ahlis Sunnah menetapkan suatu aqidah: “Wajibnya mencintai para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan tidak mencela mereka, bahkan memuliakan mereka serta membersihkan hati dan lisan dari membicarakan permasalahan di antara para sahabat, mencela, merendahkan dan menghina para sahabat”. Sebab merekalah yang memperjuangkan Islam dan menyebarkannya dengan mengorbankan harta dan jiwa mereka sampai kita juga bisa merasakan nikmat Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-rahimahullah- berkata, “Di antara prinsip Ahlus Sunnah: Selamatnya hati dan lisan mereka dari sahabat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam- dan berlepas diri dari jalan hidupnya orang-orang Rofidhoh yang membenci dan mencela para sahabat. Mereka (Ahlussunnah) menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara mereka, dan berkata: [‘Sesungguhnya atsar-atsar yang teriwayatkan mengenai kejelekan para sahabat, di antaranya ada berita dusta, ada juga yang sudah ditambahi dan dikurangi, serta diubah dari semestinya’]. Para sahabat lebih dahulu berislam, dan memiliki keutamaan-keutamaan yang mengharuskan diampuninya dosa yang ada pada dari mereka, apabila ada. Sehingga mereka diampuni dari segala kekeliruan yang tidak diampuni bagi orang setelah mereka. Lalu jika ada dosa pada salah seorang di antara mereka, maka mereka (tentunya) akan bertaubat darinya, atau ia melakukan kebaikan yang bisa menghapuskan dosanya atau diampuni dosanya karena keutamaan dahulunya masuk Islam, atau karena syafa’at Nabi Muhammad -shollallahu ‘alaihi wasallam- kepada mereka, yangmana mereka adalah orang yang lebih berhak mendapatkan syafa’atnya, ataukah ia ditimpakan suatu bala’ di dunia yang bisa menghapuskan dosanya. Jika ini hubungannya dengan dosa yang nyata, maka bagaimana lagi dengan perkara yang mereka di dalamnya berijtihad? Jika mereka benar, maka mereka mendapatkan dua pahala. Jika keliru, maka mereka mendapat satu pahala, sedangkan kesalahannya terampuni”. [Lihat Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 139-152) karya Syaikh Shaleh Al-Fauzan, dengan sedikit perubahan tanpa merusak dan mengubah makna].
Orang Rafidhah yang disebut oleh Syaikhul Islam, mereka adalah berasal dari orang-orang majusi yang mengaku masuk Islam dengan tujuan merusak Islam dari dalam. Mereka berkedok dengan pembelaan bagi Ahlul Bait dalam rangka mencela, bahkan sabahat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- agar Islam hancur. Sekarang Rofidhoh (baca:Syi’ah) bermarkas di Iran. Karenanya, kami ingatkan kaum muslimin agar berhati-hati terhadap mereka dan jauhkan anak-anak kita dari mereka, jangan sampai di sekolahkan di negeri mereka (khususnya, di Qum, Iran), hanya karena diiming-imingi dengan dunia dan gelar, sementara ia rela mengorbankan aqidah. Na’udzu billah minal khudzlan.
Hal ini perlu kami jelaskan, karena orang-orang Rafidhah (terkenal dengan sebutan Syi’ah) belakangan ini banyak merasuki dunia kampus, dan sebagian oragnisasi dakwah. Selain itu, mereka memakai senjata “nikah mut’ah” (nikah kontrak/nikah tanpa wali) banyak mahasiswa yang terpengaruh dengan mereka karenanya. Apalagi nikah mut’ah dibumbui dengan janji-janji pahala dan keutamaan. Ketahuilah, mereka adalah kaum yang memiliki niat busuk dalam mencela sahabat Nabi kita -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Al-Imam Al-Ajury-rahimahullah- berkata, “Seyogyanya bagi orang yang mau mentadabburi apa yang telah kami torehkan berupa keutamaan-keutaan para sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam- dan keluarga beliau -radhiyallahu anhum ajma’in- agar mencintai mereka, mendoakan rahmat bagi mereka, memohonkan ampunan bagi mereka, mencari jalan kepada Allah untuk mereka, juga bersyukur kepada Allah karena ia diberi taufiq (petunjuk) kepada hal ini, serta tidak menyebutkan perselisihan yang terjadi di antara mereka, dan mengorek-ngoreknya, dan tidak pula mencari-carinya”. [Lihat Asy-Syari’ah, hal. 2485 karya Al-Ajurriy. ]
Oleh karena itu, tak wajar jika seorang muslim menyebarkan hadits yang berisi kisah celaan kepada Tsa’labah, karena termasuk perkara yang dilarang Ahlus Sunnah, kecuali jika kita sebutkan hadits itu demi menjelaskan kelemahan dan kepalsuannya, maka tak mengapa. Bahkan bisa mendapatkan pahala karena membela kehormatan sahabat Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-. Al-Imam An-Naqid Abu Zur’ah Ar-Rozy-rahimahullah- berkata, “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam-, maka ketahui bahwa orang itu zindiq. Karena Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- di sisi kami benar, dan Al-Qur’an adalah kebenaran. Sedangkan yang menyampaikan Al-Qur’an ini kepada kami adalah para sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam-. Mereka (para pencela tersebut) hanyalah berkeinginan untuk menjatuhkan saksi-saksi kami agar mereka bisa membatalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Padahal celaan itu lebih pantas bagi mereka, sedang mereka adalah orang-orang zindiq”. [Lihat Al-Kifayah, hal. 49 karya Al-Khathib Al-Baghdadiy] Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawy-rahimahullah- berkata dalam menjelaskan aqidah Ahlussunnah, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah -shollallahu alaihi wasallam-, tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antara mereka,dan tidak berlepas diri dari salah seorang di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan menyebutnya bukan dalam kebaikan. Kita tidak menyebut para sahabat kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, keimanan,dan kebaikan. Sedang membenci mereka merupakan kekufuran, kemunafikan, dan pelampauan batas”. [Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah, hal. 689 karya Ibnu Abil Izz Al-Hanafy. ] Al-Imam Abu Hanifah -rahimahullah- berkata, “Al-Jama’ah: Engkau mengutamakan Abu Bakar, Umar , Ali, dan Utsman, dan engkau tidak mencela salah seorang diantara sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam- “. [Lihat Al-Intiqo’ fi fadho’il Ats-Tsalatsah Al-A’immah, hal. 163 karya Ibnu Abdil Barr, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah]
Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas-rahimahullah- berkata, “Orang yang mencela para sahabat Nabi -shollallahu alaihi wasallam- tidak memiliki saham-atau ia berkata:- bagian dalam Islam”. [Lihat As-Sunnah (1/493) karya Al-Khollal] Al-Imam Al-Humaidy -rahimahullah- berkata, “Kita tidaklah diperintah kecuali untuk memohonkan ampunan bagi mereka (sahabat). Barangsiapa yang mencela mereka atau meremehkan mereka atau salah seorang dari mereka, maka ia bukanlah di atas sunnah, dan ia tidak memiliki bagian dari fa’i (rampasan perang)”. [Lihat Ushul As-Sunnah, hal. 43 karya Al-Humaidy] Al-Imam Ahmad bin Hambal - rahimahullah- berkata, “Barangsiapa mencela (sahabat), maka aku takutkan kekufuran atas dirinya, seperti orang-orang Rofidhoh. ” Lalu beliau berkata lagi, “Barangsiapa yang mencela para sahabat Rasulullah–shollallahu alaihi wasallam- , maka kami tak merasa aman atas dirinya kalau ia akan keluar dari agama”. [Lihat As-Sunnah (1/439) karya Al-Khollal]
Inilah beberapa pernyataan dari para ulama Ahlussunnah tentang orang yang mencela sahabat. Maka janganlah anda tertipu dengan sebagian orang yang berusaha mencela mereka sekalipun dengan istilah dan slogan “Studi Kritis Terhadap Sejarah Hidup Para Sahabat”. Karena ini, bukanlah jalannya Ahlussunnah, bahkan jalannya orang-orang Rofidhoh, dan orientalis yang ingin meruntuhkan Islam dengan jalan mencela dan merendahkan para sahabat. Kenapa? Karena dengan mencela mereka otomatis akan menolak riwayat yang disampaikan oleh para sahabat berupa hadits-hadits Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sedang Islam, terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits. Ahlus Sunnah menjauhkan diri dari mengorek-ngorek kesalahan para sahabat dan menghukumi mereka karena mereka para sahabat-radhiyallahu anhum- adalah suatu kaum yang telah mempersembahkan amal sholeh dan jihad dalam membela Islam. Bahkan mereka telah menghabiskan waktunya, mengorbankan harta dan tenaganya dalam membela Nabi -shollallahu alaihi wasallam-, Islam dan menyebarkannya sehingga sampai kepada kita. Mereka telah banyak berusaha untuk Islam, lalu apa yang kita persembahkan untuk Islam sehingga kita merasa lebih hebat dibanding sahabat dan malah justru mau menghakimi mereka yang telah lama meninggal. Lalu apa mamfaat yang kalian peroleh dalam mengkritisi sejarah hidup para sahabat? Wallahi, tiada lain kecuali kerugian yang akan kalian petik di dunia dan akhirat. Nas’alullahal afiyah wassalamah minal khudzlan….


Sikap Seorang Muslim Di Hadapan As-sunnah

As-Sunnah menurut bahasa memiliki arti “Jalan yang di tempuh”. Sedangkan secara syari’at, As-Sunnah adalah jalan petunjuk yang di tempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam perkara aqidah, ibadah, muamalah maupun tingkah laku sehari-hari, baik yang hukumnya wajib maupun mustahab (sunnah). 
As-Sunnah menurut bahasa memiliki arti “Jalan yang di tempuh”. Sedangkan secara syari’at, As-Sunnah adalah jalan petunjuk yang di tempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam perkara aqidah, ibadah, muamalah maupun tingkah laku sehari-hari, baik yang hukumnya wajib maupun mustahab (sunnah).
Lalu bagaimana sikap seorang muslim di hadapan As-Sunnah itu? Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan di dalam Al-Qur’an di surat Al-Hasyr ayat 7 yang artinya sebagai berikut:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa saja yang di bawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kalian, maka ambillah (laksanakanlah). Dan apa saja yang dilarangnya, maka hentikanlah (tinggalkanlah). ”
Di dalam ayat yang mulia ini, secara jelas di tegaskan bahwa sikap seorang muslim di hadapan As-Sunnah adalah “Mengimani seluruh ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa di pilih-pilih, walaupun tidak sesuai dengan keinginan atau kemauan hawa nafsunya, atau mungkin belum bisa diterima akalnya. ”
Seorang muslim harus yakin, bahwa semua ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dibimbing oleh wahyu yang mutlak kebenarannya, dan tidak bisa ditentang oleh pendapat siapapun. 
Ambillah contoh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya di Kitab Ath-Thib Nomor 5782. Dari Abu Hurairah radhiyallahu, Rasulullah ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمَسْهُ كُلَّهُ، ثُمَّ لَيَطْرَحْهُ، فَإِنَّ فِي أَحَدِ جِنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي اْلآخَرِ دَاءً
“Apabila ada lalat jatuh ke dalam sebuah bejana (untuk minuman) salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah seluruh (tubuh) lalat itu ke dalamnya kemudian buanglah lalat itu (lalu minumlah air yang ada dalam bejana itu, ed). Karena sesungguhnya di dalam salah satu sayap lalat itu terdapat obat penawarnya dan di sayap lainnya ada penyakit. ”
Setelah mendengar dan membaca hadits ini, seorang muslim sejati harus mempercayainya dan meyakini kebenarannya, haram baginya menantang dan melecehkan hadits tersebut, walaupun menurut kedangkalan akalnya hadits ini terkesan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan teori kesehatan.
Namun yang perlu diingat, sebelum meyakini dan mengamalkan As-Sunnah (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), seorang muslim sejati harus melakukan dua tahapan ilmu sebagai berikut:
Pertama: Harus meneliti shahih atau tidaknya hadits yang dinisbahkan (disandarkan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila shahih maka wajib diterima, dan ternyata tidak shahih maka harus ditolak. Dan untuk mengetahui ilmu seperti ini (tentang shahih atau tidaknya sebuah hadits) harus dengan bimbingan ulama’ ahli hadits, atau melihat penilaian mereka di dalam kitab-kitab hadits yang telah diteliti mereka. Kedua: Bila ternyata hadits tersebut shahih, maka kita juga harus melihat penjelasan dari para ulama’ ahli hadits yang terpercaya agamanya, tentang makna-makna, faedah-faedah dan hukum-hukum yang bisa dipahami dari hadits yang shahih tersebut.
Contohnya adalah Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan kitab Fathul Bari-nya setebal 14 jilid, yang merupakan Kitab Syarh (penjelasan dan uraian) dari Kitab Shahih Al-Bukhari. Atau Imam An-Nawawi dengan kitab Syarh Shahih Muslimnya, dan juga para ulama yang lainnya.
Nah setelah melalui dua tahapan tersebut di atas, baru kita yakini dan kita amalkan As-Sunnah tersebut. Hal ini kita lakukan untuk menghindari penipuan yang dilakukan oleh para penjahat agama yang biasa berhujjah (berdalil) dengan hadits-hadits dha'if (lemah) bahkan maudhu’ (palsu), atau mereka yang menolak hadits-hadits shahih hanya kerena tidak sesuai dengan maksud sebenarnya.
Orang-orang semacam ini, perlu diingatkan dengan ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan dalam sabda beliau:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فًلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka. ” (HR. Imam Muslim dalam Shahihnya, No. 3 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu). 
Demikianlah penjelasan ringkas tentang keharusan sikap seorang muslim sejati dihadapan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk mengetahui lebih jelas tentang masalah ini, silahkan
Anda meruju’ kepada kitab-kitab para ulama sebagai berikut:
1. Syarh Shahih Muslim
2. Ta’dhimus Sunnah. 
3. Dharuratul Ihtiman bis Sunan An-Nabawiyyah
4. At-Tamassuk bis Sunnah fil Aqa'id wal Ahkam
5. Tahqiq Ma’na As-Sunnah
6. Munaqasyah Hadi’ah, dll. Wallahu a’lamu bish shawwab!

Tafsir


Menyombongkan Diri dari Petunjuk Kebenaran, Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِل615; فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلاَ هُدًى وَلاَ كِتَابٍ مُنِيْرٍ. ثَانِيَ عِطْفِهِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ لَهُ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَنُذِيْقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَذَابَ الْحَرِيْقِ. ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللهَ لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan di hari kiamat. Kami merasakan kepadanya adzab neraka yang membakar. (Akan dikatakan kepadanya): ‘Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya’. ” (Al-Hajj: 8-10)
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلاَ هُدًى وَلاَ كِتَابٍ مُنِيْرٍ. ثَانِيَ عِطْفِهِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ لَهُ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَنُذِيْقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَذَابَ الْحَرِيْقِ. ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللهَ لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan di hari kiamat. Kami merasakan kepadanya adzab neraka yang membakar. (Akan dikatakan kepadanya): ‘Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya’. ” (Al-Hajj: 8-10)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
ثَانِيَ عِطْفِهِ
“Memalingkan lambung atau lehernya. ” Ini merupakan gambaran bahwa dia tidak menerima dan berpaling dari sesuatu.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Ia menyombongkan diri dari kebenaran jika diajak kepadanya. ”
Mujahid, Qatadah, dan Malik dari Zaid bin Aslam mengatakan: “Memalingkan lehernya, yaitu berpaling dari sesuatu yang dia diajak kepadanya dari kebenaran, karena sombong. ” Seperti firman-Nya:
وَفِي مُوْسَى إِذْ أَرْسَلْنَاهُ إِلَى فِرْعَوْنَ بِسُلْطَانٍ مُبِيْنٍ. فَتَوَلَّى بِرُكْنِهِ وَقَالَ سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُوْنٌ
“Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir’aun dengan membawa mukjizat yang nyata. Maka dia (Fir’aun) berpaling (dari keimanan) bersama tentaranya, dan berkata: ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila’. ” (Adz-Dzariyat: 38-39)
Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullahu berkata: “Yang benar dari penafsiran tersebut adalah dengan mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati orang yang mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala ini tanpa ilmu, bahwa itu karena kesombongannya. Jika diajak kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia berpaling dari yang mengajaknya, sambil memalingkan lehernya dan tidak mau mendengar apa yang dikatakan kepadanya dengan berlaku sombong. ” (Tafsir At-Thabari)
لِيُضِلَّ
“Untuk menyesatkan. ” Ada yang mengatakan bahwa huruf lam dalam ayat ini adalah menjelaskan tentang akibat. Maknanya yaitu yang berakibat dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Qurthubi rahimahullahu dalam tafsirnya. Adapula yang mengatakan bahwa huruf lam tersebut sebagai ta’li, yang berarti bertujuan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi)
Penjelasan Makna Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu tatkala menjelaskan ayat ini, mengatakan:
“Perdebatan tersebut bagi seorang muqallid (yang mengikuti satu perkataan tanpa dalil). Perdebatan ini berasal dari setan yang jahat yang menyeru kepada berbagai bid’ah. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa dia mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara mendebat para rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para pengikutnya dengan cara yang batil dalam rangka menggugurkan kebenaran, tanpa ilmu yang benar dan petunjuk. Dia tidak mengikuti sesuatu yang membimbingnya dalam perdebatannya itu. Tidak dengan akal yang membimbing dan tidak pula dengan seseorang yang diikuti karena hidayah. Tidak pula dengan kitab yang bercahaya, yaitu yang jelas dan nyata. Dia tidak memiliki hujjah baik secara aqli maupun naqli, namun hanya sekedar menampilkan syubhat-syubhat yang dibisikkan oleh setan kepadanya. (Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman):
وَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ
“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. ” (Al-An’am: 121)
Bersamaan dengan itu, dia memalingkan lambung dan lehernya. Ini merupakan gambaran tentang kesombongannya dari menerima kebenaran serta menganggap remeh makhluk yang lain. Dia merasa bangga dengan apa yang dia miliki berupa ilmu yang tidak bermanfaat, serta meremehkan orang-orang yang berada di atas kebenaran dan al-haq yang mereka miliki. Akibatnya, dia menyesatkan manusia, yaitu dia termasuk ke dalam penyeru kepada kesesatan. Termasuk dalam hal ini adalah semua para pemimpin kufur dan kesesatan. Lalu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) menyebutkan hukuman yang mereka dapatkan di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَهُ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ
“baginya di dunia kehinaan. ” Yaitu, dia akan menjadi buruk di dunia sebelum di akhirat.
Dan ini termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menakjubkan, di mana tidaklah engkau mendapati seorang da’i yang menyeru kepada kekafiran dan kesesatan melainkan dia akan dimurkai di jagad raya ini. Ia mendapatkan laknat, kebencian, celaan, yang berhak ia peroleh. Setiap mereka tergantung keadaannya.
وَنُذِيْقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَذَابَ الْحَرِيْقِ
“Dan Kami akan merasakan kepadanya pada hari kiamat adzab neraka yang membakar. ”
yaitu Kami akan menjadikan dia merasakan panasnya yang dahsyat dan apinya yang sangat panas. Hal itu disebabkan apa yang telah dia amalkan. Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berlaku dzalim terhadap hamba-hamba-Nya. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan keadaan orang-orang sesat yang jahil dan hanya bertaqlid dalam firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيْدٍ
“Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang sangat jahat. ” (Al-Hajj: 3)
Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut dalam ayat ini keadaan para penyeru kepada kesesatan dari tokoh-tokoh kekafiran dan kesesatan. Yaitu, di antara manusia ada yang mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tanpa ilmu, tanpa hidayah, dan tanpa kitab yang bercahaya, yaitu tanpa akal sehat dan tanpa dalil syar’i yang benar dan jelas. Namun hanya sekedar akal dan hawa nafsu. (Tafsir Ibnu Katsir)
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang siapa yang dimaksud dalam ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah An-Nadhr bin Al-Harits dari Bani Abdid Dar, tatkala dia berkata bahwa para malaikat ini merupakan anak-anak perempuan Allah. Adapula yang mengatakan yang dimaksud adalah Abu Jahl bin Hisyam, dan ada lagi yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Al-Akhnas bin Syuraiq. Namun ayat ini mencakup setiap yang mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berakibat menolak kebenaran dan menjauhkan manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dia orang kafir, munafik, atau dari kalangan ahli bid’ah.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tatkala beliau menjelaskan makna “ia memalingkan lehernya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah”: “Dia adalah ahli bid’ah. ” (lihat Tafsir Al-Qurthubi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tanpa ilmu” ini merupakan celaan terhadap setiap orang yang mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu. Juga merupakan dalil yang menunjukkan bolehnya (berdebat) bila dengan ilmu, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim ‘alaihissalam dengan kaumnya. ” (Majmu’ Fatawa, 15/267) Berdebat, antara yang Boleh dan yang Terlarang
Terdapat nash-nash yang menjelaskan tentang tercelanya berdebat dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَلاَ يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلاَدِ
“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Karena itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdayakan kamu. ” (Ghafir: 4)
dan firman-Nya:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُجَادِلُوْنَ فِي آيَاتِ اللهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ إِنْ فِي صُدُوْرِهِمْ إِلاَّ كِبْرٌ مَا هُمْ بِبَالِغِيْهِ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ” (Ghafir: 56)
Telah diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلىَ اللهِ اْلأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Orang yang paling dibenci Allah adalah yang suka berdebat. ” (Muttafaq Alaihi)
Juga dari hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ. ثُمَّ تَلاَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ اْلآيَةَ: {مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ}
“Tidaklah tersesat satu kaum setelah mendapatkan hidayah yang dahulu mereka di atasnya, melainkan mereka diberi sifat berdebat. ” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ
“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. ” (Az-Zukhruf: 58) [HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ no. 5633]
Abdurrahman bin Abiz Zinad berkata: “Kami mendapati orang-orang yang mulia dan ahli fiqih -dari orang-orang pilihan manusia- sangat mencela para ahli debat dan yang mendahulukan akalnya. Dan mereka melarang kami bertemu dan duduk bersama orang-orang itu. Mereka juga memperingatkan kami dengan keras dari mendekati mereka. ” (lihat Al-Ibanah Al-Kubra 2/532, Mauqif Ahlis Sunnah, Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili 2/591)
Demikian pula Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan: “Pokok-pokok ajaran As-Sunnah menurut kami adalah: berpegang teguh di atas metode para sahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti mereka, dan meninggalkan bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan meninggalkan pertengkaran serta duduk bersama pengekor hawa nafsu, juga meninggalkan dialog dan berdebat serta bertengkar dalam agama ini. ” (Syarh Al-Lalika`i, 1/156, Mauqif Ahlis Sunnah, Ar-Ruhaili 2/591)
Wahb bin Munabbih rahimahullahu berkata: “Tinggalkan perdebatan dari perkaramu. Karena sesungguhnya engkau tidak akan terlepas dari menghadapi salah satu dari dua orang: (1) orang yang lebih berilmu darimu, lalu bagaimana mungkin engkau berdebat dengan orang yang lebih berilmu darimu? (2) orang yang engkau lebih berilmu darinya, maka bagaimana mungkin engkau mendebat orang yang engkau lebih berilmu darinya, lalu dia tidak mengikutimu? Maka tinggalkanlah perdebatan tersebut!” (Lammud Durr, karangan Jamal Al-Haritsi hal. 158)
Namun di samping dalil-dalil yang melarang berdebat tersebut di atas, juga terdapat nash-nash lain yang menunjukkan kebolehannya. Di antara yang menunjukkan bolehnya berdebat adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. ” (An-Nahl: 125)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa kisah debat antara Rasul-Nya dengan orang-orang kafir. Seperti kisah Ibrahim ‘alaihissalam yang mendebat kaumnya. Demikian pula debat Nabi Musa ‘alaihissalam dengan Fir’aun, dan berbagai kisah lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur`an. Demikian pula dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan perdebatan antara Nabi Adam dan Musa ‘alaihissalam, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Banyak dari kalangan imam salaf mengatakan: Debatlah kelompok Al-Qadariyyah dengan ilmu, jika mereka mengakui maka mereka membantah (pemikiran mereka sendiri). Dan jika mereka mengingkari, maka sungguh mereka telah kafir. ”
Demikian pula banyak terjadi perdebatan di kalangan ulama salaf, seperti yang terjadi antara ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu dengan Ghailan Ad-Dimasyqi Al-Qadari, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mendebat kelompok Khawarij, Al-Auza’i rahimahullahu yang berdebat dengan seorang qadari (pengikut aliran Qadariyyah), Abdul ‘Aziz Al-Kinani rahimahullahu dengan Bisyr bin Ghiyats Al-Marisi Al-Mu’tazili, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dengan para tokoh ahli bid’ah, serta yang lainnya, yang menunjukkan diperbolehkannya melakukan dialog dan debat tersebut. (Mauqif Ahlis Sunnah, 2/597)
Apa yang telah kami sebutkan di atas menunjukkan bahwa dalam masalah berdebat, tidak dihukumi dengan sikap yang sama. Namun tergantung dari keadaan, tujuan, dan maksud dari perdebatan tersebut. An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Jika perdebatan tersebut dilakukan untuk menyatakan dan menegakkan al-haq, maka hal itu terpuji. Namun jika dengan tujuan menolak kebenaran atau berdebat tanpa ilmu, maka hal itu tercela. Dengan perincian inilah didudukkan nash-nash yang menyebutkan tentang boleh dan tercelanya berdebat. ”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Pertengkaran dan perdebatan dalam perkara agama terbagi menjadi dua:
Pertama: dilakukan dengan tujuan menetapkan kebenaran dan membantah kebatilan. Ini merupakan perkara yang terpuji. Adakalanya hukumnya wajib atau sunnah, sesuai keadaannya. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. ” (An-Nahl: 125)
Kedua: dilakukan dengan tujuan bersikap berlebih-lebihan, untuk membela diri, atau membela kebatilan. Ini adalah perkara yang buruk lagi terlarang, berdasarkan firman-Nya:
مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا
“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. ” (Ghafir: 4)
Dan firman-Nya:
وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ فَأَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ
“Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu; karena itu Aku adzab mereka. Maka betapa (pedihnya) adzab-Ku. ” (Ghafir: 5) [Mauqif Ahlis Sunnah, 2/600-601]
Ibnu Baththah rahimahullahu berkata: “Jika ada seseorang bertanya: ‘Engkau telah memberi peringatan kepada kami dari melakukan pertengkaran, perdebatan, dan dialog (dengan ahlul bid’ah). Dan kami telah mengetahui bahwa inilah yang benar. Inilah jalan para ulama, jalan para sahabat, dan orang-orang yang berilmu dari kalangan kaum mukminin serta para ulama yang diberi penerangan jalan. Lalu, jika ada seseorang datang kepadaku bertanya tentang sesuatu berupa berbagai macam hawa nafsu yang nampak dan berbagai macam pendapat buruk yang menyebar, lalu dia berbicara dengan sesuatu darinya dan mengharapkan jawaban dariku; sedangkan aku termasuk orang yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan ilmu tentangnya serta pemahaman yang tajam dalam menyingkapnya. Apakah aku tinggalkan dia berbicara seenaknya dan tidak menjawabnya serta aku biarkan dia dengan bid’ahnya, dan saya tidak membantah pendapat jeleknya tersebut?’
Maka aku akan mengatakan kepadanya: Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu– bahwa orang yang seperti ini keadaannya (yang mau mendebatmu), yang engkau diuji dengannya, tidak lepas dari tiga keadaan:
(1) Adakalanya dia orang yang engkau telah mengetahui metode dan pendapatnya yang baik, serta kecintaannya untuk mendapatkan keselamatan dan selalu berusaha berjalan di atas jalan istiqamah. Namun dia sempat mendengar perkataan mereka yang para setan telah bercokol dalam hati-hati mereka, sehingga dia berbicara dengan berbagai jenis kekufuran melalui lisan-lisan mereka. Dan dia tidak mengetahui jalan keluar dari apa yang telah menimpanya tersebut, sehingga dia bertanya dengan pertanyaan seseorang yang meminta bimbingan, untuk mendapat solusi dari problem yang dihadapinya dan obat dari gangguan yang dialaminya. Dan engkau memandang bahwa dia akan taat dan tidak menyelisihinya.
Orang yang seperti ini, yang wajib atasmu adalah mengarahkan dan membimbingnya dari berbagai jeratan setan. Dan hendaklah engkau membimbingnya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta atsar-atsar yang shahih dari ulama umat ini dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Semua itu dilakukan dengan cara hikmah dan nasihat yang baik. Dan jauhilah sikap berlebih-lebihan terhadap apa yang engkau tidak ketahui, lalu hanya mengandalkan akal dan tenggelam dalam ilmu kalam. Karena sesungguhnya perbuatanmu tersebut adalah bid’ah. Jika engkau menghendaki sunnah, maka sesungguhnya keinginanmu mengikuti kebenaran namun dengan tidak mengikuti jalan kebenaran tersebut adalah batil. Dan engkau berbicara tentang As-Sunnah dengan cara bukan As-Sunnah adalah bid’ah. Jangan engkau mencari kesembuhan saudaramu dengan penyakit yang ada pada dirimu. Jangan engkau memperbaikinya dengan kerusakanmu, karena sesungguhnya orang yang menipu dirinya tidak bisa menasihati manusia. Dan siapa yang tidak ada kebaikan pada dirinya, maka tidak ada pula kebaikan untuk yang lainnya. Siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri taufiq, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meluruskan jalannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong dan membantunya. ”
Abu Bakr Al-Ajurri rahimahullahu berkata:
“Jika seseorang berkata: ‘Jika seseorang yang telah diberi ilmu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu ada seseorang datang kepadanya bertanya tentang masalah agama, lalu mendebatnya; apakah menurutmu dia perlu mengajaknya berdialog agar sampai kepadanya hujjah dan membantah pemikirannya?’
Maka katakan kepadanya: ‘Inilah yang kita dilarang dari melakukannya, dan inilah yang diperingatkan oleh para imam kaum muslimin yang terdahulu. ’
Jika ada yang bertanya: ‘Lalu apa yang harus kami lakukan?’
Maka katakan kepadanya: ‘Jika orang yang menanyakan permasalahannya kepadamu adalah orang yang mengharapkan bimbingan kepada al-haq dan bukan perdebatan, maka bimbinglah dia dengan cara yang terbaik dengan penjelasan. Bimbinglah dia dengan ilmu dari Al-Kitab dan As-Sunnah, perkataan para shahabat dan ucapan para imam kaum muslimin. Dan jika dia ingin mendebatmu, maka inilah yang dibenci oleh para ulama, dan berhati-hatilah engkau terhadap agamamu. ’
Jika dia bertanya: ‘Apakah kita biarkan mereka berbicara dengan kebatilan dan kita mendiamkan mereka?’
Maka katakan kepadanya: ‘Diamnya engkau dari mereka dan engkau meninggalkan mereka dalam apa yang mereka bicarakan itu lebih besar pengaruhnya atas mereka daripada engkau berdebat dengannya. Itulah yang diucapkan oleh para ulama terdahulu dari ulama salafush shalih kaum muslimin. ” (Lammud Durr, Jamal Al-Haritsi hal. 160-162)


Basmalah Dan Keutamaannya, Buletin Al Ilmu

Saudaraku yang semoga Allah merahmati kita semua, diantara barakah dari bacaan basmalah ini adalah dapat memperdaya setan dan bala tentaranya yang mempunyai misi untuk memperdaya umat manusia dari jalan kebaikan. Kita pun tidak boleh merasa kecil hati dan takut dari gangguan mereka, selama kita berada diatas jalan Allah subhanahu wata'ala. Allah subhanahu wata'ala telah memberikan berbagai cara dan jalan untuk membentengi diri dari gangguan setan, diantaranya dengan membaca basmalah.
Basmalah, merupakan bacaan (dzikir) yang kerap kali kita lantunkan. Basmalah adalah istilah dari penyebutan Bismillah, seperti hamdalah istilah dari Al Hamdulillah dan hauqalah istilah dari lahaula wala quwwata illa billah. Ia merupakan penggalan salah satu ayat dalam surat An Naml dan sebagai ayat pertama yang membuka surat Al Fatihah. Lebih dari itu, basmalah sebagai pembuka dari seluruh surat-surat Al Qur'an kecuali surat At Taubah (Al Bara'ah), namun bukan bagian dari surat-surat tersebut kecuali pada surat Al Fatihah.
Membacanya pun akan mendapat balasan (pahala) sebagaimana pahala membaca ayat-ayat yang lain dalam Al Qur'an. Setiap hurufnya Allah subhanahu wata'ala memberi pahala satu kebaikan yang dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah (Al Qur'an) maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Aku (Nabi Muhammad) tidaklah mengatakan Alif Laam Miim adalah satu huruf, melainkan alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf. ” (H. R. At Tirmidzi no. 2910, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
Tuntunan Memulai Amalan Dengan Basmalah
Basmalah, tersusun dari tiga kata:
بسم الله (ب — اسم — الله).

Yang diterjemahkan dalam bahasa kita: “Dengan menyebut nama Allah”. Para ulama menerangkan bahwasanya ucapan basmalah ini sangat berguna bagi seseorang yang hendak melakukan suatu amalan yang mulia. Misalnya membaca basmalah ketika akan menulis atau membaca. Maksud dimulainya amalan tersebut dengan basmalah adalah agar tulisan atau bacaannya itu mendapat barakah dari Allah subhanahu wata'ala. Mendapat tsawab (pahala) dan bermanfaat. Jadi mengawali suatu amalan perbuatan atau perkataan itu dengan membaca basmalah tidak lain hanya dalam rangka bertabarruk (mencari barakah) kepada Allah subhanahu wata'ala dan untuk mendapatkan pahala dari-Nya. Sebuah keistemewaan yang sering dicari dan diimpikan oleh kebanyakan orang.
Mengucapkan basamalah pada amalan-amalan yang bernilai, merupakan bimbingan Allah subhanahu wata'ala terhadap para nabi-Nya. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata'ala kisahkan dalam Al Qur'anul Karim tentang Nabi Nuh 'alaihis salam ketika mengajarkan kepada umatnya membaca basmalah disaat berlayar atau berlabuh. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):”Dan Nuh berkata: “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. ” Sesungguhnya Rabb-ku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ” (Hud: 41)
Demikian pula Allah subhanahu wata'ala mengisahkan dalam Al Qur'anul Karim tentang Nabi Sulaiman 'alaihis salam ketika mengirim risalah dakwah kepada Ratu Saba' diawali pula dengan basmalah. Sebagaimana firman-Nya: (artinya) “Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman, dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (An Naml: 30) Basmalah ini pun juga merupakan sunnah yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Ketika wahyu pertama kali turun kepada beliau shalallahu 'alaihi wasallam adalah ayat: (artinya) “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang Menciptakan,” (Al 'alaq: 1)
Allah subhanahu wata'ala memerintahkan kepada Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam agar membaca kalamullah (Al Qur'an) dengan menyebut nama-Nya.
Saudaraku yang semoga dirahmati Allah subhanahu wata'ala, ketahuilah bahwa barakah itu berasal dari Allah subhanahu wata'ala semata. Hal ini Allah subhanahu wata'ala tegaskan dalam firman-Nya (artinya):
“Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami melimpahkan barakah dari langit dan bumi. ” (Al A’raf: 96)
Siapa yang kuasa melimpahkan barakah dari langit dan bumi? Tentu, adalah Penguasa Tunggal langit dan bumi yaitu Allah Rabbul 'alamin. Sehingga Nabi shalallahu 'alaihi wasallam mengajarkan pula kepada umatnya untuk mencari barakah dengan menyebut-nyebut nama Allah yang terkandung dalam bacaan basmalah. Ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam mengirim beberapa risalah dakwah ke negeri-negeri kafir seperti negeri Romawi. Beliau mengawali risalahnya dengan basmalah. Hal ini juga dipraktekkan oleh Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq. Ketika beliau radhiallahu 'anhu menulis risalah tentang zakat yang ditujukan untuk penduduk negeri Bahrain, beliau memulainya dengan basmalah (Lihat HR. Al Bukhari no. 1454). Suatu pengajaran dan pembelajaran kepada umat manusia, bahwa barakah itu hanya milik Allah subhanahu wata'ala. Sehingga permohonan barakah itu hanya ditujukan kepada Allah subhanahu wata'ala semata. Karena selain Allah subhanahu wata'ala tidak bisa memberikan barakah.
Barakah Bacaan Basmalah
Saudaraku yang semoga Allah merahmati kita semua, diantara barakah dari bacaan basmalah ini adalah dapat memperdaya setan dan bala tentaranya yang mempunyai misi untuk memperdaya umat manusia dari jalan kebaikan. Kita pun tidak boleh merasa kecil hati dan takut dari gangguan mereka, selama kita berada diatas jalan Allah subhanahu wata'ala. Allah subhanahu wata'ala telah memberikan berbagai cara dan jalan untuk membentengi diri dari gangguan setan, diantaranya dengan membaca basmalah.
Suatu ketika Usamah bin Umair dibonceng Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Lalu ia mengatakan: “Celakalah setan. ” Maka Nabi shalallahu 'alaihi wasallam menegurnya, janganlah kamu mengatakan “celakalah setan”, karena jika kamu katakan seperti itu, justru setan akan semakin membesar (dalam riwayat lain sebesar rumah). Setan akan berkata: “Dengan kekuatanku, aku akan melumpuhkannya. ” Namun bila kamu mengucapkan basmalah, pasti setan akan semakin kecil hingga seperti lalat. (HR. Ahmad 9/59, An Nasaa'i dalam Al Kubra 6/146, dan Abu Dawud no. 4330. Dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
Dari Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu berkata: “Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang membaca:
بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dengan menyebut nama Allah yang tidak akan bisa memudharatkan bersama nama-Nya segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” pada setiap hari di waktu shubuh dan sore sebanyak tiga kali maka tidak akan memudharatkan baginya sesuatu apa pun. ” (HR. At Tirmidzi no. 3310, dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
Dari shahabat Umayyah bin Makhsyi radhiallahu 'anhu, ia menceritakan tentang seseorang yang sedang makan dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam sedang duduk disekitarnya. Namun orang tadi lupa belum membaca basmalah hingga tidak tersisa kecuali sesuap saja. Ketika ia hendak memasukkan makanan tersebut kedalam mulutnya ia baru membaca:
بِسْمِ اللهِ في أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ

“Dengan menyebut nama Allah di awal dan diakhirnya. “
Melihat hal itu Nabi shalallahu 'alaihi wasallam tertawa, seraya berkata: “Setan itu senantiasa ikut makan bersamanya, hingga ketika ia membaca basmalah maka dimuntahkan apa yang ada dalam perut setan tersebut. ” (HR. Abu Dawud no. 3276) Beberapa Perkara Yang Dianjurkan Untuk Dimulai Dengan Menyebut Nama Allah
Para pembaca yang mulia, berikut ini kami paparkan beberapa perkara yang dianjurkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam untuk mengawalinya menyebut nama Allah subhanahu wata'ala:
1. Ketika Hendak Tidur
Dari shahabat Hudzaifah radhiallahu 'anhu berkata: “Kebiasaan (sunnah) Nabi shalallahu 'alaihi wasallam ketika hendak tidur, beliau membaca:
بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ أَمُوتُ وَأَحْيَا

“Dengan menyebut nama-Mu Ya Allah, aku mati dan aku hidup. “
(HR. Al Bukhari no. 6334, dan Muslim no. 2711 dengan redaksi yang sedikit berbeda)
2. Ketika Keluar Dari Rumah
Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Bila seseorang keluar dari rumahnya, lalu ia membaca:
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

“Dengan nama Allah, aku bertawakkal hanya kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah. “
Maka dikatakan padanya: “Engkau telah mendapat petunjuk, engkau tercukupi dan engkau telah terjaga (terbentengi),” sehingga para setan lari darinya. Setan yang lain berkata: “Bagaimana urusanmu dengan seseorang yang telah mendapat petunjuk, tercukupi, dan terbentengi?!” (HR. Abu Dawud no. 4431)
Atau dengan membaca:
بِاسْمِكَ رَبِّي إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَزِلَّ أَوْ أَضِلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ

“Dengan nama-Mu Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku berlindung Kepada-Mu jangan sampai aku salah atau sesat, menganiaya atau dianiaya, membodohi atau dibodohi. ” (HR. Ahmad no. 26164, riwayat dari Ummul Mukminin Ummu Salamah)
3. Ketika Masuk Kamar Mandi (WC)
Dari shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu berkata: “Sesungguhnya Rasulullah bersabda:
سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمْ الْخَلاَءَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ

“Penutup antara pandangan-pandangan jin dengan aurat bani Adam ketika seseorang masuk wc adalah membaca basmalah. ” (At Tirmidzi no. 551, dan dishahihkan oleh As Syaikh Al Albani)
4. Ketika Hendak Makan
Dari Aisyah radhiallahu 'anha berkata: “Telah bersabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ

“Bila salah seorang diantara kalian makan maka hendaknya ia mengucapkan bismillah, bila ia lupa diawalnya, maka hendaknya ia membaca bismillah fi awwalihi wa akhirihi. ” (HR. At Tirmidzi no. 1781, dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
5. Ketika Hendak Berhubungan Dengan Istri
Dari shahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Berkata Nabi shalallahu 'alaihi wasallam: “Bila salah seorang diantara kalian menggauli istrinya, hendaknya ia berdo'a:
بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah setan dari apa yang engkau rizkikan kepada kami. “
Bila Allah subhanahu wata'ala memberikan karunia anak kepadanya maka setan tidak akan mampu memudharatkannya. ” (HR. At Tirmidzi no. 1012)
6. Ketika Hendak Menyembelih
Disyari'atkan pula dalam penyembelihan hewan dengan membaca basmalah. Bahkan hukumnya bukan sekedar mustahab (anjuran) saja tetapi wajib. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
فَلْيَذْبَحْ عَلَى اسْمِ اللَّهِ

“Hendaknya menyembelih dengan (menyebut) nama Allah (basmalah). ” (HR. Al Bukhari no. 5500)
Maka sebelum menyembelih hewan hendaknya membaca:
بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ

(HR. Abu Dawud no. 2427)
7. Ketika Hendak Memasukkan Jenazah ke Liang Kubur
Disunnahkan (dianjurkan) membaca:
بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dengan menyebut nama Allah dan diatas sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. ” (HR. Abu Dawud no. 2798)
Demikian pula perkara-perkara yang lain, termasuk amalan jihad fi sabilillah yang merupakan puncak tertinggi dalam Islam hendaknya juga diawali dengan membaca basmalah sebagaimana yang diriwayatkan Al Imam At Tirmidzi no. 1337 dari shahabat Buraidah radhiallahu 'anhu.
Akhir kata, semoga kajian yang ringkas ini dapat menambah iman dan ilmu kita serta lebih menguatkan keterkaitan diri kita kepada Allah subhanahu wata'ala Rabbul 'alamin. Amien Ya Rabbal 'alamin.


Bakhil Sifat Yang Tercela, Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا ءَاتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. ” (Ali ‘Imran: 180)

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا ءَاتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. ” (Ali ‘Imran: 180)
Penjelasan beberapa mufradat ayat
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا ءَاتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka …”
Para ulama ahli bahasa maupun ahli qira’ah berbeda dalam membaca bacaan وَلَا يَحْسَبَنَّ Apakah diawali dengan huruf ta’ وَلاَ تَحْسَبَنَّ atau dengan ya’ وَلَا يَحْسَبَنَّ.
Beberapa ulama dari negeri Hijaz dan Iraq, serta qira’ah Hamzah dan Abu Ja’far, membaca dengan ta’ وَلا تَحْسَبَنّ.
Pendapat yang mengawali bacaan dengan huruf ta’, mengartikan bahwa percakapan ditujukan kepada nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga maknanya adalah: “Sekali-kali janganlah engkau wahai Muhammad menyangka, bahwa orang-orang yang bakhil…”
Sedangkan ulama yang lain seperti Ibnu Katsir, Abu ‘Umar, Nafi’, Ibnu ‘Amir, ‘Ashim, dan Al-Kasai’, semuanya sepakat membaca dengan ya’ وَلَا يَحْسَبَنّ. Namun di antara mereka ada yang membaca dengan mengkasrah huruf sin, dan ada yang membaca dengan memfathah huruf sin. Adapun yang membaca dengan mengawali huruf ya’, percakapan ditujukan kepada orang-orang yang bakhil. Sehingga maknanya adalah: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil menyangka. ” (Tafsir Ath-Thabari dan Zadul Masir)
Demikian pula dalam menerangkan makna “orang-orang yang bakhil” dalam ayat ini, siapakah mereka? Para ulama juga berbeda pendapat.
Pendapat pertama menerangkan, bahwa mereka adalah orang-orang yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan harta, tetapi mereka bakhil (menahan diri) dalam menginfaqkan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menunaikan (mengeluarkan) zakatnya. Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhuma, riwayat Abu Shalih dari Ibnu Abbas rahiyallahu ‘anhuma, Abu Wa’il, Abu Malik, Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, As-Suddi pada sebagian riwayat.
Pendapat kedua, mereka adalah orang-orang Yahudi. Mereka bakhil yaitu tidak mau menjelaskan kepada manusia tentang apa saja yang ada dalam Taurat, juga tentang kenabian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta sifat-sifatnya. Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Abbas rahiyallahu ‘anhuma dan Mujahid rahimahullahu.
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu mengatakan, dari dua pendapat tersebut yang benar adalah pendapat pertama. Yaitu pendapat yang memaknai bakhil -dalam ayat ini- dengan makna, orang yang menahan diri (tidak menunaikan) zakat. Hal ini sesuai dengan apa yang nampak dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau menafsirkan makna “Harta yang mereka bakhilkan akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat,” beliau bersabda: “Bakhil itu adalah orang yang menahan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala (tidak mau menginfaqkan hartanya). Maka kelak di hari kiamat (harta tersebut) akan diubah menjadi seekor ular jantan yang ganas berbisa, dan dilingkarkan di lehernya. ”
Pemaknaan ini juga sesuai dengan konteks ayat yang ada sesudahnya, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya’. ” Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati orang-orang musyrikin dari kalangan Yahudi, mereka menanggapi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, berupa kewajiban menunaikan zakat, dengan pernyataan: “Sesungguhnya Dia miskin. ”
Adapun makna bakhil, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu, adalah manusia yang menahan hartanya (tidak memberikan/memenuhi) sesuatu dari haknya yang wajib (zakat, infaq fi sabilillah). Adapun menahan harta pada perkara yang tidak wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat, bukanlah kebakhilan.
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu menerangkan: “Makna bakhil dalam ayat ini adalah mereka yang tidak mau menginfaqkan hartanya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menunaikan zakatnya (menurut pendapat yang rajih dalam hal ini). ”
سَيُطَوَّقُونَ
“Akan dikalungkan. ”
Ibnul Jauzi rahimahullahu mengatakan dalam kitab tafsirnya, Zadul Masir, terdapat empat pendapat di kalangan para ulama dalam memaknai kalimat ini:
1. Harta yang dibakhilkan oleh manusia, akan diubah kelak di hari kiamat menjadi seekor ular (yang jahat dan berbisa). Dan ular tersebut akan dililitkan di lehernya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Ibnu Mas’ud rahiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap orang yang tidak menunaikan (mengeluarkan) zakat hartanya, kecuali kelak pada hari kiamat harta tersebut akan diubah menjadi seekor ular jantan yang ganas berbisa, kemana pun dia (pemilik harta tadi) lari/menjauh darinya, dia (ular tersebut) senantiasa mengikutinya, hingga dililitkan di lehernya. ” Pendapat ini diucapkan oleh Ibnu Mas’ud rahiyallahu ‘anhu dan Muqatil rahimahullahu.
2. Akan dijadikan/dibuatkan bagi orang yang bakhil atas hartanya, kalung yang terbuat dari api neraka. Pendapat diucapkan oleh Mujahid dan Ibrahim rahimahumallah.
3. Dibebankan tanggung jawab bagi mereka yang bakhil atas hartanya untuk mendatangkannya kelak pada hari kiamat. Ibnu Abi Najih meriwayatkan hal ini dari Mujahid rahimahullahu.
4. Akan ditetapkan atas mereka amal pebuatan buruknya/dosa dari sebab kebakhilan terhadap hartanya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Hal ini serperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ
“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. ” (Al-Isra’: 13)
وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. ”
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu: “Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar menafkahkan hartanya dan tidak berlaku bakhil, sebelum mereka mati. Dan meninggalkan (membiarkan semua yang pernah mereka miliki) warisan kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Serta tidak ada yang akan memberikan manfaat kecuali apa yang telah mereka infaqkan. ”
Ayat ini menjadi penjelas sekaligus menyanggah anggapan manusia yang menyatakan bahwasanya harta yang diinfaqkan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, zakat yang dikeluarkan, adalah harta yang hilang dengan sia-sia serta mengurangi jumlah yang ada. Sementara Allah Dzat Yang Maha pemberi rezeki dan Yang Maha mengetahui kehidupan hamba hamba-Nya mengabarkan, sesungguhnya harta yang diinfaqkan di jalan-Nya dan zakat yang dikeluarkan oleh hamba-Nya, akan bertambah berlipat ganda dan tidak akan hilang sia-sia. Bahkan yang tersisa di tangan manusia itulah yang akan hilang lenyap. Seperti yang tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. ” (Al-Baqarah: 261)
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. ” (An-Nahl: 96)
Penjelasan ayat
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia ini termasuk salah satu ayat yang menerangkan apa akibat yang akan dialami mereka yang bakhil (enggan menunaikan zakat) atas harta yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan, kelak di Hari Kemudian. Mereka menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi dirinya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan setelah menyebutkan ayat di atas: “Sekali-kali janganlah orang yang bakhil menyangka, bahwa upaya mengumpulkan harta (tidak mau menafkahkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menunaikan zakat), akan memberikan manfaat bagi dirinya. Bahkan perbuatan tersebut akan memadharatkan/mencelakakan dirinya, baik pada agamanya dan bisa jadi dalam perkara dunianya. ” (Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim, 1/409)
Asy Syaikh As Sa’di rahimahullahu menerangkan, dalam kitab tafsirnya, Taisir Karimir Rahman: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil menyangka, yaitu orang-orang yang menahan apa yang ada di sisi mereka dari apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dari karunia-Nya, berupa harta, pangkat (jabatan), ilmu, dan lain sebagainya dari segala macam anugerah dan kebaikan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan untuk mendermakan/mengorbankan pada perkara yang tidak memadharatkan bagi hamba-hamba-Nya. Kemudian dengan hal itu mereka bakhil dan menahannya (tidak mau memberi, mendermakan, menunaikan zakat, pen. ). Menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya perbuatan itu buruk bagi mereka. Buruk dalam hal agama maupun dunianya, dalam waktu yang segera (di dunia) maupun yang akan datang (di akhirat). ”
Hukum bagi orang yang tidak menunaikan zakat karena kebakhilan
Seperti yang dijelaskan oleh para ulama ahli tafsir, kebakhilan seseorang atas harta yang dimilikinya, akan mengakibatkan keburukan, baik terhadap agama maupun dunianya, dalam waktu yang segera (di dunia) atau ditunda waktu yang akan datang (di alam kubur/alam akhirat).
Di antara akibat yang disegerakan di dunia adalah:
1. Kebinasaan, seperti yang tersebut dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jauhkanlah diri kalian dari perbuatan syuh’ (kikir yang disertai tamak). Karena sesungguhnya (yang demikian) itu telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, mendorong mereka untuk menumpahkan darah, dan menghalalkan perkara yang terlarang. ” (HR. Muslim, dari Jabir bin Abdillah rahiyallahu ‘anhu)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu menjelaskan: “Ini termasuk kebinasaan yang terjadi di dunia, dan yang mendorong mereka (untuk melakukan semua itu) adalah kebakhilan mereka atas harta yang selalu mereka jaga dan mereka kumpulkan. Keinginan untuk selalu menambah (memperbanyak) dan menjaga dari berkurangnya (dengan tidak menginfaqkan, menunaikan zakat, pen. ). Kemudian dia gabungkan, kumpulkan harta milik orang lain, dalam rangka menjaga keutuhan hartanya. Dan tidak akan memperoleh harta yang bukan miliknya, kecuali dengan merampas serta fanatisme yang mengantarkan pada pembunuhan dan menghalalkan perkara yang telah diharamkan. ” (Subulus Salam, bab At-Tarhib min Masawi’ Al-Akhlaq)
2. Timbulnya kemunafikan pada hati, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللهَ لَئِنْ ءَاتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ. فَلَمَّا ءَاتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ. فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih. ’ Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dari karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang mereka telah ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta. ” (At-Taubah: 75-77)
3. Mendapatkan doa keburukan dari malaikat, sebagaimana yang tersebut dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah setiap hari kecuali ada dua malaikat yang turun ke bumi. Salah satu malaikat tadi berdoa: ‘Ya Allah, berikanlah kepada orang yang menginfaqkan hartanya keuntungan. ’ Adapun satunya berdoa: ‘Ya Allah, berikanlah kepada orang yang kikir terhadap hartanya kerugian’. ” (HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu)
Adapun ancaman yang terjadi di hari kemudian antara lain:
1. Dikalungkan di lehernya ular jantan ganas lagi berbisa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya harta kemudian ia tidak menunaikan zakatnya maka di hari kiamat nanti harta tersebut akan diubah menjadi seekor ular jantan ganas lagi berbisa, memiliki dua tanda hitam di atas kelopak matanya. Ular itu akan melilit lehernya kemudian ular tadi membuka mulutnya lalu mencaplok pemilik harta dengan dua rahangnya, sambil berkata: ‘Aku adalah hartamu, aku adalah harta yang kamu simpan (yang tidak ditunaikan zakatnya, pen. )’. ” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. ” (HR. Al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu)
2. Diubah menjadi lempeng logam dari api neraka dan diseterikakan pada bagian dahi, lambung, dan punggungnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfaqkan di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka) akan mendapat siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’. ” (At-Taubah 34-35). Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seorang pemilik emas dan perak (harta) yang tidak menunaikan zakat hartanya, kecuali pada hari kiamat nanti akan dijadikan untuknya papan logam dari api neraka. kemudian papan itu dipanaskan di neraka jahannam, setelah itu dengannya disetrikakan pada lambung, dahi, dan punggungnya. Setiap kali dingin (lempeng logam tadi) dicelupkan kembali (ke neraka), dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah 50. 000 tahun, sampai diputuskan perkaranya di antara manusia, kemudian ia akan melihat jalan hidupnya, apakah menuju ke dalam jannah ataukah ke dalam neraka. ” (HR. Bukhari-Muslim dari sahabat Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu)
3. Unta dan kambing akan menendang-nendang pemiliknya, seperti dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Pada hari kiamat) unta-unta akan datang mencari pemiliknya dalam keadaan yang terbagus (gemuk), dan apabila pemiliknya tidak membayar zakat (ketika di dunia) maka unta itu akan menendangnya dengan kaki-kaki mereka. Dalam keadaan yang serupa, kambing-kambing akan menemui pemiliknya dalam keadaan yang terbaik, dan apabila pemiliknya tidak membayar zakat (ketika di dunia) maka kambing-kambing itu akan menendangnya dengan kaki-kaki mereka dan menanduknya dengan tanduk-tanduk mereka. ” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Salah satu dari hak-hak mereka adalah bahwa ketika diperah susunya air diletakkan di depan mereka. ” Nabi menambahkan, “Aku tidak ingin siapapun dari kalian menemuiku di hari kiamat dengan membawa kambing yang mengembik di lehernya. Orang seperti itu akan berkata, ‘Wahai Muhammad, tolonglah saya. ’ Aku akan berkata kepadanya, ‘Aku tidak dapat menolongmu, karena aku telah menyampaikan perintah Allah kepadamu. ’ Begitu pula, aku tidak ingin siapapun dari kalian datang menemuiku dengan membawa seekor unta yang mendengkur di lehernya. Orang seperti itu akan berkata kepadaku, ‘Wahai Muhammad, tolonglah saya. ’ Aku akan berkata kepadanya, ‘Aku tidak dapat menolongmu karena aku telah menyampaikan perintah Allah kepadamu’. ” (HR. Al-Bukhari no. 1402 dari sahabat Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menerangkan: “Beberapa riwayat hadits yang menjelaskan akibat bagi orang yang tidak menunaikan zakat kelak di hari kiamat meskipun secara lahirnya berbeda-beda namun riwayat-riwayat tersebut satu dengan yang lain tidak bertentangan karena adanya kemungkinan siksaan itu terjadi secara bersamaan. Maka riwayat dari jalan Ibnu Dinar (yang menyebutkan bahwa harta yang tidak dizakati akan diubah menjadi ular jantan yang ganas berbisa) sesuai dengan ayat yang tersebut pada surat Ali ‘Imran: 180. Adapun riwayat Zaid bin Aslam (yang menyebutkan bahwa harta yang tidak dizakati akan diubah menjadi lempeng logam yang dicelupkan kedalam neraka Jahannam) sesuai dengan ayat yang tersebut dalam surat At-Taubah: 34-35. ” (Fathul Bari, 3/330)
Wallahu a’lam.
Menyembuhkan penyakit bakhil Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu mengatakan:
“Ketahuilah, bakhil adalah suatu penyakit, ia ada obatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menurunkan penyakit, kecuali ada obatnya. Penyakit ini muncul dari dua sebab. Sebab pertama adalah cinta (menuruti keinginan) syahwat, yang tidak akan dicapai kecuali dengan harta dan angan-angan yang panjang. Sebab kedua adalah cinta yang mendalam kepada harta itu sendiri. Dia berupaya agar harta itu tetap tinggal (ada) padanya. Karena beberapa dinar (harta) misalnya, posisinya hanya sebagai utusan (pengantar), dengannya tercapai (sampailah) sekian hajat dan syahwat. Karenanya harta itu menjadi sesuatu yang dicintai (disenangi). Kemudian harta itu sendiri menjadi sesuatu yang dicintai. Karena sesuatu yang menjadi penyampai (perantara) kepada sekian kelezatan (berupa syahwat, kesenangan), adalah lezat, enak.
Terkadang dia melupakan tujuan yang dicapai, berupa hajat dan syahwat. Sehingga di sisinya harta itu menjadi sesuatu yang sangat dicintai (asalnya hanya sekadar menjadi perantara, berubah menjadi maksud dan tujuan, pen. ). Jika demikian halnya, maka inilah puncak kesesatan. Karena, pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara batu dan emas, kecuali dari sisi bahwa ia dapat dipakai untuk memenuhi banyak kebutuhan. Inilah sebab seorang cinta, senang kepada harta dan memiliki sikap kikir. Sedangkan obatnya adalah dengan lawan sebaliknya.
Maka untuk mengobati cinta (menuruti keinginan) syahwat, adalah qana’ah dengan sesuatu yang sedikit (selalu merasa cukup dengan apa yang telah diperoleh) dan dengan kesabaran. Adapun untuk mengobati angan-angan yang panjang, dengan memperbanyak mengingat kematian, juga mengingat kematian teman-temannya. Melihat kepada panjang dan lamanya rasa letih (yang menimpa) mereka di dalam mengumpulkan harta (semasa hidupnya). Kemudian setelah meninggal, (harta yang mereka kumpulkan, yang melupakan dari sekian banyak maksud dan tujuan, zakat/infaq pun tidak pernah mereka tunaikan) hilang sia-sia, tidak memberi manfaat bagi mereka.
Terkadang seseorang kikir terhadap harta yang dimiliki, disebabkan rasa belas kasihan kepada keturunannya, seperti anak-anak. Maka obatnya adalah hendaknya ia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah Dzat Yang menciptakan mereka sekaligus yang menjamin rezekinya. Hendaknya ia juga melihat kepada dirinya sendiri, karena orangtua kadang tidak meninggalkan (memberi) untuk anaknya uang sepeser pun, (namun pada kenyataannya banyak anak yang dapat menjalani kehidupan, tanpa harus menggantungkan pemberian atau peninggalan orangtua, pen. ). Hendaknya ia juga melihat kepada apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan (persiapkan) bagi orang yang tidak berbuat kikir, dan mendermakan hartanya pada jalan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ridhai. Semestinya ia melihat kepada ayat-ayat Al-Qur’an yang mendorong untuk bermurah hati (dermawan) dan menahan dari perbuatan kikir. Kemudian ia melihat akibat buruk yang terjadi di dunia.
Jadi, kedermawanan itu baik semuanya, selama tidak melewati batas, sampai pada pemborosan yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengajarkan hamba-hamba-Nya dengan sebaik-baik pengajaran, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah–tengah antara yang demikian. ” (Al-Furqan: 67)
Maka sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.
Dan kesimpulannya adalah, apabila seorang hamba mendapati harta yang dia infaqkan (belanjakan) pada perkara yang ma’ruf dan dengan cara yang baik, maka (yakinlah) apa yang di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala (harta yang diinfaqkan) lebih terjamin keberadaannya, ketimbang yang ada di tangannya (yang disimpan dan tidak diinfaqkan). Dan jika seorang tidak memiliki harta, maka hendaknya ia selalu qana’ah dan menjauhkan diri dari meminta-minta dan tidak tamak (rakus). (Subulus Salam, Bab At-Tarhib min Masawi’ Al-Akhlaq)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa kebakhilan adalah suatu jenis yang di bawahnya terdapat ragam, ada yang tergolong dosa besar dan ada yang tergolong dosa kecil seperti pada ayat Ali ‘Imran: 180, An-Nisaa: 36-37, At-Taubah: 34-35, 54, 76-77, Muhammad: 38, Al-Ma’un: 4-7, dan ayat-ayat lain yang ada dalam Al-Qur’an yang menyebutkan perintah untuk menunaikan zakat dan mendermakan harta serta celaan bagi siapapun yang meninggalkannya. Semuanya mengandung makna celaan terhadap sifat bakhil.
Wallahu a’lam bish-shawab. .


Tafsir Surat Al-lahab (al-masad), Buletin Al-Ilmu Jember

Abu Lahab adalah putranya Abdul Muththalib namanya Abdul ‘Uzza. Dinamakan Abu Lahab karena ia kelak akan masuk ke dalam neraka yang memiliki lahab (api yang bergejolak). Atas dasar inilah Allah subhanahu wata’ala menyebutnya dalam kitab-Nya Al Quran dengan kun-yahnya (yaitu nama/julukan yang diawali dengan Abu atau Ibnu, atau Ummu bagi perempuan), dan bukan dengan namanya.
Para pembaca, semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa merahmati kita semua. Setiap insan tentu berharap dan mendambakan kehidupan yang bahagia di dunia dan lebih-lebih di akhirat kelak. Hal ini tidaklah bisa dicapai kecuali dengan menerima segala apa yang datang dari Allah subhanahu wata’ala dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. ” (Al Ahzab: 71)
Dan demikian pula sebaliknya, segala bentuk kehinaan dan malapetaka bersumber dari sikap antipati dan berpaling dari peringatan Allah subhanahu wata’ala dan peringatan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Adalah sunnatullah, tidak ada seorangpun yang menolak dan mendustakan ajaran yang dibawa oleh para nabi, kecuali ia akan hina dan binasa. Allah subhanahu wata’ala dengan tegas menyebutkan dalam firman-Nya (artinya):
“Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling. ” (Thaha: 48)
Lihatlah kisah umat-umat terdahulu seperti kaum ‘Ad, Tsamud, Qarun, Fir’aun dan Haman, Allah subhanahu wata’ala telah membinasakan mereka disaat mereka mendustakan dan berpaling dari ajaran yang dibawa oleh nabi yang diutus kepada mereka. Demikian pula apa yang telah terjadi pada umat nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, Allah subhanahu wata’ala telah menurunkan satu surat khusus yang berisi vonis kebinasaan bagi para pembangkang dan pengacau dakwah. Surat tersebut adalah Surat Al Masad atau dinamakan juga dengan surat Al Lahab. Surat ini terdiri atas 5 ayat dan termasuk golongan surat-surat Makkiyyah.
Sebab Turunnya Surat
Suatu hari, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam naik ke bukit Shafa. Beliau naik sampai kepuncaknya, kemudian berseru, “Ya shabahah!” (kalimat peringatan yang biasa mereka gunakan untuk mengabarkan akan adanya serangan musuh atau terjadinya peristiwa yang besar). Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wasallam mulai memanggil kabilah-kabilah cabang dari kabilah Quraisy dan menyebut mereka kabilah per-kabilah, Wahai bani Fihr, wahai Bani Fulan, wahai Bani Fulan, wahai Bani Abdu Manaf, wahai Bani Abdul Muththalib!” ketika mendengar (panggilan tersebut), mereka bertanya, siapa yang berteriak-teriak itu? Mereka mengatakan, “Muhammad. ” Maka orang-orang pun bergegas menuju beliau shalallahu ‘alaihi wasallam, sampai-sampai seseorang yang tidak bisa datang sendiri mengirim utusan untuk melihat apa yang sedang terjadi. Ketika mereka telah berkumpul, beliaupun berbicara: “Apa pendapat kalian seandainya aku beritahukan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda di lembah bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian mempercayaiku?” Mereka menjawab: “Ya, kami tidak pernah menyaksikan engkau melainkan selalu bersikap jujur. ” Beliaupun berkata: “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih. Permisalanku dengan kalian hanyalah seperti seseorang yang melihat pasukan musuh kemudian bergegas untuk mengawasi keluarganya (mengamati dan melihat mereka dari tempat tinggi agar mereka tidak didatangi musuh secara tiba-tiba) karena ia khawatir musuh akan mendahuluinya, maka ia pun berseru, “Ya, shabahah. ” Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wasallam mengajak untuk bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Lalu beliau menjelaskan kepada mereka bahwa kalimat syahadat merupakan kekuatan dunia dan keselamatan akhirat. Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan mereka agar waspada dari siksa Allah. Dijelaskan pula bahwa keberadaan beliau sebagai rasul tidak bisa menyelamatkan mereka dari siksa dan menolong mereka sedikitpun dari (keputusan) Allah. Beliau memberi peringatan tersebut secara umum dan khusus. Beliau mengatakan: “Wahai orang-orang Quraisy, korbankanlah diri-diri kalian karena Allah! Selamatkanlah diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberikan mudharat kepada kalian dan tidak pula manfaat, serta aku tidak bisa menolong kalian sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai Bani Ka’ab bin Luay, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberi mudharat dan tidak pula manfaat! Wahai Bani Ka’ab bin Murrah, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Qushay, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberikan mudharat dan tidak pula manfaat! Wahai bani ‘Abdu Syams, selamatkanlah diri-diri kalian dari api neraka! Wahai bani Abdu Manaf, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberikan mudharat dan tidak pula manfaat! Wahai bani Hasyim, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Wahai bani ‘Abdul Muthalib, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberikan mudharat dan tidak pula manfaat, serta aku tidak bisa menolong kalian sedikitpun dari (keputusan) Allah! Mintalah kepadaku dari hartaku sebanyak yang kalian suka, namun aku tidak bisa menolong kalian sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib, aku tidak bisa menolongmu sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai Shafiyyah bintu ‘Abdil Muththalib (bibi Rasulullah), aku tidak bisa menolongmu sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai Fatimah bintu Muhammad Rasulullah mintalah kepadaku dari hartaku sebanyak apa yang engkau mau, selamatkan dirimu dari api neraka, aku tidak bisa menolongmu sedikitpun dari (keputusan) Allah! Karena kalian memiliki hubungan silaturahmi maka akan aku basahi dengan airnya (maksudnya akan aku sambung hubungan silaturahmi tersebut sesuai haknya).
Setelah selesai beliau menyampaikan peringatan tersebut, orang-orangpun bubar dan bertebaran. Tidak disebutkan keadaan bahwa mereka menampakkan suatu penentangan ataupun dukungan atas apa yang telah mereka dengar, kecuali apa yang terjadi pada Abu Lahab. Ia menemui Nabi dengan nada yang kasar. Ia berkata, “Celakalah engkau selama-lamanya! Cuma untuk inikah kamu kumpulkan kami?” Maka turunlah ayat (artinya): “Telah celaka kedua tangan Abu Lahab dan diapun celaka. ” (Al-Lahab:1) Kandungan surat Al Lahab Ayat pertama
تَّبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهْبٍ وَتَبَّ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” Abu Lahab adalah putranya Abdul Muththalib namanya Abdul ‘Uzza. Dinamakan Abu Lahab karena ia kelak akan masuk ke dalam neraka yang memiliki lahab (api yang bergejolak). Atas dasar inilah Allah subhanahu wata’ala menyebutnya dalam kitab-Nya Al Quran dengan kun-yahnya (yaitu nama/julukan yang diawali dengan Abu atau Ibnu, atau Ummu bagi perempuan), dan bukan dengan namanya. Juga karena ia lebih tenar dengan kun-yahnya. Dan juga karena namanya disandarkan kepada nama salah satu berhala pada zaman itu. Dia adalah salah satu paman Rasul yang paling besar permusuhannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sejak dikumandangkannya dakwah mengajak beribadah hanya kepada Allah saja. Ayat ini turun sebagai bantahan kepadanya disaat menolak dan enggan untuk mengikuti seruan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Mungkin para pembaca bertanya-tanya, mengapa Allah hanya menyebutkan kedua tangannya saja yang akan binasa? Jawabannya adalah seperti yang telah dijelaskan dalam kitab tafsir Adhwa`ul Bayan, bahwa penyebutan tangan dalam ayat ini, masuk dalam kaidah penyebutan sebagian tetapi yang dimaksudkan adalah keseluruhannya. Hal ini diketahui dari lafazh setelahnya yaitu “Watabba” artinya: ia (Abu Lahab) telah binasa.
Dalam ayat ini, Allah subhanahu wata’ala memaksudkan penyebutan kebinasaan seseorang dengan mencukupkan penyebutannya pada kedua tangannya. Ya, karena memang kedua tanganlah yang mempunyai peran besar dalam mengganggu dan menyakiti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ayat kedua
مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
“Tidaklah berfaedah (berguna) kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”.
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menyebutkan: “Tatkala Rasulullah mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah saja dan meninggalkan sesembahan selain Allah, berkatalah Abu Lahab: “Jika apa yang dikatakan putra saudaraku (Rasulullah) adalah benar aku akan menebus diriku dari azab yang pedih pada hari kiamat dengan harta dan anak-anakku. ” Maka turunlah firman Allah Ta’ala (artinya): “Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan” (Tafsir Ibnu Katsir) Ketika vonis binasa telah disandangnya, maka tidak bermanfaat lagi apa yang telah diusahakannya dari harta-benda, anak istri, kedudukan, jabatan dan lain sebagainya dari perkara dunia ini. Allah subhanahu wata’ala menegaskan dalam firman-Nya (artinya): “Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. ” Ayat ketiga
سَيَصْلَى نَاراً ذَاتَ لَهَبٍ
“Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. ” Kelak ia akan diliputi oleh api neraka dari segala sisinya Ayat keempat
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
“Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. ”
Istri Abu Lahab merupakan salah satu tokoh wanita Quraisy. Namanya adalah Auraa’ bintu Harb bin Umayyah kunyahnya Ummu Jamil, saudara perempuannya Abu Sufyan (bapaknya Muawiyyah). Sebagaimana suaminya, ia juga merupakan wanita yang paling besar gangguan dan permusuhannya terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ia dan suaminya bahu-membahu dalam permusuhan dan dosa. Ia curahkan segenap daya dan upayanya untuk mengganggu dan memusuhi beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Pernah ia membawa dahan yang penuh duri, lalu ia tebarkan di jalan yang sering dilalui oleh Rasulullah pada waktu malam, sehingga melukai beliau dan para shahabatnya. Ketika mendengar turunnya ayat: “Telah celaka kedua tangan Abu Lahab. ” Ia pun datang, sambil tangannya menggenggam batu, ia mencari-cari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sementara beliau tengah duduk bersama Abu Bakr di dekat Ka’bah. Kemudian Allah subhanahu wata’ala menutup penglihatannya sehingga ia tidak bisa melihat kecuali Abu Bakr t saja. Maka ia pun bertanya, “Mana temanmu itu (Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam)? Telah sampai kepadaku bahwa dia telah mengejekku dengan syair. Demi Allah, seandainya aku menjumpainya, sungguh aku akan pukul mulutnya dengan batu ini. Ketahuilah, demi Allah aku sendiri juga pandai bersyair. ” Kemudian iapun mengucapkan syair:
Orang tercela kami tentang Urusan kami mengabaikannya
Dan agamanya kami tidak suka
Lalu ia pun pergi. Maka bertanya Abu Bakr, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mengira bahwa dia melihatmu?” Kemudian beliau pun menjawab, “Dia tidak melihatku. Allah telah menutupi pengelihatannya. ”
Maka terkumpullah di punggung wanita jahat ini dosa-dosa, seolah orang yang mengumpulkan kayu bakar yang telah mempersiapkan seutas tali di lehernya. Atau ayat ini bermakna pula di dalam neraka wanita ini membawa kayu bakar untuk menyiksa suaminya sambil melilitkan dilehernya seutas tali dari sabut. Sedangkan Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah dan As-Sa’dy menafsirkan ayat ini dengan namimah. Maksudnya istri Abu Lahab profesinya sebagai tukang fitnah. Al-Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah (salah seorang tokoh besar dan ulama` tabi’in) berkata: “Istrinya Abu Lahab memfitnah Rasulullah dan para sahabatnya kepada musyrikin. ” (Fathul Bari dan Tafsir Ibnu Katsir) Ayat kelima
فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدَ
“Yang dilehernya ada tali dari sabut. ” Al-Imam Al-Fara mengatakan: “Al-Masad adalah rantai yang ada di neraka, dan disebut juga tali dari sabut. (Fathul Bari)
Faidah
Para pembaca yang semoga dimuliakan Allah, dalam surat Al Masad ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik darinya, diantaranya:
1. Surat ini merupakan salah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Dimana Allah menurunkan surat ini dalam kondisi Abu Lahab dan istrinya masih hidup, sementara keduanya telah divonis sebagai orang yang akan disiksa didalam api neraka, yang konsekuensinya mereka berdua tidak akan menjadi orang yang beriman. Dan apa yang dikabarkan Allah subhanahu wata’ala Dzat Yang Maha Mengetahui perkara yang gaib pasti terjadi.
2. Tidak berguna sedikitpun harta benda (untuk melindungi) seseorang dari azab Allah ketika ia melakukan perbuatan yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.
3. Haramnya menganggu orang beriman secara mutlak.
4. Tidak bermanfaat sedikitpun hubungan kekerabatan seorang musyrik, dimana Abu Lahab adalah pamannya Nabi tetapi ia di dalam neraka.
Penutup
Para pembaca yang semoga senantiasa dirahmati Allah subhanahu wata’ala, mudah-mudahan dengan kita mengetahui tafsir surat Al Masad ini akan menambah rasa tunduk dan patuh kita kepada Allah subhanahu wata’ala dan menjadi pendorong bagi kita untuk melaksanakan segala perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Amïn Yä Rabbal ‘Älamïn… Buletin Al-Ilmu Jember


Awas! Jangan Dekati Zina!, Buletin Islam AL ILMU

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Dan zina merupakan sejelek-jelek jalan, karena ia adalah jalannya orang-orang yang suka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, dan melanggar perintah-Nya. Maka jadilah ia sejelek-jelek jalan yang menyeret pelakunya kedalam neraka Jahannam. ” (Tafsir Ath-Thabari, 17/438)

AWAS! JANGAN DEKATI ZINA!
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. ” (Al-Israa’: 32)
Penjelasan makna ayat
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
Dan janganlah kalian mendekati zina. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan larangan mendekatinya, yaitu larangan mendekati sebab-sebab dan pendorong-pendorongnya. ” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55) Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini di dalam tafsirnya, “Larangan mendekati zina lebih mengena ketimbang larangan melakukan perbuatan zina, karena larangan mendekati zina mencakup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Barangsiapa yang mendekati daerah larangan, ia dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya, terlebih lagi dalam masalah zina yang kebanyakan hawa nafsu sangat kuat dorongannya untuk melakukan zina. ” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 457)
إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah dosa yang sangat besar. ” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55) Asy-Syaikh As-Sa’di berkata, “Allah subhanahu wata’ala menyifati perbuatan ini dan mencelanya karena ia (كَانَ فَاحِشَةً) adalah perbuatan keji.
Maksudnya adalah dosa yang sangat keji ditinjau dari kacamata syariat, akal sehat, dan fitrah manusia yang masih suci. Hal ini dikarenakan (perbuatan zina) mengandung unsur melampaui batas terhadap hak Allah dan melampaui batas terhadap kehormatan wanita, keluarganya dan suaminya. Dan juga pada perbuatan zina mengandung kerusakan moral, tidak jelasnya nasab (keturunan), dan kerusakan-kerusakan yang lainnya yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. ” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 457)
وَسَاءَ سَبِيلًا
dan (perbuatan zina itu adalah) suatu jalan yang buruk. Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Dan zina merupakan sejelek-jelek jalan, karena ia adalah jalannya orang-orang yang suka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, dan melanggar perintah-Nya. Maka jadilah ia sejelek-jelek jalan yang menyeret pelakunya kedalam neraka Jahannam. ” (Tafsir Ath-Thabari, 17/438) Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan lafazh ayat (yang artinya) “suatu jalan yang buruk” dengan perkataannya, “Yaitu jalannya orang-orang yang berani menempuh dosa besar ini. ” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 457) Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa Allah subhanahu wata’ala mengabarkan tentang akibat perbuatan tersebut. Bahwasannya perbuatan tersebut adalah sejelek-jelek jalan. Karena yang demikian itu dapat mengantarkan kepada kebinasaan, kehinaan, dan kerendahan di dunia serta mengantarkan kepada adzab dan kehinaan di akhirat. (Lihat Al-Jawab Al- Kafi, hal. 206)
Hal-hal yang mengantarkan kepada perbuatan zina
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Islam menutup rapat-rapat semua celah yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada kejelekan dan kebinasaan. Atas dasar ini, disaat Allah subhanahu wata’ala melarang perbuatan zina, maka Allah subhanahu wata’ala melarang semua perantara yang mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Disebutkan dalam kaedah fiqih:
وَسَائِلُ اْلأُمُورِ كَالْمَقَاصِدِ
Perantara-perantara seperti hukum yang dituju.
Zina adalah perbuatan haram, maka semua perantara/wasilah yang dapat mengantarkan kepada zina juga haram hukumnya. Diantara perkara yang dapat mengatarkan seseorang kepada zina adalah:
1. Memandang wanita yang tidak halal baginya
Penglihatan adalah nikmat Allah subhanahu wata’ala yang sejatinya disyukuri hamba-hambanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. ” (An-Nahl: 78). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukurinya. Justru digunakan untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala. Untuk melihat wanita-wanita yang tidak halal baginya. Terlebih di era globalisasi ini dengan segenap kecanggihan teknologi dan informasi, baik dari media cetak maupun elektronik, seperti internet, televisi, handphone, majalah, koran, dan lain sebagainya, yang notabene-nya menyajikan gambar wanita-wanita yang terbuka auratnya. Dengan mudahnya seseorang menikmati gambar-gambar tersebut. Sungguh tak sepantasnya seorang hamba yang beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal itu.
Pandangan adalah sebab menuju perbuatan zina. Atas dasar ini, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Katakanlah (wahai nabi), kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. ” (An-Nur: 30-31) Allah subhanahu wata’ala memerintahkan orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Termasuk menjaga kemaluan adalah menjaganya dari: zina, homosex, lesbian, dan agar tidak tersingkap serta terlihat manusia. (Lihat Adhwa’ Al-Bayan, Al-Imam Asy-Syinqithi 6/126) Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah perintah Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka dari apa yang diharamkan. Maka janganlah mereka memandang kecuali kepada apa yang diperbolehkan untuk dipandangnya. Dan agar mereka menjaga pandangannnya dari perkara yang diharamkan. Jika kebetulan pandangannya memandang perkara yang diharamkan tanpa disengaja, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahihnya dari shahabat Jarir bin Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Aku bertanya kepada baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan secara tiba-tiba, maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku. ” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/399)
Manakala perbuatan zina bermula dari pandangan, Allah subhanahu wata’ala menjadikan perintah menahan pandangan lebih dikedepankan ketimbang menjaga kemaluan. Karena semua kejadian bersumber dari pandangan. Sebagaimana api yang besar bermula dari api yang kecil. Bermula dari pandangan, lalu terbetik di dalam hati, kemudian melangkah, akhirnya terjadilah perbuatan zina. (Lihat Al-Jawab Al- Kafi, hal. 207)
2. Menyentuh wanita yang bukan mahramnya
Menyentuh wanita yang bukan mahram adalah perkara yang di anggap biasa dan lumrah ditengah masarakat kita. Disadari atau tidak, perbuatan tersebut merupakan pintu setan untuk menjerumuskan anak Adam kepada perbuatan fahisyah (keji), seperti zina. Oleh karena itu, Islam melarang yang demikian itu, bahkan mengancamnya dengan ancaman yang keras. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لأَنْ يَطْعَنَ فيِ رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. ” (HR. Ath-Thabarani, no. 16880, 16881)
Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Hadits tersebut juga sebagai dalil tentang haramnya berjabat tangan dengan wanita (yang tidak halal baginya). Dan sungguh kebanyakan kaum muslimin di zaman ini terjerumus dalam masalah ini. (Lihat Ash-Shahihah, no. 1/395)
Dalam hadits lain dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak cucu Adam bagiannya dari zina akan diperoleh hal itu tidak mustahil. Kedua mata zinanya adalah memandang (yang haram). Kedua telinga zinanya adalah mendengarkan (yang haram). Lisan zinanya adalah berbicara (yang haram). Tangan zinanya adalah memegang (yang haram). Kaki zinanya adalah melangkah (kepada yang diharamkan). Sementara hati berkeinginan dan berangan-angan, sedang kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya. ” (HR. Muslim no. 2657)
3. Berkhalwat (berduaan) di tempat sepi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dalam haditsnya yang agung:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan. ” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad) Betapa banyak orang yang mengabaikan bimbingan yang mulia ini, akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Kita berlindung kepada-Nya dari perbuatan tersebut. Ber-khalwat (berduaan) dengan wanita yang bukan mahramnya adalah haram. Tidaklah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya kecuali ketiganya adalah setan. Apa dugaan anda jika yang ketiganya adalah setan? Dugaan kita keduanya akan dihadapkan kepada fitnah. Termasuk berkhalwat (yang dilarang) adalah berkhalwat dengan sopir. Yakni jika seseorang mempunyai sopir pribadi, sementara dia mempunyai istri atau anak perempuan, tidak boleh baginya membiarkan istri atau anak perempuannya pergi berduaan bersama si sopir, kecuali jika disertai mahramnya. (Lihat Syarah Riyadhus Shalihin Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, 6/369)
4. Berpacaran Berpacaran adalah suatu hal yang lumrah di kalangan muda-mudi sekarang. Padahal, perbuatan tersebut merupakan suatu perangkap setan untuk menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam perbuatan zina.
Dalam perbuatan berpacaran itu sendiri sudah mengandung sekian banyak kemaksiatan, seperti memandang, menyentuh, dan berduaan dengan wanita yang bukan mahramnya, yang notabene merupakan zina mata, lisan, hati, pendengaran, tangan, dan kaki.
Itulah diantara hal-hal yang dapat mengantarkan anak cucu Adam kepada perbuatan zina. Barangsiapa menjaganya, selamatlah agamanya, insya Allah. Sebaliknya, barangsiapa lalai dan menuruti hawa nafsunya, kebinasaanlah baginya. Kita berlindung kepada Allah I dari kejelekan diri-diri kita. Amin. Kerusakan yang disebabkan perbuatan zina Kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan zina adalah termasuk kerusakan yang sangat berat. Diantaranya adalah merusak tatanan masyarakat, baik dalam hal nasab (keturunan) maupun penjagaan kehormatan, dan menyebabkan permusuhan diantara sesama manusia. Al Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak mengetahui dosa besar apa lagi yang lebih besar setelah membunuh jiwa selain dari pada dosa zina. ” Kemudian beliau v menyebutkan ayat ke-68 sampai ayat ke-70 dari surat Al Furqan. (Lihat Al-Jawab Al-Kafi, hal 207)
Nasehat untuk kaum muslimin
Para pembaca yang kami muliakan, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati seorang hamba, itu semua akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat kelak. Yang pada hari itu anggota badan seorang hamba; tangan, kaki, dan kulit akan menjadi saksi atas apa yang telah mereka perbuat. Manusia adalah tempat kesalahan dan dosa. Semua anak cucu Adam pernah berbuat kesalahan. Sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang paling cepat bertaubat. Tolak ukur kebaikan seorang hamba bukanlah terletak pada pernah atau tidaknya dia berbuat kemaksiatan. Akan tetapi yang menjadi tolak ukur adalah orang yang segera bertaubat manakala berbuat kemaksiatan, serta tidak terus menerus berada dalam kubangan kemaksiatan.
Segeralah bertaubat, wahai hamba-hamba Allah, sebelum ajal menjemputmu! Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan yang hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, barulah ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. ” dan tidak pula diterima taubat orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. ” (An-Nisaa’: 17-18) Wallahu a’lam bishshowab. Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Dan zina merupakan sejelek-jelek jalan, karena ia adalah jalannya orang-orang yang suka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, dan melanggar perintah-Nya. Maka jadilah ia sejelek-jelek jalan yang menyeret pelakunya kedalam neraka Jahannam. ” (Tafsir Ath-Thabari, 17/438)

AWAS! JANGAN DEKATI ZINA!
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. ” (Al-Israa’: 32)
Penjelasan makna ayat
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
Dan janganlah kalian mendekati zina. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan larangan mendekatinya, yaitu larangan mendekati sebab-sebab dan pendorong-pendorongnya. ” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55) Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini di dalam tafsirnya, “Larangan mendekati zina lebih mengena ketimbang larangan melakukan perbuatan zina, karena larangan mendekati zina mencakup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Barangsiapa yang mendekati daerah larangan, ia dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya, terlebih lagi dalam masalah zina yang kebanyakan hawa nafsu sangat kuat dorongannya untuk melakukan zina. ” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 457)
إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah dosa yang sangat besar. ” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55) Asy-Syaikh As-Sa’di berkata, “Allah subhanahu wata’ala menyifati perbuatan ini dan mencelanya karena ia (كَانَ فَاحِشَةً) adalah perbuatan keji.
Maksudnya adalah dosa yang sangat keji ditinjau dari kacamata syariat, akal sehat, dan fitrah manusia yang masih suci. Hal ini dikarenakan (perbuatan zina) mengandung unsur melampaui batas terhadap hak Allah dan melampaui batas terhadap kehormatan wanita, keluarganya dan suaminya. Dan juga pada perbuatan zina mengandung kerusakan moral, tidak jelasnya nasab (keturunan), dan kerusakan-kerusakan yang lainnya yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. ” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 457)
وَسَاءَ سَبِيلًا
dan (perbuatan zina itu adalah) suatu jalan yang buruk. Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Dan zina merupakan sejelek-jelek jalan, karena ia adalah jalannya orang-orang yang suka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, dan melanggar perintah-Nya. Maka jadilah ia sejelek-jelek jalan yang menyeret pelakunya kedalam neraka Jahannam. ” (Tafsir Ath-Thabari, 17/438) Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan lafazh ayat (yang artinya) “suatu jalan yang buruk” dengan perkataannya, “Yaitu jalannya orang-orang yang berani menempuh dosa besar ini. ” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 457) Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa Allah subhanahu wata’ala mengabarkan tentang akibat perbuatan tersebut. Bahwasannya perbuatan tersebut adalah sejelek-jelek jalan. Karena yang demikian itu dapat mengantarkan kepada kebinasaan, kehinaan, dan kerendahan di dunia serta mengantarkan kepada adzab dan kehinaan di akhirat. (Lihat Al-Jawab Al- Kafi, hal. 206)
Hal-hal yang mengantarkan kepada perbuatan zina
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Islam menutup rapat-rapat semua celah yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada kejelekan dan kebinasaan. Atas dasar ini, disaat Allah subhanahu wata’ala melarang perbuatan zina, maka Allah subhanahu wata’ala melarang semua perantara yang mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Disebutkan dalam kaedah fiqih:
وَسَائِلُ اْلأُمُورِ كَالْمَقَاصِدِ
Perantara-perantara seperti hukum yang dituju.
Zina adalah perbuatan haram, maka semua perantara/wasilah yang dapat mengantarkan kepada zina juga haram hukumnya. Diantara perkara yang dapat mengatarkan seseorang kepada zina adalah:
1. Memandang wanita yang tidak halal baginya
Penglihatan adalah nikmat Allah subhanahu wata’ala yang sejatinya disyukuri hamba-hambanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. ” (An-Nahl: 78). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukurinya. Justru digunakan untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala. Untuk melihat wanita-wanita yang tidak halal baginya. Terlebih di era globalisasi ini dengan segenap kecanggihan teknologi dan informasi, baik dari media cetak maupun elektronik, seperti internet, televisi, handphone, majalah, koran, dan lain sebagainya, yang notabene-nya menyajikan gambar wanita-wanita yang terbuka auratnya. Dengan mudahnya seseorang menikmati gambar-gambar tersebut. Sungguh tak sepantasnya seorang hamba yang beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal itu.
Pandangan adalah sebab menuju perbuatan zina. Atas dasar ini, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Katakanlah (wahai nabi), kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. ” (An-Nur: 30-31) Allah subhanahu wata’ala memerintahkan orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Termasuk menjaga kemaluan adalah menjaganya dari: zina, homosex, lesbian, dan agar tidak tersingkap serta terlihat manusia. (Lihat Adhwa’ Al-Bayan, Al-Imam Asy-Syinqithi 6/126) Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah perintah Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka dari apa yang diharamkan. Maka janganlah mereka memandang kecuali kepada apa yang diperbolehkan untuk dipandangnya. Dan agar mereka menjaga pandangannnya dari perkara yang diharamkan. Jika kebetulan pandangannya memandang perkara yang diharamkan tanpa disengaja, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahihnya dari shahabat Jarir bin Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Aku bertanya kepada baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan secara tiba-tiba, maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku. ” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/399)
Manakala perbuatan zina bermula dari pandangan, Allah subhanahu wata’ala menjadikan perintah menahan pandangan lebih dikedepankan ketimbang menjaga kemaluan. Karena semua kejadian bersumber dari pandangan. Sebagaimana api yang besar bermula dari api yang kecil. Bermula dari pandangan, lalu terbetik di dalam hati, kemudian melangkah, akhirnya terjadilah perbuatan zina. (Lihat Al-Jawab Al- Kafi, hal. 207)
2. Menyentuh wanita yang bukan mahramnya
Menyentuh wanita yang bukan mahram adalah perkara yang di anggap biasa dan lumrah ditengah masarakat kita. Disadari atau tidak, perbuatan tersebut merupakan pintu setan untuk menjerumuskan anak Adam kepada perbuatan fahisyah (keji), seperti zina. Oleh karena itu, Islam melarang yang demikian itu, bahkan mengancamnya dengan ancaman yang keras. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لأَنْ يَطْعَنَ فيِ رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. ” (HR. Ath-Thabarani, no. 16880, 16881)
Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Hadits tersebut juga sebagai dalil tentang haramnya berjabat tangan dengan wanita (yang tidak halal baginya). Dan sungguh kebanyakan kaum muslimin di zaman ini terjerumus dalam masalah ini. (Lihat Ash-Shahihah, no. 1/395)
Dalam hadits lain dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak cucu Adam bagiannya dari zina akan diperoleh hal itu tidak mustahil. Kedua mata zinanya adalah memandang (yang haram). Kedua telinga zinanya adalah mendengarkan (yang haram). Lisan zinanya adalah berbicara (yang haram). Tangan zinanya adalah memegang (yang haram). Kaki zinanya adalah melangkah (kepada yang diharamkan). Sementara hati berkeinginan dan berangan-angan, sedang kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya. ” (HR. Muslim no. 2657)
3. Berkhalwat (berduaan) di tempat sepi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dalam haditsnya yang agung:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan. ” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad) Betapa banyak orang yang mengabaikan bimbingan yang mulia ini, akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Kita berlindung kepada-Nya dari perbuatan tersebut. Ber-khalwat (berduaan) dengan wanita yang bukan mahramnya adalah haram. Tidaklah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya kecuali ketiganya adalah setan. Apa dugaan anda jika yang ketiganya adalah setan? Dugaan kita keduanya akan dihadapkan kepada fitnah. Termasuk berkhalwat (yang dilarang) adalah berkhalwat dengan sopir. Yakni jika seseorang mempunyai sopir pribadi, sementara dia mempunyai istri atau anak perempuan, tidak boleh baginya membiarkan istri atau anak perempuannya pergi berduaan bersama si sopir, kecuali jika disertai mahramnya. (Lihat Syarah Riyadhus Shalihin Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, 6/369)
4. Berpacaran Berpacaran adalah suatu hal yang lumrah di kalangan muda-mudi sekarang. Padahal, perbuatan tersebut merupakan suatu perangkap setan untuk menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam perbuatan zina.
Dalam perbuatan berpacaran itu sendiri sudah mengandung sekian banyak kemaksiatan, seperti memandang, menyentuh, dan berduaan dengan wanita yang bukan mahramnya, yang notabene merupakan zina mata, lisan, hati, pendengaran, tangan, dan kaki.
Itulah diantara hal-hal yang dapat mengantarkan anak cucu Adam kepada perbuatan zina. Barangsiapa menjaganya, selamatlah agamanya, insya Allah. Sebaliknya, barangsiapa lalai dan menuruti hawa nafsunya, kebinasaanlah baginya. Kita berlindung kepada Allah I dari kejelekan diri-diri kita. Amin. Kerusakan yang disebabkan perbuatan zina Kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan zina adalah termasuk kerusakan yang sangat berat. Diantaranya adalah merusak tatanan masyarakat, baik dalam hal nasab (keturunan) maupun penjagaan kehormatan, dan menyebabkan permusuhan diantara sesama manusia. Al Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak mengetahui dosa besar apa lagi yang lebih besar setelah membunuh jiwa selain dari pada dosa zina. ” Kemudian beliau v menyebutkan ayat ke-68 sampai ayat ke-70 dari surat Al Furqan. (Lihat Al-Jawab Al-Kafi, hal 207)
Nasehat untuk kaum muslimin
Para pembaca yang kami muliakan, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati seorang hamba, itu semua akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat kelak. Yang pada hari itu anggota badan seorang hamba; tangan, kaki, dan kulit akan menjadi saksi atas apa yang telah mereka perbuat. Manusia adalah tempat kesalahan dan dosa. Semua anak cucu Adam pernah berbuat kesalahan. Sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang paling cepat bertaubat. Tolak ukur kebaikan seorang hamba bukanlah terletak pada pernah atau tidaknya dia berbuat kemaksiatan. Akan tetapi yang menjadi tolak ukur adalah orang yang segera bertaubat manakala berbuat kemaksiatan, serta tidak terus menerus berada dalam kubangan kemaksiatan.
Segeralah bertaubat, wahai hamba-hamba Allah, sebelum ajal menjemputmu! Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan yang hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, barulah ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. ” dan tidak pula diterima taubat orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. ” (An-Nisaa’: 17-18) Wallahu a’lam bishshowab.